Ramadan pergi meninggalkan kita? Bagi umat Islam di seluruh dunia, Ramadan merupakan ibadah tahunan yang mengharuskan mereka untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Tidak hanya untuk beribadah, bulan puasa juga meninggalkan momen yang berkesan, seperti berburu takjil, bermain petasan, dan menunggu datangnya Tunjangan Hari Raya (THR). Nah, setelah selesainya Ramadan, umat Islam akan disambut dengan perayaan hari kemenangan yang dikenal sebagai Hari Raya Idulfitri.Â
Siapa yang sedih ketika bulanPerayaan Idulfitri tentu dilaksanakan secara berbeda-beda di seluruh dunia. Tidak perlu melihat negara lain, bahkan antara satu tetangga dengan tetangga lainnya pun memiliki cara tersendiri dalam merayakan hari kemenangan. Misalnya, orang Betawi di Jakarta yang memiliki adat mengunjungi kerabat selama 7 hari, orang Jawa yang melakukan sowan atau ziarah ke makam orang-orang tertentu, serta budaya sungkem orang Indonesia yang dilakukan sebagai bentuk permintaan maaf.Â
Terlepas dari berbagai tradisi di Indonesia, ada satu hal yang tetap sama di seluruh daerah: pemberian THR. Siapa yang tidak familiar dengan istilah tersebut? Di Indonesia, budaya THR identik dengan tradisi menukarkan uang baru sebelum kemudian membagikannya kepada keluarga, saudara, atau orang terdekat. Itulah salah satu hal yang ditunggu ketika bersilaturahmi ke rumah sanak saudara. Hari Raya Idulfitri rasanya tidak lengkap tanpa adanya sesi pembagian THR. Namun, bagaimana tradisi ini bisa sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia?
Mengutip dari laman unair.ac.id, Pakar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Djoko Adi Prasetyo, Drs., M.Si. beranggapan bahwa tradisi pemberian THR mengakar dari proses akulturasi antara budaya Timur Tengah dengan Indonesia sejak abad ke-16 hingga ke-18. Para raja dan bangsawan Kerajaan Mataram Islam biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idulfitri sebagai bentuk rasa syukur, terutama terkait keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Sejarah juga mengatakan bahwa THR pertama kali tercetus pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi demi meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Zaman sekarang, tradisi ini pun masih dipertahankan sebagai bentuk kebersamaan antarkeluarga. Biasanya, mereka yang belum berpenghasilan, masih mendapatkan THR dari anggota keluarga yang lebih tua. Hal ini pun berlaku bagi Gading (20) dan Mandha (19), sebagai para penerima THR. Tahun ini, mereka masih diberi uang oleh orang tua, kakek-nenek, dan juga kerabat yang lain. Rentang uang yang diberikan pun bervariasi, mulai dari 20 ribu rupiah hingga 200 ribu rupiah.Â
"Tahun ini banyak yang ngasih THR: ada ayah saya, ibu saya, kakek-nenek saya, om, tante saya juga. (Uang) paling kecil 20 ribu dan paling gede, anggap aja 200 ribu-lah, ya," ujar Gading.
Bentuk kebersamaan ini pun diterapkan oleh Ari (48), seorang wirausahawan dan Ade (47), seorang ibu rumah tangga sebagai para pemberi THR. Perbedaan pekerjaan membuat pemberian uang mereka bervariasi. Karena Ari merupakan seorang wirausahawan, ia memiliki beban THR di luar anggota keluarga, yaitu anak dari karyawannya. Rentang nominal yang ia beri berkisar dari 20 ribu hingga 500 ribu.
"Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, yang saya kasih itu keluarga, meliputi dari anak, keponakan, anak sepupu, kemudian anak karyawan, dan lain-lain. Range-nya mulai dari 20 ribu sampai 500 ribu" tuturnya.
Status Ade sebagai ibu rumah tangga membuat ia hanya bertanggung jawab untuk memberikan THR kepada orang yang dianggap dekat secara hubungan keluarga. Tidak sebanding dengan Ari, jumlah penerima THR dari Ade lebih sedikit sehingga ia mengeluarkan nominal yang lebih besar.
"Ngasih THR ke anak, keponakan, dan orang-orang yang dekat (hubungannya). Range-nya dari 50 ribu sampai 1 juta," ujarnya.
Lebaran merupakan ajang untuk menyambung kembali tali silaturahmi antarkerabat. Kedekatan hubungan menjadi salah satu faktor penentu dari jumlah uang yang diberi maupun diterima. Bagi para narasumber, makin dekat hubungan keluarga, makin besar juga uang yang mereka keluarkan/terima. Hal ini merupakan suatu kesamaan yang menyatukan para narasumber sepanjang lebaran. Selain karena kedekatan hubungan, keluarga Mandha juga memberikan uang lebih kepadanya jika dibandingkan ke anak-anak. Hal ini disebabkan statusnya sebagai mahasiswa aktif.
"Lebih ke karena deket sama keluarga, jadi dikasih THR. Tapi range (nominal) THR, lebih ke siapa yang butuh sekarang. Karena mahasiswa, dikasih THR banyak karena kesadaran kalau mahasiswa itu keperluannya jauh lebih banyak daripada anak kecil," papar Mandha.
Tingkat keseringan berinteraksi juga berpengaruh dalam menentukan seseorang termasuk keluarga dekat atau tidak. Ade sebagai pemberi THR merasa bahwa keluarga yang masih sering berinteraksi cenderung akan mendapatkan nominal lebih besar dibanding mereka yang hanya bertemu setahun sekali.Â
"Biasanya kalau semakin jauh hubungannya, apalagi jarang ketemu dan ketemunya setahun sekali pas lebaran, biasanya gak sebesar yang dekat dan lebih sering ketemu," katanya.
Meskipun masih ada beberapa pedagang yang membuka jasa penukaran uang baru, perubahan zaman memudahkan seseorang untuk memberikan THR. Dengan adanya perkembangan teknologi, pemberian uang tidak melulu dalam bentuk fisik, melainkan bisa menggunakan transfer bank. Perbedaan generasi membuat mereka memiliki preferensi masing-masing dalam cara memberi dan menerima THR. Bagi Ari dan Ade yang merupakan Generasi X, mereka lebih senang memberikan uang secara fisik ketimbang transfer. Alasannya, lebih mendapatkan kesan kebersamaan lebaran yang diharapkan.
"Kasih cash karena lebih ada kesan hand-to-hand dan sambil salim," ujar Ari terkait alasannya.
Sementara itu bagi Generasi Z, Gading dan Mandha lebih senang menerima uang melalui transfer mobile banking dibandingkan menerima uang fisik. Mereka malas membawa uang tunai dalam jumlah besar. Hal ini dikenal dengan istilah cashless. Istilah tersebut juga dilontarkan oleh Gading dalam alasannya.
"Transfer. Karena aku orangnya cashless banget. Biar dompetnya tipis kalo ditaro di kantong," ungkap Gading.
Berada di tengah momen lebaran menjadi suatu keberkahan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam tradisi THR. Setiap orang memiliki niatnya masing-masing dalam bagaimana mereka mengelola uang tersebut. Uang yang diterima oleh Gading dan Mandha akan mereka tabung untuk keperluan mendatang, khususnya kebutuhan kuliah sebagai mahasiswa.
"Niatnya buat ditabung kebutuhan kuliah, sih," ucap Mandha.
Niat serupa juga diharapkan bagi para pemberi THR, seperti Ari dan Ade, yang ingin rezekinya dapat bermanfaat. Karena momen Ramadan hanya berlangsung setahun sekali dan belum tentu kita akan merasakannya lagi, Ade ingin menjadikan tradisi THR kali ini sebagai sesuatu yang dapat memberikan kesenangan bagi orang lain.Â
"Tujuannya lebih ke berbagi kebahagiaan aja. Seneng aja ngeliat mereka senang terima pemberian dari kita. Ya, semoga jadi berkah buat kita karena kita ngasih ke mereka," tutup Ade seraya tersenyum simpul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H