Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemerataan Kualitas Guru dan Sarana Prasarana Sekolah Lebih Penting daripada Peraturan Jam Belajar

12 Juli 2017   14:41 Diperbarui: 12 Juli 2017   14:49 1739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rencana Mendikbud untuk memberlakukan sekolah 5 hari penuh yang berarti anak didik bersekolah dari hari Senin sampai hari Jumat saja selama 8 jam sehari, Hari Sabtu dan Minggu libur, Masih Menuai Polemik

Baru di wacanakan peraturan ini langsung mendapatkan respon yang cukup hangat dari berbagai kalangan. Para pengamat pendidikan, tenaga pengajar, orang tua murid dan banyak pakar saling berkomentar tentang aturan ini. (tetapi penulis jarang menjumpai tulisan mengenai pendapat langsung dari para siswa, apakah mereka setuju atau tidak)

Sedikit kita lihat pro dan kontra yang ada. Mereka yang pro secara garis besar akan mengatakan bahwa sekolah model begini cocok diterapkan karena selain orang tua tidak direpotkan dengan kewajiban antar jemput anak ( khususnya di kota besar), anak akan punya waktu lebih untuk libur dan bersama keluarga pada Hari  Sabtu dan Minggu. Selain itu perlu diingat bahwa untuk tenaga pengajar yang PNS maka mereka akan sama dengan rekan -- rekan pegawai lainnya yang Hari Sabtu juga libur. Bagi murid sendiri dengan 8 jam sehari segala aktivitas anak didik berada di sekolah sehingga lebih mudah pengawasannya.

Yang kontra terutama sekolah -- sekolah di daerah, peraturan ini  dirasa memberatkan, untuk melaksanakan full day school mau tidak mau sarana dan prasarana sekolah harus lengkap, minimal tempat istirahat, kantin yang sehat, laboratorium, sarana olahraga dan lain sebagainya. Tidak mungkin juga selama 8 jam murid cuma berada di dalam kelas. Yang ada malah para murid bukan menjadi pintar tetapi menjadi stress. Nah karena tidak semua sekolah bisa menyediakan fasilitas tersebut banyak pihak yang menyarankan perbelakukan aturan tersebut dikaji dahulu atau paling tidak diujicobakan dibeberapa sekolah (uji coba lagi, murid seperti kelinci percobaan saja).

Sebelum membahas mana panjang waktu terbaik untuk sekolah formal, ada baiknya kita lihat negara -- negara yang katanya maju dalam mengelola pendidikan. Penulis amati ada perbedaan, walaupun tidak begitu  mencolok antara dunia barat (Amerika dan Eropa) dan negara timur (Korea Selatan, Jepang) dalam hal pendidikan. Ingat beberapa waktu lalu sempat viral artikel yang mengulas bagaimana suatu sistem pendidikan di dunia barat, kalau tidak salah, disalah satu negara Skandinavia yakni FInlandia. Di artikel tersebut dituliskan bahwa waktu belajar siswa di sana hanyalah 5 jam saja dan tidak ada pekerjaan rumah yang membebani si anak didik. Artkel itu kemudian di tanggapi ramai ada yang pro dan juga kontra tentu saja.

Bagi penulis sendiri tidak ada yang salah dengan sistem tersebut di negara tersebut. Karena kemajuan teknologi informasi sudah sedemikian maju, fasilitas pendidikan sudah sedemikian lengkap dan dapat diakses dimana saja dan kapanpun, jadi sekolah di sana hanya berperan sebagai "penunjuk arah" saja. Sekolah dan guru hanya berperan sebagai stimulus, selebihnya dengan segala sarana dan prasarana yang sudah sedemikian lengkap para siswa dapat mengembangkan dirinya sesuai minat dan bakat mereka.

Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan di negara maju tapi di belahan dunia timur, banyak kita jumpai juga artikel yang yang menggambarkan betapa "horornya" sistem pendidikan untuk sekolah formal di Korea dan Jepang. Anak -- anak disana di didik sedemikian rupa untuk dijejali dan belajar banyak hal.  Menurut penulis hal ini tak lepas dari kultur budaya yang mereka anut beberapa generasi yang lalu, dimana mereka "di doktrin" untuk mengejar kemajuan dunia barat. Sehingga mau tidak mau sejak dari kecil mereka sudah dijejali dengan segala ilmu pengetahuan dan skill. Maka tidak heran kadang kita jumpai betapa tingkat stress murid -- murid di dua negara maju tersebut berada di peringkat yang tinggi, bahkan ada juga berita sangking stressnya mereka ada yang bunuh diri.

Bercermin dari dua kutub pendidikan tersebut jelas kita tidak bisa bilang mereka salah atau mereka benar, karena kedua -- duanya mempunyai alasan yang sangat -- sangat kuat mengapa memilih model sistem pendidikan  tersebut. Dan dua -- duanya juga telah membuktikan bahwa mereka tetap sukses untuk membentuk SDM -- SDM unggul yang bisa bersaing di level dunia. Sekarang kembali pertanyaan besarnya bagaimana dengan Indonesia sendiri? Mau ikut yang mana? Mau ikut dunia barat atau mau ikut dunia timur?

Sebelum membahas berapa panjang waktu belajar yag cocok di Indonesia, sebenarnya ada dua benang merah yang dapat ditarik tentang bagaimana sistem pendidikan di barat maupun timur tersebut. Dua hal yang seharusnya dibenahi dulu secara menyeluruh sebelum berbicara mana yang terbaik.

Yang pertama dan yang paling krusial adalah masalah tenaga pengajar. Penulis disini tidak bermaksud untuk merendahkan apalagi memandang rendah kualitas guru di Indonesia, tetapi pertanyaan ini bisa mewakili bagaimana kualitas guru di Indonesia. Pertanyaannya simple " Adakah mereka yang lulusan terbaik di SMA favorit, bercita -- cita menjadi guru?" kalau ada berapa persen? Pertanyaan sederhana yang kadang membuat kita berfikir dan malu. Anak -- anak terpintar , terhebat, terpandai di kelas semuanya ingin menjadi dokter, insiyur, pengacara dan lain -- lain, sedangkan siapa yang menjadi guru? Adakah profesi guru menjadi profesi favorit para bintang kelas tersebut?

Di Universitas -- universitas top jurusan favorit jelas bukan menjadi guru, menjadi guru adalah pilihan kesekian kalau boleh dibilang pilihan terakhir. Sebuah ironi di negara yang katanya ingin memperbaiki sistem pendidikan bukan?. Keengganan orang tua mengarahkan anaknya menjadi guru tak lepas dari penghargaan yang sangat minim untuk dedikasi seorang guru, apalagi mereka yang mengabdi di daerah pelosok yang jauh dari hiruk pikuk kota. Tuntutan kerja yang tinggi karena harus ikut kurikulum tetapi penghargaannya minim, maka seperti  lingkaran setan saja, kejadian akan berulang dan berulang terus.

Pemerintah sebagai lokomotif di dunia pendidikan harus membuat terobosan yang luar biasa untuk memutus mata rantai ini. Menjadi guru haruslah profesi yang mulia mereka yang menyandang status "best of the best"lah yang boleh mengajar. Sama seperti kalau kita di perguruan tinggi, maka yang mengajar disana tentunya adalah lulusan terbaik yang kemudian disekolahkan sampai jenjang S2 bahkan S3 di perguruan tinggi sampai di luar negeri.  Bahkan saat ini mereka yang mengajar anak didik S1 harus berpendidikan minimal lulus S2.

Banyak sekolah swasta yang mahal -- mahal itu sudah memulai melakukan hal tersebut, pada saat rekrutment mereka tidak berpatok pada orang yang lulusan IKIP atau sekolah keguruan lagi tetapi mereka mencari para profesioanl yang benar -- benar mempunyai kompetensi ilmu yang memadai. Misal untuk guru mata pelajaran Fisikia ya, mereka mencari lulusan S2 dari MIPA dari perguruan tinggi ternama lagi. Karena mereka sadar untuk menjaga kualitas maka mereka harus bayar harga membayar orang terbaik.

Memang sepertinya mustahil hal ini dapat tercapai dalam waktu singkat, tetapi hal ini agar terus diupayakan. Sertifikasi guru juga jangan hanya menjadi semacam pengesahan di atas kertas tetapi benar -- benar di jalankan dengan benar. Beri tantangan kepada guru -- guru terutama mereka yang katanya guru di sekolah favorit untuk mau bertukar / berotasi tempat mengajar ke sekolah -- sekolah biasa. Sebab kalau di sekolah favorit yang notabene muridnya sudah pada pintar -- pintar dari sononya dan didukung  fasilitas lengkap. Guru, sekalipun tidak cakap mengajar hasil yang dituai mungkin sama dengan guru yang mencurahkan segala daya upaya kreativitasnya tetapi anak didiknya memang secara bibit kurang, apalagi ditambah fasiitas juga terbatas.

 Rotasi tenaga pendidik ini dirasa perlu untuk pemerataan tenaga pendidik dan juga menghapus kesan "sombong" pengajar disekolah favorit. Mereka yang bagus ditantang untuk membuktikan diri ditempat yang biasa. Korea Selatan sebagai salah satu tolak ukur negara maju setiap 5 tahun merotasi guru -- guru mereka, pindah tempat, sehingga selain memacu pemerataan. Dapat dinilai bagaimana sebenarnya kualitas guru tersebut.

Di negara -- negara maju atau disekolah swasta elite bahkan sudah banyak mereka yang bergelar Doktor dilibatkan dalam pendidikan usia dini. Keterlibata mereka sebenarnya memang sangat diperlukan guna mengetahui perkembangan emosi anak -- anak. Jadi kedepannya diharapkan profesi guru benar -- benar adalah profesi terhormat bahkan sangat terhormat baik dari prestesi maupun penghasilan.

Yang kedua adalah masalah sarana dan prasarana pendidikan yang sangat timpang. Di negara -- negara maju mendirikan sekola baik negeri dan swasta ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat mutlaknya terkait sarana dan prasarana sekolah.Setiap sekolah memiliki fasilitas standar yang harus dimiliki. Dan hal inilah yang masih sangat -- sangat jauh di Indonesia. Sekolah -- sekolah yang berlabel sekolah favorit dengan bangganya menunjukkan segala fasilitas yang mereka miliki. Kalau itu sekolah swasta sebenarnya tidak masalah, yang menjadi masalah adalah kalau itu sekolah negeri. Sebaiknya menurut penulis segera hilangkan yang namanya sekolah negeri favorit di semua tingkatan, karena sudah selayaknya semua sekolah khususnya yang berada di bahwa naungan pemerintah mempunyai sarana, prasarana dan kualitas yang sama. Guru -- guru terbaik jangan menumpuk di satu sekolah tetapi kirim mereka ke sekolah -- sekolah yang prestasinya jelek. Bangun fasilitas yang memadai untuk tiap sekolah.

Jangan lagi di suatu daerah, penerimaan murid pintar dan kaya hanya monopoli sekolah tertentu (apalagi sekolah negeri). Seperti yang terjadi sekarang ini pada saat penerimaan anak didik baru.  Sistem rayon yang coba diterapkan pemerintah harus dibarengi dengan pemerataan tenaga pengajar serta peningkatan fasilitas sekolah.  Sekolah favorit  juga tidak perlu merasa sombong bagaimana kalau anak didiknya berhasil meraih ini itu, ingat sebenarnya diluar sana lebih banyak bibit -- bibit yang mungkin lebih hebat, mereka hanya kalah kesempatan dan juga (mungkin) uang untuk bersaing dengan rekan mereka di sekolah favorit.

Untuk kedua hal diatas pemerintah seharunya mempunyai target program yang jelas, dari segi penerimaan guru (PNS) harus seketat dan sedemikian baik agar tenaga pengajar yang dihasikan memang berkualitas, bahkan kalau mau ekstrim yang mendaftar bisa dari S2, tentunya dibarengi dengan penghasilan yang baik pula.  Bila perlu kirim guru -- guru terbaik dari kota besar untuk mengajar di daerah pelosok sehingga, mereka dapat dituntut lebih kreatif dalam mengajar. Mengenai prasarana sekolah pemerintah juga membuat target jelas tahun demi tahun sekolah mana yang harus diperbaiki, yang menjadi prioritas tentunya bukan sekolah dikota besar atau ibukota provinsi tetapi sekolah di kabupaten atau di kecamatan. Ingat, mereka tentu saja mempunyai hak yang sama dengan sodaranya di kota untuk dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas.

Setelah minimal dua hal diatas terpenuhi tidak ada masalah sebenarnya mau berapa jam anak kita berada di sekolah, dengan adanya guru baik serta bertanggung jawab , ditambah sarana dan prasrana yang lengkap, apa lagi yang kita kwatirkan sebagai orang tua?. Mungkin aspek sosial budaya tiap -- tiap daerah yang masih menjadi kendala untuk penyeragaman lama waktu sekolah.

Disini pemerintah harus secara jujur membuat evaluasi terkait kinerjanya, khusunya dua hal diatas. Sekolah -- sekolah yang telah memenuhi syarat kualitas dan prasarana harus mengikuti sistem pemerintah ; misalnya aturan 8 jam sehari tadi. Tetapi kalau pemerintah belum sanggup memperbaiki kualitas pengajar dan sarana sekolah (khususnya sekolah negeri), ya pemerintah tidak boleh memaksa sekolah untuk mengikuti aturan baru tersebut. Membingungkan? Sepertinya iya, tetapi demi kebaikan dan kemajuan pendidikan pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dibuatnya. Jangan seperti sekarang dimana kesannya asal buat peraturan yang sebenarnya hampir mustahil untuk dilaksanakan di lapangan.

Dan hal yang paling penting dalam hal mengajar bukan pada lama/waktu belajarnya, tetapi pada kualitas proses belajar itu sendiri.

Sumber referensi :

http://lifestyle.kompas.com/read/2016/08/11/140200520/Sekolah.Belasan.Jam.Tiap.Hari.Anak.Korea.Bukan.Pelajar.Cemerlang.

http://nasional.kompas.com/read/2017/06/13/13560631/belajar.8.jam.sehari.tak.cocok.untuk.semua.sekolah.ini.alasannya.

https://news.detik.com/wawancara/d-3323020/profesor-finlandia-perhatikan-kualitas-pengajaran-bukan-lamanya-belajar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun