Sedari dulu, kita selalu dikenalkan dengan adanya pembagian sampah menjadi dua jenis, yakni sampah organik dan sampah anorganik. Singkatnya, sampah organik adalah sampah basah yang terdiri dari dedaunan, sisa makanan, dan sampah dapur, yang bisa diolah menjadi kompos. Sedangkan sampah anorganik adalah sampah kering yang bisa didaur ulang, seperti kaleng, kemasan makanan, botol plastik, kardus, dan sebagainya.
Sayangnya, pemilahan sampah tidak selalu berjalan mulus. Seringkali kita temukan dua tong sampah (organik dan anorganik) berdampingan di tempat-tempat umum. Namun isinya, tetap saja tercampur karena ketidakpatuhan orang yang membuang sampahnya. Pada akhirnya, orang-orang yang sadar dan tahu akan kesalahan tersebut, ikut membuang sampah dengan mencampuradukkan sampah organik dan anorganik dalam satu tong sampah.
Tahun lalu, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti kebakaran hingga berhari-hari. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat sekitar yang merasakan sesak napas dan bau yang menyengat, tapi juga berdampak pada Tempat Penampungan Sementara (TPS) lain karena tidak bisa lagi membuang sampah ke TPA Sarimukti. Akibatnya, sampah terus bertumpuk di TPS tersebut.
Dari bencana tersebut, pihak-pihak terkait mulai mengusahakan adanya pemilahan sampah di setiap daerah di Kota Bandung. Edukasi pemilahan sampah terus digencarkan pemerintah dari skala kecamatan hingga RT.
Kebetulan, di September lalu, saya ditugaskan untuk meliput kegiatan di kelurahan tempat saya tinggal. Saat itu, momennya pas sekali. Pihak kelurahan sedang mengadakan rapat sekaligus edukasi pemilahan sampah kepada para ketua RW dan RT. Bahkan, edukasi ini tidak hanya berjalan sekali. Melainkan hingga beberapa kali untuk menguatkan tekad para ketua RW dan RT agar mau memilah sampah, dan mensosialisasikan hal tersebut kepada warganya.
Yang menarik, pembagian sampah yang dijelaskan dalam kegiatan tersebut, tidak hanya 2 jenis, melainkan 3 jenis. Jadi selain sampah organik dan anorganik, ada juga istilah sampah residu.
Saat itu, Pak Camat yang turut serta dalam kegiatan, memberi contoh bahwa ketika kita memasak mie instan, maka kemasan mie tersebut masuk sampah anorganik karena bisa didaur ulang. Namun kemasan bumbu kecap, saus, dan minyaknya, termasuk dalam sampah residu.
Selain kemasan bumbu kecap dalam mie instan, contoh beberapa sampah residu lainnya yaitu tisu bekas, popok/pembalut, dan sampah-sampah lainnya yang tidak bisa didaur ulang. Oleh karenanya, sampah residu inilah yang mestinya dibuang ke TPS dan TPA.
Saat itu saya baru tersadar. Benar juga ya. Tisu yang dipakai untuk mengelap air pasti akan basah, tapi tidak mungkin masuk sampah organik atau anorganik karena tidak bisa didaur ulang ataupun terurai menjadi kompos. Begitu juga dengan kardus berminyak bekas wadah makanan yang disajikan dari suatu rumah makan. Ternyata selama ini saya sudah banyak menghasilkan sampah residu.
Selang empat bulan setelah rapat pertama mengenai pemilahan sampah di kelurahan, tepatnya di awal Januari 2024, akhirnya RW tempat saya tinggal mulai menerapkan pemilahan sampah. Masing-masing rumah diberi satu ember kecil untuk tempat membuang sampah organik. Di setiap hari Selasa dan Sabtu, ember beserta sampah organiknya dikumpulkan di suatu tempat yang telah disepakati. Kemudian petugas sampahlah yang akan mengangkut sampah organik dari tempat tersebut.