Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Benang Kusut Anarkisme Suporter di Indonesia

27 September 2018   15:48 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:31 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membahas penyelesaian masalah kekerasan supporter di Indonesia ibarat mengurai benang kusut yang basah. Sulit dan butuh kesabaran extra. Kalau bisa memilih daripada benang itu harus kembali diurai, lebih baik benang kusut itu dibuang lalu dibakar, selanjutnya beli benang yang baru.

Persoalan kekerasan supporter memang persoalan kompleks dan multi dimensi. Semua pihak terlibat di dalamnya. Siapa saja? Ya semua, barangkali kita juga punya andil dalam hal kekerasan supporter terebut.

Mulai dari yang terlibat langsung maupun tidak langsung di lapangan. PSSI sebagai induk sepakbola di Indonesia memang menjadi pihak yang paling disorot tajam dalam hal ini, tetapi jelas bahwa PSSI juga tidak bisa kekuasaan untuk mengawasai dan mengatur semua hal.

Melihar  pertandingan Persib dan Persija kemarin, yang berlangsun di Gelora Bandung Lautan Api. Tensi panas memang sudah terasa sejak beberapa hari sebelum pertandingan.

Bahkan seorang Bambang Pamungkas, salah satu pemain paling dihormati di Persija sudah memperingatkan para supporter untuk tidak hadir di Bandung. Peringatan Bambang tentunya sudah didasarkan atas pengalaman selama dia bermain untuk Persija dan melihat ganasnya supporter kedua belah pihak.

Seharusnyalah melihat kondisi ini, para pentolah pentolan supporter sudah memperingatkan para suporternya untuk dapat menahan diri untuk tidak pergi. Dan para supporter sendiri juga bisa menahan diri untuk tidak pergi ke lokasi berbahaya.

Peran lingkungan juga dibutuhkan ( keluarga) untuk memberi pengertian agar supaya berhati hati. Tidak ada yang perlu dibuktikan entah atas nama pembuktian keberanian atau paling hebat dengan menantang maut.

Para pemain Persija dan Persib juga sebenarnya bisa andil dalam meredam panasnya tensi pertandigan. Mereka yang notabene mereka mungkin sudah berteman akrab, juga sebaiknya bisa meredakan tensi sebelum pertandingan.

Bisa lewat akun media sosial dengan memajang foto bersama atau bisa juga mengeluarkan kata kata yang menyejukkan sebelum pertandingan. Para fans fanatik biasanya lebih mendengar omongan dari pemain idolanya daripada mendengar omongan dari pelatih atau manajer klub.

Para pemain inilah role model sebenarnya bagi mereka. Perilaku mereka di dalam dan di luar lapangan lah yang menjadi contoh bagi para supporter.

Kedatangan para pemain Persija menggunakan Mobil Baracuda sebenarnya jelas menunjukkan ada yang salah dengan  sepakbola kita, okelah itu bagian dari faktor keamanan untuk para pemain.

Tetapi bisa dibayangkan memakai Baracuda untuk pertandingan sepakbola antar klub di dalam negeri yang kotanya hanya terpisah 3 jam perjalanan, adalah sesuatu yang menurut saya kurang pas.

Alangkah baiknya kalau ada sebagian pemain Persib yang punya pengaruh besar ( kapten dan wakil kapten) atau pemain yang memang berteman dengan pemain Persija untuk menjemput bersama -- sama.  Dengan melihat para pemain mereka kompak tentunya tensi para supporter akan bisa diredam.

Menjelang pertandingan suasana di dalam dan di luar stadion memang dipenuhi oleh supporter Persib. Namun satu hal yang perlu di garis bawahi adalah mengenai mental supporter kita (ini kondisi yang umum terjadi).

Para penonton khususnya yang masih remaja. Datang ke stadion dengan modal nekat saja. Banyak yang sudah sadar bahwa menonton pertandingan sepakbola memang memerlukan biaya. Beli tiket maka berhak nonton. Tetapi kenyataan di lapangan ternyata banyak juga yang datang hanya modal keberanian, selalu berharap pintu akan stadion akan dibuka setelah setengah jam pertandingan dimulai (intinya mau gratisan).

Usul bahwa penonton yang membeli tiket pada hari H dinaikkan 10 kali lipat mungkin ada baiknya. Jadi para supporter tersebut harus membeli tiket terusan minimal 5 pertandingan kedepan. Dan tiket terusan tersebut harganya bisa lebih murah dari tiket standar. Sehingga saling menguntungkan. Untung bagi klub karena dapat pemasukan.

Suporter juga bertanggung awab dengan membeli tiket. Dan Jelas yang datang ke stadion adalah mereka yang mayoritas sudah memegang tiket pertandingan bukan mereka yang sekedar ingin masuk dengan modal rame -- rame.

