Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sekali Lagi "The Invincible Hand" Mengalahkan Timnas Indonesia

6 September 2019   16:07 Diperbarui: 11 September 2019   04:00 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pil sangat pahit harus ditelan oleh jutaan suporter pendukung Timnas Indonesia, baik yang menonton langsung maupun lewat media elektronik.  Bermain di depan publik sendiri Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, harapan menang sempat membumbung tinggi sebelum pertandingan, apalagi saat Timnas kita bisa unggul 2 kali. Tetapi apa daya pada akhirnya kita harus menyerah 2-3, dan gol tersebut hadir pada menit-menit akhir perpanjangan waktu. Sungguh menyakitkan memang. Seperti yang dilangsir dari detik.com (6/9/2019)

Penulis sendiri melihat sedikit "ketidak normalan" dalam pertandingan tadi malam. Persis terjadi saat (kalau kita ingat) Tim kita berhadapan dengan Singapore dibawah asuhan Bima Sakti. Ada "sesuatu" yang hilang dari para pemain kita. "Roh" Garuda dan merah putih tidak tergambar dalam pertandingan tadi malam.

Diawali dari strategi yang kita gunakan 4-2-3-1. Di sini terlihat Simon McMenemy sepertinya masih ingin bermain normal dan aman, dengan menaruh dua jangkar agak ke belakang. Zulfiandy dan khususnya Evan Dimas terlalu ke belakang. Sehingga aliran bola ke depan sepertinya mati. Memang strategi bisa saja mengikuti perkembangan lapangan. 

Memakasi pola 4-3-3 atau 4-1-4-1 lebih baik dalam menyerang. Sehingga Evan Dimas lebih leluasa dalam menyerang. Malaysia sendiri ternyata cepat merespon hal ini, mereka segera bermain dan menyerang terus dari sayap. Boleh dibilang malam tadi strategi Simon lebih memberatkan kepada pertahanan daripada menyerang.

Starting Line Up pun agak ajaib. Memang seorang pelatih berhak untuk menentukan siapa saja yang bermain, hak preogratif istilahnya. Tapi beberapa kejanggalan sudah terbaca. Penunjukan Manahati di jantung pertahanan, padahal sejatinya dia adalah seorang gelandang bertahan. Di bangku cadangan masih banyak pemain yang bisa jadi opsi seperti Yanto Basna. 

Bek Sayap khususnya kanan, bukan meremehkan bek yang ada, tapi secara usia juga harus diperhatikan. Untuk intensitas pertandingan yang menguras fisik haruslah mereka yang kuat. Padahal kita masih punya bek-bek tangguh di sisi kanan kiri dan juga rajin overlap dan berkarakter menyerang, sebut saja Putu Gede dan Rezaldi yang kali ini tidak dipanggil.

Saddil yang baru dipanggil beberapa hari yang lalu ternyata langsung masuk ke line up, demi alasan sudah kenal dengan kultur sepak bola Malaysia. Dan ternyata Saddil bermain jauh dibawah performa biasanya, kelelahan mungkin jadi alasannya. Memainkan Irfan Jaya atau Irfan Bachdim sebetulnya bisa menjadi opsi yang baik untuk timnas kita. Sedangkan Saddil dan Febri bisa menjadi senjata pamungkas di babak kedua.

Dari segi permainan di lapangan nampak sekali ada "sesuatu" yang membebani skuad Garuda kita.  Setelah unggul satu gol. Timnas kita bukannya makin giat menyerang tapi malah bermain bertahan. Ada kelengahan kalau tidak mau dibilang pembiaran saat Malaysia mencetak gol demi gol. Gol pertama Malaysia jelas sekali itu salah koordinasi barisan belakang.

Ditambah sepertinya kiper kita tidak dapat bereaksi apa-apa ketiga bola masuk ke gawang. Nampak semalam yang terlihat banyak berlari dan membawa bola adalah Andik, tetapi kondisi fisiknya jauh turun di babak kedua, Andik pun banyak menerima tebasan dari para pemain Malaysia.

Kondisi diperparah di babak kedua saat Rizky Pellu masuk menggantikan Zulfiandi, entah apa yang diinginkan Simon terkait pergantian tersebut, sudah terlihat bahwa Lilipaly , Andik dan Saddil lah yang sudah kehabisan bensin, ini yang diganti malah pemain jangkar tengah.

Pola pola serangan bola cepat antar kaki, pergerakan cepat disayap nyaris tidak terlihat, yang nampak adalah salah umpan, lambung bola kedepan, dan pelanggaran-pelanggaran tidak perlu yang banyak dibuat.

Jujur bukan mau membandingak antar pelatih, bahwa puncak permainan Timnas dalam 2-3 tahun belakangan memang saat dipegang Luis Milla, terlihat jelas pada waktu perhelatan Asian Games, walaupun akhirnya kita juga harus tersingkir, publik sepak bola mengakui dan puas akan permainan Indonesia. Kita memang kalah tapi kita sudah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya (Begitu kata Novel Bumi Manusia).

Entahlah mengapa selepas Asian Games itu permainan Timnas Indonesia langsung turun drastis kalau tidak dibilang terjun bebas, padahal tinggal mempertahankan skuad yang ada, dipoles sedikit, yang kurang tinggal dicari, tetapi kerangka tim dan permainan sudah ada. Penulis yakin kalau Timnas kita bisa menyuguhkan permainan seperti saat di Asian Games, untuk level Asia Tenggara Indonesia sudah pasti jadi rajanya.

Melihat permainan semalam, bolehlah penulis berfikir ada sesuatu yang salah dengan Timnas kita, bukan pelatihnya, bukan juga skuadnya, bukan juga pemainnya. Tetapi jauh lebih besar daripada itu, kekuatan yang besar, kuat dan tidak kuasa untuk dilawan oleh para pemain.

"The Invincible Hand" nampaknya masih mempunyai peran yang sangat luas di sini, Siapa itu "The Invincible Hand" mereka adalah pihak pihak yang hanya menyembah uang dan kenikmatan duniawi saja. Kejayaan Sepakbola Indonesia, Nasionalisme, Indonesia bakal Banned FIFA, apalagi memikirikan Indonesia lolos Piala Dunia, tidak ada dalam kamus mereka. 

Yang mereka pikirkan hanya uang masuk uang masuk, berapa keuntungan yang didapat dari setiap pertandingan itu yang paling utama bagi mereka. Jangan bilang mana buktinya ah itu hanya teori dan lain sebagainya. Tetapi satuan tugas yang dibentuk oleh Polri guna memberantas mafia sepakbola telah menunjukkan bukti.

Kedepannya semoga sepak bola Indonesia dapat segera terbebas dari cengkraman kuat tangan-tangan jahat itu. Kita ingin sepak bola kita maju, anak cucu kita nantinya bisa menyaksikan Indonesia berlaga di putaran final Piala Dunia. Kapan? Mungkin kita harus bertanya kepada Ko Chun, Siapa itu Ko Chun? Ko Chun itu tokoh utama yang diperankan Chow Yun Fat dalam God of Gamblers---Dewa Judi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun