Sepekan belakangan adalah waktu yang cukup sibuk bagi Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yakni Surya Paloh (SP).
Setelah dipanggil dan bertemu Presiden Joko Widodo di Istana, SP lalu bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartanto, kemudian menerima rombongan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Nasdem Tower, terakhir bertemu kembali dengan Luhut Binsar Panjaitan dalam jamuan makan siang.
Memang sejak pencalonan Anies Bawesdan oleh Partai Nasdem, Surya Paloh mendapatkan banyak sorotan tajam, baik dari internal partai mau eksternal.Â
Dari internal partai, ditandai dengan banyaknya kader, terutama di daerah Indonesia Timur yang kemudian memilh untuk keluar dari keanggotaan partai, karena menganggap jalan yang ditempuh partai berbeda dengan tujuan awal mereka.
Dari eksternal partai tentunya datang dari sesama partai koalisi pendukung pemerintah, dalam hal ini dimotori oleh PDI-P. Wajar saja karena sosok Anies Bawesdan dianggap bersebrangan dengan partai pemerintah sekarang.Â
Ditambah dengan adanya Partai Demokrat dan PKS yang rencana akan membentuk koalisi perubahan. Kedua partai ini memang konsisten untuk berada di luar pemerintahan dan bersebrangan dengan pemerintah. Logikanya adalah bagaimana mungkin partai yang berada di dalam pemerintahan, malah menjadi poros perubahan untuk pemerintahan itu sendiri.
Bahkan hubungan SP dan Presiden boleh dibilang agak memanas belakangan ini. Memang secara langsung tidak dikatakan, tapi publik juga bisa menilai dari apa dan bagaimana tindak tanduk mereka berdua. Seperti saat Presiden seperti emoh untuk dipeluk oleh SP dalam suatu acara partai, tidak diundangannya Presiden dalam ulang tahun partai, sampai pada ketidakhadiran SP dalam pernikahan anak bungsu Presiden. Hal – hal diatas dibaca publik sebagai perang – dingin anatara SP dan Presiden.
Sampai publik agak dikejutkan takkala muncul pemberitaan bahwa SP bertemu dengan Luhut BP Â di London. Â Pertemuan antara keduanya diyakini juga ada andil dari Presiden karena Luhut BP selama ini boleh dibilang sebagai tangan kanan Presiden untuk berbagai urusan penting. Sampai pada akhirnya SP dipanggil Presiden di Istana. Pertemuan itu sendiri diketahui publik beberapa saat setelah kejadian, dalam artian, seperti dirahasiakan sebelumnya.
Setiap Gerakan SP saat ini boleh dibilang mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Tapi keadaan ini tak lepas dari pilihan politik yang diambil SP sendri bersama Nasdem karena berani mengambil jalan berbeda dengan Presiden. SP awalnya mungkin berfikir bahwa koalisi bersama PKS dan Demokrat akan lancar dan mulus. Namun sampai saat ini belum ada kesepakatan berarti dari ketiga partai ini terkait koalisi sesungguhnya. Pernyataan- pernyataan yang keluar dari para petinggi partai hanya sebatas retorika belaka.
Persoalan pemilihan cawapres siapa nanti yang akan menjadi pendamping Anies sepertinya menjadi penghambat koalisi ini untuk bersatu. Baik Demokrat maupun PKS merasa paling berhak untuk mengajukan kadernya sebagai pendamping Anies. Wajar saja siapapun partai yang bisa menjadikan kadernya menjadi cawapres pendamping Anies diyakini akan mendpatkan keuntungan yang lebih besar , efek ekor jas ( coat-tail effect).
SP yang awalnya percaya diri bahwa pemilihan cawapres akan berjalan mulus, lama kelamaan melihat bahwa persoalan ini tidak selesai-selesai karena ego masing masing partai. Ditambah Anies yang diberi mandat mencari cawapres sendiri oleh Nasdem tidak juga bisa menentukan siapa. Bahkan lebih sering kunjungan kesana kesini tanpa kepastian.
Ditambah bahwa elektabilitas partainya semakin turun diberbagai survey dan tekanan dari mitra koalisi di pemerintah, mau tidak mau membuat SP berfikir realistis. SP tentunya paham berhadapan face to face dengan Presiden saat ini adalah suatu tindakan yang sangat merugikan partainya.
Dengan bertemu dengan Presiden serta ketua umum Golkar, banyak pesan yang sejatinya disampaikan oleh SP. Yang pertama tentunya menunjukkan kepada publik bahwa hubungannya dengan Presiden adalah baik baik saja. Ini tentunya untuk meredam isu liar terutama tentang reshuffle kabinet. Â Untuk saat ini nampaknya SP dan Nasdem boleh berlega hati karena hari Rabu Pon, hari dimana Presiden sering mangambil keputusan penting, termasuk dalam hal ini pergantian kabinet, Â sudah lewat.
Pesan berikutnya adalah terkait koalisi yang di bangun dengan Demokrat dan PKS. SP ingin mengatakan cepat selesaikan dan sepakati, kalau memang pada akhirnya buntu. Ya Nasdem bisa balik kanan lagi. Kalau Nasdem balik kanan lagi jelas PKS dan Demokrat yang dirugikan karena mereka bisa – bisa tidak akan ikut dalam bursa pemilihan Presiden. Dalam hal ini Demokrat dan PKSlah yang paling butuh Nasdem. Karena mencari partai yang sealiran dengan mereka berdua tidak gampang. Terlebih partai partai lain sudah juga menjajaki koalisi. Tidak mungkin juga yang belakangan bergabung malah lebih mendominasi.
Hal ini tidak berlaku untuk Nasdem, karena bagaimanapun SP dan Nasdem hubungannya jauh lebih lama dan dalam dengan partai koalisi pemerintah. Apalagi dengan Golkar. SP sebelum mendirikan Nasdem adalah mantan kader Golkar. Maka tidak heran partai besar yang dikunjungi adalah Golkar. SP tau bahwa ada Luhut dibelakang Golkar. Jadi seperi yang SP katakan, semua pilihan masih terbuka. Termasuk juga bergabung dengan KIB ( Koalisi Indonesia Bersatu) yang digawangi oleh Golkar, PPP dan PAN.
Sekarang bola sebenarnya bukan berada di Presiden maupun SP tapi ada di Partai Demokrat dan PKS. Kedua partai ini harus bisa menyakinkan SP bahwa bergabung dengan mereka adalah pilihan terbaik untuk kedepannya. Dua partai ini pun saat ini tidak bisa memaksakan kehendak lagi terkait siapa yang akan menjadi cawapres.
Disinilah letak kehebatan SP sebenarnya. Walaupun Nasdem bukan parta besar, namun kehadirannya sangat dibutuhkan oleh dua partai itu. Apalagi dengan yang pertama mendeklarasikan Anies, tapa kehadiran dua partai tersebut. Nasdem selangkah lebih maju dari dua partai calon kaolisinya.
Pertemuan dengan Luhut bisa juga sebagai awal mula Nasdem untuk balik kanan. Akan menjadi lebih seru kalau pada akhirnya Nasdem bertemu dengan PDI P. hal ini tentunya membuat peta politik di Indonesia akan semakin menarik.
Segala hal diatas sepertinya menegaskan ucapan politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah bahwa tiket palsu Pilpres 2024, sebelum masa pendaftaran capres pada 7 September 2023 benar adanya.
salam poliTIKUS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H