Jalannya pertandingan di dalam lapangan juga sangat berpengaruh terhadap perilaku supporter yang melihat. Yang jelas adalah para supporter kadang lebih emosional daripada para pemain yang bermain di tengah lapangan. Nah, kalau para pemiannya saja sudah bermain dengan melakukan provokasi terhadap lawan.

Bagaimana dengan para supporter? Pasti lebih terprovokasi lagi. Melihat pertandingan kemarin, bisa diihat permainannya sudah menjurus ke hal -- hal yang bukan lagi keras, tapi kasar. Beberapa pelanggaran -- pelanggran yang kalau kita bandingankan dengan liga luar, mungkin sudah hujan kartu kuning dan merah. Memang dibutuhkan ketegasan dan keteguhan seorang wasit dalam memimpin pertandingan tensi tinggi. 

Jujur saja, walupun skornya terbilang ketat 3-2, tetapi saya sendiri tidak bisa melihat pertandingan yang enak di tonton, lebih kepada provokasi -- provokasi tidak perlu yang di pertontonkan di atas lapangan.

Para pemain harusnya sadar tindak tanduk mereka dilapangan menjadi sorotan bukan hanya yang datang ke stadion tetapi juga penonton sepakbola di Indonesia yang menyaksikan langsung dari layar kaca. 

Walaupun banyak pemain berlabel bintang bahkan banyak pemain berlabel pemian Nasional namun pertandingan kemaren tidak enak untuk dilihat, nampak para pemain seakan ingin makan pemain lawannya. , para pemain juga harus menerima segala hal yang terjadi di atas lapanan termasuk keputusan wasit dan juga hasil akhir.  Dalam pertandingan kemarin Persib memang menang, namun apa yang terjadi apabila Persib kalah? Susah membayangkan.

Kembali ke masalah supporter yang sebagian masi belia tersebut, yang bsia dikatakan akan berani kalau rame -- rame. Kalau sendiri pasti ciut nyali. 1 orang panakut digabung 1 orang penakut maka menjadi 2 orang penakut, tetai kalau 10 orang penakut digabung 10 orang penakut hasilnya adalah 20 orang berani.

Teori yang sangat simple, dan sudah terbukti, apalagi saat nonton kemarin bukan 20 orang, tetapi ribuan orang yang berseragam sama, tentunya menumbuhkan rasa keberanian, ketika keberanian tersebut bersinergi dengan kebencian maka lahirlah anarkis.

Lebih jauh kita lihat lagi ke pembentukan karakter para generasi muda kita, yakin lah bahwa siapapun pelakunya mayoritas mereka bersekolah atau pernah menyenyam bangku pendidikan dan mereka masih berusia muda dan produktif, boleh di bilang inilah hasil paling sahih model pendidikan saat ini. Pendidikan yang menekankan pada kepintaran bukan pada pendidikan karakter.

Boleh menyangkal hal ini, tetapi kalau pendidikan kita, terutama pendidikan dasar, masih berkutat pada nilai raport, rangking berapa, tingkat lulus UN, maka percayalah bangsa ini akan kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beraklak dan berartabat.

Pun, sekali tiga uang dengan nilai -- nilai  agama yang ditanamkan, kalau agama masih saja di perdebatkan dalam kisaran simbol dan tampak luar saja. Ditambah dengan ekslusivisme tanpa adanya nilai toleransi bahwa negara kita adalah negara majemuk.

Maka pemikiran bahwa yang lain pasti salah dan harus ditiadakan akan semakin subur berkembang, fanatisme buta akan merajalela. Dan ini akan masuk ke semua sendi termasuk didalamnya Sepakbola. Sehingga jelas faktor dunia pendidikan baik sekolah formal dan agama juga berperan dalam pembentukna karakter para supporter sepakbola kita.

Pemerintah dalam hal ini juga punya peranan yang besar, tidak juga bisa lepas tangan menjatuhkan sanksi, banyak hal yang belum maksimal yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah. Contoh kecil, nama Persija memang besar, tapi sampai saat ini apakah Persija sudah memiliki stadion sendiri?

Bahkan Persijatim sudah bertahun -- tahun ganti baju, sekarang memakai baju Sriwijaya FC. Boleh dibilang pemerintah belum mampu menghadirkan sarana oleharaga yang baik. Para supporter Persija bisa dibilang di PHP-in setiap ada pemilihan gubernur, dengan janji manis segera dibuatkan stadion, namun kenyataannya Persija sampai harus sampai ke Bantul untuk sewa lapangan. Karena stadion di seputaran Jakarta tidak ada yang bisa disewa.

Dan yang paling disorot tentunya adalah apparat keamanan, memang tidak mudah mengamankan ribuan supporter yang datang. Karena setiap supporter juga niatnya ke stadion berbeda, kalau niatnya memang mau menonton pertandingan pastinya kejadian seperti ini tidak akan terjadi.

Tetapi kalau sudah niatnya dari rumah, mau sok gagah gagahan, mau nyari supporter musuh, agak report memang. Yang paling penting adalah jumlah apparat harus disebar ke berbagi sudut, memang menjadi mahal dan besar biaya yang harus dikeluarkan, tetapi untuk antispasi mau tidak mau harus dilaksanakan.

Pengamanan bukan hanya disekitar stadion namun juga bisa dimulai dari kantong -- kantong supporter. Segera stop dan berhentikan mreka yang tidak patuh dijalan, ugal-ugalan dan membawa senjata tajam dan tumpul. Bila perlu langsung diamankan, nanti dilepas beberapa jam setelah pertandingan selesai.

Untuk solusi sampai saat ini memang belum ada formula yang pas untuk menanggulangi anarkisme supporter, karena siapa yang bisa tau isi hati dan otak dari ribuan orang yang datang. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisir dan mempersempit ruang gerak mereka berbuat anarki.

Penghentian liga selama dua pekan oleh pemerintah, mungkin baik untuk sekedar menurunkan tensi panas yang terjadi, tetapi jelas tidak menyelesaikan apa -- apa, termasuk juga wawancara dan talk show bertubi -- tubi di televise, serta berbagai tulisam ( termasuk mungkin tulisan ini) juga tidak ada gunanya.

Pembubaran liga jelas bukan solusi yang baik, karena bagaimanapun sepakbola di Indonesia sudah mulai bergerak menjadi sebuah Industri yang menaungi bukan saja ribuan tapi mungkinjutaan orang. Sepakbola ini sebenarnya hiburan rakyat di saat harus berjuang dengan beratnya beban hidup.

3 Hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan dalam meminimalisir serta juga mempersempit ruang gerak supporter "abal -- abal" yang bisa dilakukan para pemangku kepentingan.

  1. Adakan acara kumpul bareng antar para pemain yang akan berhdapan sehari atau pagi sebelum sore mereka bertanding. Diwajibkan untuk semua pemain termasuk perwakilan pentolan supporter untuk datang, bersama. Buat acara santai dan kebersamaan, tunjukkan bahwa mereka bisa saja keras di lapangan tetapi diluar mereka adalah saudara.
  2. Baik juga kalau dihadiri oleh para petinggi pemerintah (kepala daerah) dan jajaran apparat keamanan. Buat malam kebersamaan menjadi suasana menjadi cair dan akrab. Kemudian sebar melalui akun media sosial bahwa tidak ada permusuhan diantara mereka.
  3. Penanganan tiket harus maksimal, intinya adalah tidak ada yang bisa masuk ke dalam stadion tanpa membeli tiket, termasuk para pedagang juga tidak boleh masuk dalam stadion. Perlakukan tiket terusan. Dan yang paling penting adalah tiket tidak dijual pada hari H. sehingga aparat kepolisian bisa melakukan razia pada hari H. kalau ternyata tidak ada tiket maka berhak memulangkan dan kalu perlu dilakukan penahanan sementara. Hal ini untuk mencegah mereka yang datang dengna modal nekat ke stadion.
  4. Perbaikan kualitas wasit. Wasit menjadi actor penting dalam setiap sepakbola. Mereka harus tegas terhdap segala provokasi. Bila perlu khusus untuk pertandingan krusial, bisa didatangkan wasit luar yang mempunyai kaulitas baik. Sehingga adil dan memberikan standar berbeda terhadap permainan sepakbola. Selain pendidikan kepada para pemain, juga pendidikan terhadap para supporter. Sehingga tidak perlu kita lihat provokasi dan pelanggaran yang menjurus kasar yang lepas dari hukuman.

Solusi terbaik pastinya sedang dipikirkan oleh mereka yang menamakan diri para ahli olahraga, namun saya cuma mengingatkan bahwa hampir semua pengambil keputusan tertinggi tentang olahraga di Indonesiaini  adalah bukanlah orang yang berkecimpung dalam bidang olahraga, mereka mencintai olahraga memang betul, tetapi mereka bukan dari para mantan atlet atau pelatih yang pernah merasakan kondisi di atas lapangan dan berjuang apalagi berjuang demi merah putih di atas lapangan. Olahraga mau dari Kemenpora-nya, Ketua PSSI-nya, Ketua Liga-nya, Sekjen PSSI-nya, maaupun Gubernur-nya Jadi jangan terlalu berharap banyak kalau keputusan bisa menjadi jalan keluar terbaik.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun