“Duduk dulu Pak, saya masuk sebentar”, ujarku seraya mempersilakan duduk di kursi teras.
“Ah, ndak usah Pak. Saya malu ini malah”, Ujarnya sembari membungkukkan badan, khas orang Jawa.
Aku bergegas ke ruang kerjaku, menumpahkan isi tas. Mencari setiap lembar uang yang ada. Dan benar dugaanku, hanya belasan ribu.
Aku malu dan tidak bisa berbuat apapun, sedangkan tidak ada sesuatu apapun di kulkas. Aku tidak terfikir mengisinya, akibat dari rencana kepulanganku sore ini yang ternyata batal.
Aku hanya bisa berkata dalam hati, hanya ini yang aku punya Pak. Maafkan hanya sebesar ini, karena aku juga anak kos di sini.
Aku keluar, melihat si Bapak sudah berada di jalan bersama istri dan anak-anaknya. Dia sudah memanggul ransel gunung, dan ketiga anaknya telah memanggul beban masing-masing. Semuanya basah kuyup, tak terkecuali istrinya yang sedang menggendong..... PUJI TUHAN!! Aku melihat sebentuk bayi di dalam gendongannya. Masih dalam “bedhongan”.
Si Bapak berjalan bergegas, seolah melupakan pembicaraannya denganku barusan karena melihat aku keluar tidak membawa makanan apapun.
Sambil menjajari langkahnya, aku berucap, juga dalam Jawa,”Saya anak kos di sini Pak, tidak biasa menyimpan makanan. Ini yang ada, buat sekedar makan”.
Dengan tidak juga melambatkan jalannya, si Bapak menjawab,”Terima kasih, Pak. Saya malah malu berbuat seperti pengemis”.
Perasaan kemanusiaanku terobek mendengar perkataan terakhir, “seperti pengemis”!! Sedangkan hatiku seperti disayat pisau memikirkan apa yang bisa dibeli hanya dengan uang belasan ribu itu untuk mereka semua, belum si bayi.
Tapi Tuhan memang penuh kasih. Tetangga sebelah kantor, dengan masih berpakaian daster yang sangat seksi, berlari mengejar istri si Bapak itu dan memaksakan uang yang ada di tangannya untuk diterima. Sekilas aku melihat selembar lima puluh ribuan, yang membuatku merasa sangat lega.