Pemerintah sebagai lokomotif di dunia pendidikan harus membuat terobosan yang luar biasa untuk memutus mata rantai ini. Menjadi guru haruslah profesi yang mulia mereka yang menyandang status "best of the best"lah yang boleh mengajar. Sama seperti kalau kita di perguruan tinggi, maka yang mengajar disana tentunya adalah lulusan terbaik yang kemudian disekolahkan sampai jenjang S2 bahkan S3 di perguruan tinggi sampai di luar negeri. Â Bahkan saat ini mereka yang mengajar anak didik S1 harus berpendidikan minimal lulus S2.
Banyak sekolah swasta yang mahal -- mahal itu sudah memulai melakukan hal tersebut, pada saat rekrutment mereka tidak berpatok pada orang yang lulusan IKIP atau sekolah keguruan lagi tetapi mereka mencari para profesioanl yang benar -- benar mempunyai kompetensi ilmu yang memadai. Misal untuk guru mata pelajaran Fisikia ya, mereka mencari lulusan S2 dari MIPA dari perguruan tinggi ternama lagi. Karena mereka sadar untuk menjaga kualitas maka mereka harus bayar harga membayar orang terbaik.
Memang sepertinya mustahil hal ini dapat tercapai dalam waktu singkat, tetapi hal ini agar terus diupayakan. Sertifikasi guru juga jangan hanya menjadi semacam pengesahan di atas kertas tetapi benar -- benar di jalankan dengan benar. Beri tantangan kepada guru -- guru terutama mereka yang katanya guru di sekolah favorit untuk mau bertukar / berotasi tempat mengajar ke sekolah -- sekolah biasa. Sebab kalau di sekolah favorit yang notabene muridnya sudah pada pintar -- pintar dari sononya dan didukung  fasilitas lengkap. Guru, sekalipun tidak cakap mengajar hasil yang dituai mungkin sama dengan guru yang mencurahkan segala daya upaya kreativitasnya tetapi anak didiknya memang secara bibit kurang, apalagi ditambah fasiitas juga terbatas.
 Rotasi tenaga pendidik ini dirasa perlu untuk pemerataan tenaga pendidik dan juga menghapus kesan "sombong" pengajar disekolah favorit. Mereka yang bagus ditantang untuk membuktikan diri ditempat yang biasa. Korea Selatan sebagai salah satu tolak ukur negara maju setiap 5 tahun merotasi guru -- guru mereka, pindah tempat, sehingga selain memacu pemerataan. Dapat dinilai bagaimana sebenarnya kualitas guru tersebut.
Di negara -- negara maju atau disekolah swasta elite bahkan sudah banyak mereka yang bergelar Doktor dilibatkan dalam pendidikan usia dini. Keterlibata mereka sebenarnya memang sangat diperlukan guna mengetahui perkembangan emosi anak -- anak. Jadi kedepannya diharapkan profesi guru benar -- benar adalah profesi terhormat bahkan sangat terhormat baik dari prestesi maupun penghasilan.
Yang kedua adalah masalah sarana dan prasarana pendidikan yang sangat timpang. Di negara -- negara maju mendirikan sekola baik negeri dan swasta ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satu syarat mutlaknya terkait sarana dan prasarana sekolah.Setiap sekolah memiliki fasilitas standar yang harus dimiliki. Dan hal inilah yang masih sangat -- sangat jauh di Indonesia. Sekolah -- sekolah yang berlabel sekolah favorit dengan bangganya menunjukkan segala fasilitas yang mereka miliki. Kalau itu sekolah swasta sebenarnya tidak masalah, yang menjadi masalah adalah kalau itu sekolah negeri. Sebaiknya menurut penulis segera hilangkan yang namanya sekolah negeri favorit di semua tingkatan, karena sudah selayaknya semua sekolah khususnya yang berada di bahwa naungan pemerintah mempunyai sarana, prasarana dan kualitas yang sama. Guru -- guru terbaik jangan menumpuk di satu sekolah tetapi kirim mereka ke sekolah -- sekolah yang prestasinya jelek. Bangun fasilitas yang memadai untuk tiap sekolah.
Jangan lagi di suatu daerah, penerimaan murid pintar dan kaya hanya monopoli sekolah tertentu (apalagi sekolah negeri). Seperti yang terjadi sekarang ini pada saat penerimaan anak didik baru.  Sistem rayon yang coba diterapkan pemerintah harus dibarengi dengan pemerataan tenaga pengajar serta peningkatan fasilitas sekolah.  Sekolah favorit  juga tidak perlu merasa sombong bagaimana kalau anak didiknya berhasil meraih ini itu, ingat sebenarnya diluar sana lebih banyak bibit -- bibit yang mungkin lebih hebat, mereka hanya kalah kesempatan dan juga (mungkin) uang untuk bersaing dengan rekan mereka di sekolah favorit.
Untuk kedua hal diatas pemerintah seharunya mempunyai target program yang jelas, dari segi penerimaan guru (PNS) harus seketat dan sedemikian baik agar tenaga pengajar yang dihasikan memang berkualitas, bahkan kalau mau ekstrim yang mendaftar bisa dari S2, tentunya dibarengi dengan penghasilan yang baik pula. Â Bila perlu kirim guru -- guru terbaik dari kota besar untuk mengajar di daerah pelosok sehingga, mereka dapat dituntut lebih kreatif dalam mengajar. Mengenai prasarana sekolah pemerintah juga membuat target jelas tahun demi tahun sekolah mana yang harus diperbaiki, yang menjadi prioritas tentunya bukan sekolah dikota besar atau ibukota provinsi tetapi sekolah di kabupaten atau di kecamatan. Ingat, mereka tentu saja mempunyai hak yang sama dengan sodaranya di kota untuk dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Setelah minimal dua hal diatas terpenuhi tidak ada masalah sebenarnya mau berapa jam anak kita berada di sekolah, dengan adanya guru baik serta bertanggung jawab , ditambah sarana dan prasrana yang lengkap, apa lagi yang kita kwatirkan sebagai orang tua?. Mungkin aspek sosial budaya tiap -- tiap daerah yang masih menjadi kendala untuk penyeragaman lama waktu sekolah.
Disini pemerintah harus secara jujur membuat evaluasi terkait kinerjanya, khusunya dua hal diatas. Sekolah -- sekolah yang telah memenuhi syarat kualitas dan prasarana harus mengikuti sistem pemerintah ; misalnya aturan 8 jam sehari tadi. Tetapi kalau pemerintah belum sanggup memperbaiki kualitas pengajar dan sarana sekolah (khususnya sekolah negeri), ya pemerintah tidak boleh memaksa sekolah untuk mengikuti aturan baru tersebut. Membingungkan? Sepertinya iya, tetapi demi kebaikan dan kemajuan pendidikan pemerintah juga harus ikut bertanggung jawab terhadap kebijakan yang dibuatnya. Jangan seperti sekarang dimana kesannya asal buat peraturan yang sebenarnya hampir mustahil untuk dilaksanakan di lapangan.
Dan hal yang paling penting dalam hal mengajar bukan pada lama/waktu belajarnya, tetapi pada kualitas proses belajar itu sendiri.