Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ke Mana Demokrat Berlabuh?

2 Oktober 2022   00:26 Diperbarui: 2 Oktober 2022   00:34 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Walaupun masih sekitar 1.5 tahun lagi Pemilihan Presiden akan digelar, tetapi partai -- partai politik sudah mulai memanaskan mesin politiknya. Hal ini tentunya mengantisipasi syarat untuk dapat mencalonkan Presiden di 2024 nanti. Semua partai kecuali PDI --P harus menjalin koalisi untuk dapat meraih tiket mencalonkan Presiden. Syarat minimal 20 persen perolehan suara di pemilu sebelumnya membuat partai partai harus melakukan penjajakan guna membangun koalisi.

Begitu juga Partai Demokrat  (PD) yang pada pemilu 2019 "hanya" mendapatkan 7,77 persen suara saja. Partai Demokrat sadar dengan perolehan suara tersebut mereka bukan dalam posisi tawar yang tinggi. Mau tidak mau Partai Demokrat harus berinisiatif mencari teman koalisi.

PD pada akhirnya menemukan kawan koalisi yang dianggapnya sejalan, sepemikiran serta paling mungkin untuk diajak kerja sama. PD di bawah kepempimpinan Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) jelas mempunyai dua  kepentingan yang saling terikat dan tidak dapat terpisahkan yakni meningkatkan perolehan suara Partai yang semenjak Pak SBY turun suara PD juga turun serta yang kedua adalah mencalonkan AHY sebagai salah satu capres/cawapres yang diusulkan oleh mitra koalisi.

Dengan membawa dua tujuan tersebut maka berkoalisi dengan Partai Nasdem serta Partai Keadilan Sejahtera I PKS) dianggap oleh PD sebagai jalan terbaik saat ini. Walaupun dibeberapa kesempatan AHY beserta jajarannya menekankan bahwa tidak menutup kemungkinan berkoalisi dengan partai lain.

Setiap partai tentunya mempunyai strategi masing masing yang pada intinya adalah dapat memegang kekuasaan sebanyak sebanyak. tak terkecuali Nasdem dan PKS. Yang jadi persoalan bagi dua partai tersebut adalah mereka punya suara tapi tidak punya figure yang dapat dijual dari intern partai mereka.

Presiden PKS serta Ketua Umum Nasdem tidak menjual untuk dijadikan capres maupun cawapres. Mereka berdua malah sepakat untuk menggandeng Anies Bawesdan yang notabene tokoh non partai menjadi capres mereka. Hal ini tak lepas dari elektabilitas yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta itu yang selalu masuk dalam 3 besar hasil survey nasional.

PD melihat hal ini sebagi peluang yang sangat bagus.  Menduetkan Anies -- AHY seakan sangat pas dan cocok untuk PD.  Bahkan dibeberapa kesempatan pengurus partai sudah mempromosikan bahwa kalau duet Anies dan AHY ini bakal menang mudah kalau dipasangakan.

Dengan dipasangkannya Anies dan AHY sebenarnya kepentingan PD bukan pada kemenangan Anies tetapi pada peningkatan suara PD sendiri serta nama AHY yang akan terus menerus menggema sepanjang masa kampanye. Kalau bahasa kerennya PD akan mendapatkan coattail effect ( efek ujung jas) terbesar kalau duet ini jadi terlaksana. Maka dengan dalih apapun syarat PD masuk ke koalisi adalah menjadikan AHY sebagai cawapres Anies.

PKS dan Nasdem tentunya bukan tidak menyadari hal ini. Kalau PKS tentunya akan berjuang mati matian seperti pada saat pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta lalu. PKS sudah merasa bahwa Anies itu "kader" mereka tanpa harus mendapatkan kartu anggota. Secara psiologis orang pun dapat melihat kedekatan PKS dan Anies.

Yang berat untuk dapat menggolkan koalisi ini kalau PD tetap bersikeras mengajukan AHY tentu saja Nasdem. Nasdem adalah yang paling kecil mendapatkan pengaruh dari duet ini, Padahal Nasdem adalah pemimpin di koalisi ini kalau melihat jumlah persentase suara yang didapat. Berurutan adalah Nasdem (9,05 %), PKS ( 8,21 %), PD ( 7,77%). Tujuan Nasdem adalah jelas untuk memenangkan pilpres bukan meningkatkan jumlah suara mereka. 

Nasdem ingin menjadikan Anies dan pasangannya memmpunyai peluang yang besar untuk memenangkan kompetisi. Bukan sekedar penggembira atau cuma program antara saja.

Nasdem jelas memberikan persetujuan untuk Anies jadi capresnya, begitu juga dengan PKS rasanya sangat setuju dengan Anies. Beda untuk posisi cawapres , PD dan PKS mungkin bisa setuju untuk mengajukan AHY tetapi tidak dengan Nasdem. Nasdem jelas punya perhitungan sendiri.  AHY nampaknya belum bisa menyakinkan Nasdem untuk mengeruk suara secara nasional demi pilpres.

Dari dua nama selain AHY yang diusulkan Nasdem, juga bukan nama sembarangan. Panglima TNI Jendral Andika Perkasa serta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menjadi kandidat alternative yang ditawarkan Nasdem. Kedua nama tersebut jelas punya kelebihan terutama dalam mengeruk suara. Jendral Andika dengan posisinya sekarang tentunya punya jaringan yang sangat kuat sampai pelosok pelosok negeri. Sedangkan Khofifah bisa menjadi ujung tombak suara di daerah Jawa Timur serta keterwakilan perempuan apalagi dapat mempresentasikan wakil dari NU.

Tarik menarik inilah yang pada akhirnya koalisi Nasdem -- PKS -- PD belum deal sampai saat ini. Yang satu sudah merasa percaya diri tinggi, yang satu ikut arus, yang satu merasa dimanfaatkan. Tapi apakah PD dengan AHY tidak punya kelebihan dibandingkan keduanya? Jelas PD mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki calon lain. Yakni ; dukungan logistik yang mumpuni.

PD jelas mempunyai juga kader kader yang militant yang siap membantu serta membiayai partai. Apalagi ada sosok SBY dibelakang PD yang tentunya sedikit banyak masih punya jaringan dan pengaruh . Dukungan atau tawaran logistic inilah yang dapat dijadikan alat tawar menawar dalam diskusi. Semua juga paham bahwa gelaran Pilpres membutuhkan dukungan logistic tidak sedikit. Dalam hal ini PD tentunya bisa lebih diandalkan daripada dua calon cawapres lainnya.

Namun apabila pada akhirnya PD tidak menemukan titik temu dengan PKS dan Nasdem akan kemana PD ?. Pertanyaan yang agak sulit dijawab karena untuk berkoalisi dengan partai lain akan kesulitan, karena kemana mana PD akan tetap membawa AHY sebagai bagian dari tawaran berkoalisi. Harus ada AHY di paket capres/cawapresnya. Sedangkan partai lain yang perolehan suaranya menengah bahkan ketua umumnya tidak berani tampil, kecuali Ketua Umum PKB yang sangat percaya diri.

PDI -- P sudah punya sendiri antara Puan Maharani dan Ganjar dan hampir mustahil menggandeng PD dengen AHYnya, Gerindra sudah punya Prabawo yang tidak cocok disandingkan dengan AHY karena sama sama berlatat belakang militer, KIB ( Golkar -- PAN --PPP) sampai saat ini masih menunggu "hilal" dalam mencalonkan capre/cawapres namun kemungkinan sangat kecil mau mengakomodir PD kalau masih bersikeras dengan AHYnya.

Analisa penulis PD pada akhirnya akan tetap berkoalisi dengan PKS , Nasdem atau partai lainnya tetapi tidak bisa mengajukan AHY sebagai capres/cawapres. Menyakitkan memang, hal ini sama seperti saat 2019. Masuk ke koalisi pendukung Prabowo tetapi tidak terlalu aktif berkampanye. 

Atau jangan sampai apa yang ditakutkan oleh Pak SBY bahwa pada akhirnya PD tidak bisa berkoalsi dengan siapapun terjadi. Tentunya hal ini sangat sangat dan jangan sampai terjadi. Dan kalaupun memang harus terjadi mau gimana lagi, hidup ini memang begitu seperti roda, kadang di atas kadang pula di bawah. Tetap semangat PD dan AHY, semoga cepat mendapatkan mitra koalisi yang pemanen, jangan mau digantung lama -- lama, emang jemuran?

Salam poliTIKUS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun