Â
Jam menunjukkan pukul 21. 00 WIT. Saya telah berjanji bertemu dengan pak Heri di kediamannya di kota Waingapu, ibukota Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Karena waktu sudah larut malam, Saya diajak bermalam di kediaman beliau di daerah kecamatan Haharu, 63 km sebelah barat kota Waingapu. Keesokan harinya, kami akan menuju ke pulau Salura dengan menggunakan sepeda motor masing -- masing.
Pulau Salura sendiri masuk dalam kategori pulau yang terdepan, terpencil dan tertinggal ini menyimpan banyak keunikan dan keindahan alamnya.
Terdapat satu PAUD, Â satu sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yaitu Paud Amanah, SDN Inpres pulau Salura dan SMP Satap pulau Salura.
Untuk memenuhi kebutuhan listriknya Pulau Salura sudah mengunakan energi 100 % energi terbarukan yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). PLTS ini dioperasikan oleh PLN, mampu memenuhi 112 pelanggan di seluruh pulau Salura selama 24 jam.
Sebagai kepala sekolah, Dua minggu sekali beliau pulang pergi baik dari kota waingapu ke pulau Salura maupun sebaliknya. Suatu hal yang tak mudah bagi kita yang tidak terbiasa. Namun, hal yang sudah lumrah bagi pak Heri dengan sepeda motor tua dan menyeberangi ganasnya ombak Samudera Hindia.
Hari ini pukul 08.00 WIT, kami berdua menuju ke kota Waingapu, Perjalanan dari kediaman beliau di kec. Haharu menuju kota Waingapu, dapat ditempuh selama 1 jam menggunakan sepeda motor.
Sesampai di kota Waingapu, Saya menemani pak Heri mencetak foto untuk siswa SMP Satap Pulau salura yang akan melaksanakan Ujian Nasional di tempat cetak foto langganan pak Heri. Selain itu, kami juga membeli kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan sehari -- hari di Pulau Salura. Setelah selesai memenuhi kebutuhan untuk ujian nasional dan kebutuhan pokok di pulau Salura, Pukul 11.00 WIT kami berangkat menuju pulau Salura.
Otokol merupakan angkutan umum berupa truk yang belakangnya di tutupi terpal agar penumpang tidak kehujanan maupun kepanasan. Biasanya otokol bisa memuat orang, belanjaan dari kota, babi, ayam maupun hasil pertanian.
Perjalanan darat sampai desa katundu kurang lebih 4 sampai 5 jam dengan sepeda motor dan jika menggunakan otokol bisa 10 sampai 12 jam. Kemudian, sepeda motor kami dititipkan di rumah kepada desa Katundu.
Biaya untuk satu kali trip dari desa katundu ke pulau Salura, kami harus membayar sewa 250 ribu sampai 300 ribu. Ganasnya ombak samudera Hindia membuat saya takut, karena pertama kali mengarungi samudera paling selatan wilayah Indonesia.      Â
Tepat pukul 17.00 WIT kami tiba di pulau Salura. Pulau paling ujung selatan Indonesia ini sangatlah damai meski penduduknya heterogen.
Terdapat beberapa suku di pulau Salura yaitu suku Jawa, Bajo, Sumba, Lombok, Bugis dan lainnya. Di pulau ini terdapat 2 masjid. Tidak ada sinyal maupun jaringan internet, sehingga komunikasi di pulau ini terbilang sangat sulit. Jika ingi komunikasi kita harus ke bibir pantai dan itupun sifatnya GSM (Geser sedikit mati).
Namun, dengan keterbatasan tersebut, para siswa SD maupun SMP sangatlah antusias dan semangat dalam kegiatan belajar mengajar.
Siswa siswi di pulau Salura sangat baik dalam menerima pelajaran dan sopan santun maupun tenggang rasa masih terjaga terhadap guru.
Namun, kendala siswa disini adalah kurangnya peduli dan perhatian dari orang tua mereka. Terkadang di jumpai siswa yang tidak masuk kerja karena harus bantu orang tua mencari cumi -- cumi. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk mayoritas pulau Salura berprofesi sebagai nelayan.Â
Pendidik SM3T mengalami kendala dalam praktiknya di lapangan, dikarenakan kurangnya fasilitas di daerah yang benar -- benar terbatas baik sarana dan prasarana.
Salah satu solusinya adalah fasilitas bantuan dari kemendikbud untuk sekolah yang memang sangat tidak layak. Bantuan berupa perbaikan sekolah, fasilitas guru atau tenaga pendidik, bahan ajar sekolah maupun kebutuhan untuk kegiatan belajar mengajar.
Sebagai contoh bantuan kemendikbud adalah perahu untuk pak Heri. Sebagaimana kita ketahui, bahwa transportasi dari pulau Sumba menuju ke pulau Salura sangat sulit.
Pak Heri harus mengeluarkan biaya 500 ribu untuk menyewa perahu pulang pergi pulau Salura. Terkadang pak heri untuk berhemat dengan cara menumpang perahu nelayan (penduduk pulau Salura) di hari kamis dengan biaya 25 ribu. Karena pasar di desa Katundu hanya ada di hari kamis.
Sehingga penduduk pulau Salura memenuhi kebutuhan pokok harus menyeberang ke pulau Sumba dengan perahu cuminya. Selain berkorban materi atau biaya, pak Heri juga berkorban immateriil yaitu jauh dari keluarga, menggadaikan nyawanya dengan menantang ganasnya ombak Samudera Hindia agar berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di SMP Satap Pulau Salura.
Pria asal Probolinggo, Jawa Timur ini tidak pernah mengeluh dalam pengabdiannya selama belasan tahun. Meski sangat berat menjalani profesi guru di perbatasan Australia -- Indonesia.Â
Seharusnya, kemendibud memberi penghargaan kepada guru atau tenaga pendidik di daerah 3T (Terdepan, Tertinggal dan Terluar) seperti pak Heri. Saya yakin,masih banyak pek Heri di pulau -- pulau terpencil di pelosok nusantara. Namun, tidak termonitoring oleh Kemendikbud atas pengabdian luar biasa dari perjuangan pak Heri. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H