Beragam tanggapan dari praktisi pendidikan di media massa menolak pelaksanaan ujian nasional (UN). Jika 'musim UN" tiba Kompas hampir tiap hari menurunkan arus penolakan penentu kelulusan tersebut.
Namun, hingga saat ini pemerintah bersikukuh, 'keras kepala' menjalankan keputusan yang agak dipaksakan itu. Bahkan setelah MA menolak kasasi pemerintah melalui Mendiknas Muhammad Nuh akan mengajukan peninjauan kembali alias PK (Kompas, 25/11/2009). Mendiknas mengatakan bahwa UN adalah kebijakan nasional, selama masih ada peluang hukum, upaya tersebut akan diteruskan. "Proses hukum atas perkara UN itu bukan masalah kalah atau menang. Yang penting pemerintah telah menunjukkan segala persoalan yang ada terkait UN," kata Menteri (Kompas.com, 26/11 2009).
Sejak digulirkannya UN menggantikan Ebtanas (Evaluasi Tahap Belajar Nasional) sebagai penentu kelulusan maka dunia pendidikan terus mendapatkan polemik. Menurut yang menolak, pemerintah mengebiri kurikulum karena pemerintah memfokuskan pada mata pelajaran yang diujikan dan peran guru dimatikan. Dan dengan adanya UN nilai pegagogis yang mulai tumbuh di negeri ini akan terkuburkan secara bertahap dengan sistem ujian habit formation (nilai pembiasaan) menjawab soal ini.
Para guru di sekolah selama ini seolah gadis cantik yang sedang berhadapan dengan orangtuanya yang memaksakan dirinya menikah dengan duka tua terkaya di kampung. Berbagai argumentasi dikeluarkan sang gadis agar tidak dipersunting dengan duda tua itu. Tapi namanya orangtua (pemerintah), jika mengeluarkan keputusan tidak ada yang bisa melawannya. Meski jika dicermati, alasan sang gadis (praktisi, red) menolak dipersunting dengan duda itu sangat logis.
Begitulah potret dunia pendidikan kita saat ini. Praktisi dan guru yang menolak UN diselenggarakan seperti anak gadis yang malang ini. Ia tidak bisa berbuat apa-apa atas kenyataan yang terjadi dalam hidupnya. Ia hanya bisa menerima. Meski hati dan nuraninya tidak bisa menerima apa yang ada di hadapan mereka. Hatinya hanya bisa merontah. Ia hanya bisa merintih bersedih melihat anak didiknya jadi korban yang 'terdzalimi' oleh sistem pendidikan yang salah ini.
Di berbagai daerah sudah banyak guru yang melakukan aksi demonstrasi. Tapi setelah itu mereka kembali mengajar karena kenyataan mereka seperti anak gadis yang dijodohkan oleh duda tua tersebut. Jika tidak menatati keputusan orangtua sang gadis harus pergi dari rumah. Seperti buah simalakama. Maju kena, mundur kena juga.
Pemerintah Vs Pedagog
Tahun 2007, penulis berkempatan berbincang-bincang dengan pemerhati anak Seto Mulyadi. Waktu itu Seto Mulyadi-lebih akrab disapa Kak Seto-masih menjabat sebagai anggota BSNP periode 2005-2009, periode 2009-2014 tidak lagi menjabat. Saya sempat bertanya dalam hati, kenapa beliau tidak menjabat lagi? Apa karena bersebrangan sikap dengan pemerintah soal penyelenggaran UN? Penulis tidak tahu pasti. Yang jelas beliau pendidik yang berintegritas dan punya nurani pendidik yang cukup tinggi? Tapi kenapa beliau disingkirkan?!
Kala mendengarkan argumentasi Seto Mulyadi, yang juga psikolog anak ini mengagetkan saya. Bukan karena beliau salah satu anggota BSNP tapi dampak UN jika diteruskan. Seto Mulyadi mengungkapkan UN hanya mengorbankan anak sebagai peserta didik. Sang anak bisa saja terganggu kejiwaannya jika mereka dikejar-kejar dan dipaksakan melakukan diluar kemampuannya. Kondisi ini bisa mempengaruhi masa depan anak. Apalagi, kata Kak Seto fasilitan dan kualitas guru yang ada di tiap daerah berbeda dengan di DKI Jakarta.
Keresahan Kak Seto dan pendidik di negeri ini mungkin pernah kita rasakan. Karena hati nurani kita mengatakan UN tidak logis dijalankan. Dan nilai pendidikan kita tidak lagi menekankan humanis dan pelestarian eksistensi manusia seutuhnya. Atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara, menekankan pendidikan yang mengarah pada peningkatan daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, "educate the head, the heart, and the hand !"
Perseteruan terus berlanjut dari tahun ke tahun antara pemerintah dengan praktisi pendidikan. Bahkan polemik ini telah memasuki wilayah hukum. Berita teranyar pemerintah memaksakan diri melakukan UN 2010 setelah kasasi ujian nasional yang diajukan pemerintah ditolak MA. Padahal, masih segar dalam ingatan, 6 Desember 2007 Pengadilan Tingkat Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan pemerintah. Bagaimana mungkin sebuah sistem pendidikan yang kurang efektif terus dan terus dipertahankan?
Menurut Professor Jack Richard (1993:31), UN yang ada di negeri ini disebut backwash effect. Karena UN menurutnya mereduksi, mengkuburkan dan melenyapkan nilai-nilai pedagogis yang ada. Para murid berlomba-lomba membekali diri dengan keterampilan menembak jawaban yang tersedia. Belum lagi dengan standar kelulusan yang tinggi para guru dan orangtua mengambil jalan pintas menghalalkan segala macam cara.
Pola pendidikan seperti ini lebih mengedepankan rasa malu dibandingkan konsep pedagogis. Di sana ada gensi. Ada pula ego pemerintah menjaga gensi tertinggal dari Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Singapura dan melupakan proses pendidikan. Nilai-nilai pedagogis yang kita junjung tinggi selama ini terampas demi ambisi pemerintah. Begitu pula nilai-nilai leluhur yang kita agung-agungkan selama ini terabaikan. Seperti pengajaran budi pekerti dan ahlakul karimah (people skill) yang ada pada mata pelajaran Agama Islam yang mulai tergeser oleh mata pelajaran yang diujiankan di UN. Pemahaman budi pekerti di sekolah sudah mulai dianggap oleh murid sebagai selingan, penunggu waktu sebelum pulang sekolah.
Hentikan UN 2010
Artinya, sebaiknya pemerintah menghentikan UN 2010 dengan semakin lemahnya setelah kasasinya ditolak. Dana yang sudah disetujui Komisi X DPR RI itu dialokasikan untuk memperbaiki fasilitas dan layanan pendidikan. Pembangunan fasilitas dan sarana pendidikan lebih mendesak dilakukan. Di beberapa daerah, banyak siswa mengikuti proses belajar mengajar di ruang kelas yang tidak layak pakai. Tapi kenapa pemerintah lokal maupun pusat tidak memprioritaskan pembangunan sekolah mereka?
Pemerintah terlihat egois hanya ingin memetik hasil akhir dengan jalan pintas. Pemerintah belum sadar juga bahwa siswa di perkotaan mendapatkan kelimpahan fasilitas dan akses informasi lebih maju daripada siswa di pinggiran. Faktor kecukupan gizi juga demikian perlu dipertimbangkan. Anak petani yang kekurangan gizi sulit dipaksakan belajar seperti siswa di perkotaan.
Sebagai pendidik kita sudah lelah menyakinkan pemerintah dari berbagai teori pendidikan dan UU Sisdiknas bahwa UN sebaiknya dihentikan karena bertentangan dengan Pasal 58 UU Sisdiknas. Pasal 58 UU Sisdiknas tersebut memberikan prioritas kepada pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik. Apa pemerintah menghentikan kebijakannya jika kita melakukan pemogokan massal, turun ke jalan? Jika memang itu jalan yang terbaik, dengan terpaksa kita melakukan untuk menghentikan UN 2010.
Habibi Mahabbah, Pedagog dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta (Tulisan 2010)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H