Mohon tunggu...
Habibah
Habibah Mohon Tunggu... Editor - @mkzk.rin

わびさび

Selanjutnya

Tutup

Healthy

PENTING, DAMPAK DAN PENGARUH KESEHATAN MENTAL SAAT PANDEMI

21 Juni 2021   08:52 Diperbarui: 21 Juni 2021   10:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image(sc pict:https://www.bbc.com/news/health-57013126) caption 

PENTING, DAMPAK DAN PENGARUH KESEHATAN MENTAL  SAAT  PANDEMI

Sudah setahun lebih pandemi COVID-19 ini berlangsung, sejak diumumkannya wabah ini pada bulan maret 2020 lalu. Dengan adanya pembatasan sosial guna mencegah penularan lebih lanjut, sangat memungkinkan adanya perubahan gaya hidup terkait pandemi yang kian hari tak menentu. Hal ini lah yang menjadi puncak masalah pada sebagian besar masyarakat khususnya golongan kelompok kecil yaitu keluarga, anak dan remaja.

Banyak tekanan yang diterima masyarakat terkait pandemi ini seperti, mengkaitkan hidup penuh tekanan sebelum pandemi, dengan kesulitan yang menjangkit perekonomian tiap keluarga, beban seorang kepala keluarga yang harus dipikul untuk menghidupi keluarga. Banyak orang merasa depresi, tidak bisa mengontrol diri baik pikiran maupun tindakan, bahkan putus asa dengan keadaan. Maka, tak heran kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan yang kerap terjadi, hingga muncul kasus pembunuhan. Kita semua berupaya untuk hidup tetap aman, namun dunia seakan tidak memihak orang yang lemah, miskin, atau serba kekurangan.

Permasalahan yang terjadi dalam keluarga pastinya menjangkit pula pada anak. Berbagai kesulitan yang harus mereka hadapi khususnya para remaja, membiasakan diri dengan rutinitas barunya seperti, beradaptasi dengan pola keseharian yang berbeda dari biasanya, sekolah online, kesulitan keuangan, kerja dari rumah, pertemanan, masalah percintaan, juga terus mengikuti informasi baru dan berhadapan dengan penyakit serta kematian membuat masalah hidup seperti tiada akhir.

Perubahan yang terjadi secara signifikan inilah yang akhirnya mempengaruhi kesehatan mental anak maupun remaja. Dimana gangguan mental bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya ADHD, gangguan perilaku, kecemasan, depresi, hingga sindrom Tourette. Oleh karena itu, gejala yang terjadi pun juga berbeda-beda. Pada data Riskedes (riset kesehatan dasar) 2018, menunjukkan prevalansi gangguan mental emosional untuk usia 15 tahun keatas sekisar 9,8% dengan gejalanya berupa depresi dan kecemasan yang mencapai sekitar 6,1%, presentase tersebut diambil dari  jumlah sebagian penduduk indonesia atau berkisar 13 juta orang keluarga.

Menurut WHO (badan kesehatan nasional). Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki persentase depresi sebesar 6,2%. Depresi berat akan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri. Dengan kasus bunuh diri sebesar 80 – 90% akibat dari depresi dan kecemasan. Sedangkan, kasus bunuh diri bisa mencapai 10.000 atau setara dengan setiap satu jam terdapat kasus bunuh diri. Menurut ahli suciodologist 4.2% siswa di Indonesia pernah berpikir untuk bunuh diri. Pada kalangan mahasiswa sebesar 6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri, sedangkan 3% lain pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Siapa sangka pandemi ini mengundang penyakit pada kesehatan mental seseorang. Menurut PDKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia) ada peningkatan kasus depresi sebesar 57,6% di era pandemi ini. Dengan melemahnya mental seseorang jelas dapat berdampak pada kesehatan fisiknya, seakan-akan keduanya tidak boleh dipisahkan. Mengapa?, karena kesehatan mental sangat penting untuk menunjang produktivitas dan kualitas kesehatan fisik. Orang dengan kesehatan fisik yang baik dan sempurna belum tentu sehat mental dan jiwanya, tapi orang yang memiliki kesehatan jiwa akan terus mengalirkan energi positif pada dirinya.

Dengan banyaknya presentase gangguan mental yang dialami beberapa masyarakat, harusnya kita sadari (sadar diri) menjaga mental kita agar tetap sehat. Depresi sering menjadi akar masalah yang kerap ditemui. depresi  merupakan bentuk dari stres yang berkepanjangan yang menjadi salah satu melemahnya mental seseorang. 

Untuk itu perlu adanya tahapan dalam mengelola tingkatan stres yang dialami masyarakat, tentunya masing – masing individu dari kita punya tingkatan stres yang berbeda, begitu pula penanganannya. Ada yang melampiaskannya dengan kegiatan yang digemarinya seperti hobi, melakukan kegiatan refreshing, mendekatkan diri dalam konteks spiritual keagamaan, hingga bercerita kepada orang lain untuk mengurangi beban stres. 

Di era digital sekarang ini banyak kita jumpai platfrorm yang meyediakan layanan konsultasi secara daring dengan biaya maupun gratis. Selain itu, beberapa puskesmas atau berapa badan kesehatan masyarakat lainnya telah menyediakan layanan konsultasi psikologi dengan biaya gratis maupun berbayar dengan harga terjangkau.

Tak hanya orang tua atau orang dewasa saja yang harus menjaga kesehatan mentalnya, namun justru sangat penting bagi anak sejak dini hingga remaja bisa tumbuh dengan mental yang kuat dan sehat. Untuk itu peran orang tua sangat penting bagi perkembangan anaknya. Membangun keluarga yang harmonis tentunya menjadi impian bagi tiap manusia. 

Dimulai dari peran orang tua dalam mendidik anak, kuncinya dimulai dengan membangun kepercayaan diri anak pada orang tua dan tingkatkan rasa percaya diri pada anak. Ketika ini berhasil, anak akan merasa berada di posisi yang aman, punya tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah, sehingga ia tidak tumbuh menjadi pribadi yang mudah insecure dengan menyebarkan energi positif dalam dirinya. Tak lupa juga untuk selalu menjaga pola hidup sehat, tentunya ini berlaku bagi semuanya.

Jangan biarkan atau bahkan mengabaikan kesehatan mental seseorang, karena banyak sekali dari kita yang masih menganggap sepele permasalahan ini. Tak hanya kita sebagai masyarakat awam yang terkadang minim informasi, namun terkadang pemerintah sibuk akan urusan politik negara. Terlihat dari pemahaman akan kesehatan mental di Indonesia yang cenderung rendah. 

Hal ini dibuktikan dengan tingkat pemasungan orang dengan gangguan jiwa sebesar 14% pernah pasung seumur hidup dan 31,5% dipasung 3 bulan terakhir. Selain itu sebesar 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik dan hanya 9% sisanya yang dapat tertangani. Tidak ditangani dengan baik bisa menjadi indikasi akan kurangnya fasilitas kesehatan mental ditambah kurangnya pemahaman akan kesehatan mental.

Sebagian masyarakat cenderung memberi tanggapan negatif terhadap orang dengan gangguan mental atau jiwa. Seperti mencela atau menganggapnya sebagai aib, bahkan menganggap gila. Selain itu masyarakat yang kurang paham akan tanda – tanda gangguan mental seperti depresi, yang mana depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang paling sering dialami. 

Hal seperti ini lah yang menyebabkan orang dengan kesehatan mental yang terganggu, akan cenderung susah untuk terbuka mengenai dirinya maupun pengobatan untuk dirinya dan malah merasa lebih tertekan akan stigma masyarakat. Hendaknya masyarakat lebih terbuka dan peka akan gangguan kesehatan mental disekitarnya, terutama di masa pandemi ini masyarakat menjadi sangat sensitif. Dengan menjadi pendengar yang baik bagi masyarakat lainnya, khususnya yang mengalami depresi maupun stres sebagai salah satu upaya meringankan beban mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun