Mohon tunggu...
Hariyawan Agung Wahyudi
Hariyawan Agung Wahyudi Mohon Tunggu... profesional -

Menjalani sisa hidup dengan motto "apa yang terjadi, terjadilah".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sequel Siang Bolong

9 Maret 2011   11:33 Diperbarui: 29 April 2016   12:21 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedang berdiskusi di kantor dengan notarisku siang tadi (09/03/2011) ketika tiba-tiba terdengar sapaan salam. Pikirku, siapa lagi ini siang-siang, hujan deras lagi, bertamu ke kantor.

Terlihat seorang lelaki empat puluh tahunan dengan senyum menyeringai berdiri di pintu pagar, kembali mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum, Pak”.

Sosok lelaki yang gagah, berkaos, bercelana sampai di atas tumit, bersepatu kets, dengan janggut yang panjang. “Bukan tetangga, bukan sales, bukan satpam”, pikirku dalam hati.

“Salam”, jawabku pendek seraya meminta dia untuk mendekat. “Iya Pak, ada apa?”

Dengan ragu tapi tetap tersenyum ramah, dia mendekat dan berkata dengan pelan,”Maaf Pak, saya bukan orang Sunda, saya orang Jawa, jadi saya bicaranya pakai bahasa Indonesia saja ya”.

“Iya Pak, silakan, saya orang Jawa juga. Mangga, jika ada yang mau disampaikan,”ujarku dalam Jawa dengan masih berdiri tanpa ekspresi.

Bapak itu memegang pundakku dengan mantap, tanpa rikuh, berkata,”Pak, ada makanan tidak di dalam. Anak-anak saya lapar....”.

Kulihat arah telunjuk Bapak itu tertuju. Di seberang jalan depan kantorku, duduk seorang ibu berkerudung besar, dikelilingi tiga orang anak yang terlihat masih seumuran, sekitar enam hingga sembilan tahun.

Nampak si Ibu tersenyum malu dengan muka yang tegang, duduk di pinggir bak sampah menjaga satu tas ransel besar dan dua tas jinjing.

Aku masih saja terkesima dengan peristiwa yang hanya beberapa detik tersebut, ketika si Bapak meneruskan kalimatnya, masih juga dalam Jawa,”Saya datang dari Gresik mencari saudara Pak, di Cibinong. Akan tetapi rumahnya tidak kami temukan. Waktu di bis, malah uang yang dibawa istri saya kecopetan semua. Rencana saya mau nyari tumpangan truk, tapi anak saya belum makan.”

Aku langsung terfikir belum mengambil uang di ATM sejak bebrapa hari yang lalu, dan uang cash yang ada hanya belasan ribu. Bingung, kaget dan segala macam pikiran lain yang aku tidak tahu bercampur aduk jadi satu dalam hitungan sepersekian detik.

“Duduk dulu Pak, saya masuk sebentar”, ujarku seraya mempersilakan duduk di kursi teras.

“Ah, ndak usah Pak. Saya malu ini malah”, Ujarnya sembari membungkukkan badan, khas orang Jawa.

Aku bergegas ke ruang kerjaku, menumpahkan isi tas. Mencari setiap lembar uang yang ada. Dan benar dugaanku, hanya belasan ribu.

Aku malu dan tidak bisa berbuat apapun, sedangkan tidak ada sesuatu apapun di kulkas. Aku tidak terfikir mengisinya, akibat dari rencana kepulanganku sore ini yang ternyata batal.

Aku hanya bisa berkata dalam hati, hanya ini yang aku punya Pak. Maafkan hanya sebesar ini, karena aku juga anak kos di sini.

Aku keluar, melihat si Bapak sudah berada di jalan bersama istri dan anak-anaknya. Dia sudah memanggul ransel gunung, dan ketiga anaknya telah memanggul beban masing-masing. Semuanya basah kuyup, tak terkecuali istrinya yang sedang menggendong..... PUJI TUHAN!! Aku melihat sebentuk bayi di dalam gendongannya. Masih dalam “bedhongan”.

Si Bapak berjalan bergegas, seolah melupakan pembicaraannya denganku barusan karena melihat aku keluar tidak membawa makanan apapun.

Sambil menjajari langkahnya, aku berucap, juga dalam Jawa,”Saya anak kos di sini Pak, tidak biasa menyimpan makanan. Ini yang ada, buat sekedar makan”.

Dengan tidak juga melambatkan jalannya, si Bapak menjawab,”Terima kasih, Pak. Saya malah malu berbuat seperti pengemis”.

Perasaan kemanusiaanku terobek mendengar perkataan terakhir, “seperti pengemis”!! Sedangkan hatiku seperti disayat pisau memikirkan apa yang bisa dibeli hanya dengan uang belasan ribu itu untuk mereka semua, belum si bayi.

Tapi Tuhan memang penuh kasih. Tetangga sebelah kantor, dengan masih berpakaian daster yang sangat seksi, berlari mengejar istri si Bapak itu dan memaksakan uang yang ada di tangannya untuk diterima. Sekilas aku melihat selembar lima puluh ribuan, yang membuatku merasa sangat lega.

Roman muka si ibu basah kuyup yang menggendong anaknya itu semakin buram dengan matanya yang merah basah mengalirkan air, dengan derasnya. Dengan tak jua memelankan langkah kaki, mereka mengucapkan terima kasih kepada kami, meneruskan perjalanan yang entah aku tidak tahu tujuannya.

Aku hanya bisa bilang, juga kembali dalam Jawa,”Slamet nggih Pak, slamet nggih Bu..... Slamet dumugi Gresik (Semoga selamat ya Pak , semoga selamat Bu.... selamat sampai kembali ke Gresik).

Hatiku kosong, tak mampu berfikir, tak mampu menangkap semua adegan yang hanya terjadi dalam beberapa menit. Tidak juga aku berharap apapun... hanya Tuhan yang mampu berkehendak atas mereka.

Tidak aku sadari, pakaianku mulai basah oleh hujan yang tidak sederas ketika si Bapak tadi mengucapkan salam, dan menanyakan makanan untuk anaknya [selesai]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun