Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pak Anies, Antara Kuda Troya, Ken Arok dan Semar

27 September 2016   08:38 Diperbarui: 27 September 2016   10:54 3491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Majunya Anies Bawesdan menjadi calon gubernur DKI 2017 tentu membuat orang terkejut, terkejut dalam hal ini adalah mengapa beliau mau maju?, tetapi lebih membuat terkejut adalah kepada pilihan kelompok yang mengusungnya. Anies maju bersama dengan Poros Gerindra dan PKS. Itulah yang menjadi pertanyaan besarnya, “Kok mau ya?”. Bukan tanpa sebab pertanyaan itu muncul, karena memori Pilpres 2014 yang sangat menguras energi masih saja membekas, dimana Anies berada di kubu yang berseberangan dengan pendukungnya saat ini. Dan Jurang perbedaan itu sampai sekarang masih sangat terasa, khususnya bagi mereka yang fanatik. Perlu diketahui Anies dan Sandiaga Uno merupakan jubir untuk masing-masing kelompok yang berseberangan.

Tentang siapa Anies semua juga sudah mengetahui track recordnya. Dimana dahulu beliau dikenal pendidik, pengajar, dan juga pencetus Gerakan fenomenal “Indonesia Mengajar”. Dalam karir politik praktis Anies pernah mencoba ikut Konvesi Partai Demokrat namun gagal, kemudian bergabung dengan tim sukses Jokowi-JK dalam pilpres 2014, lalu dilantik menjadi menteri Pendidikan yang kemudian diganti oleh Presiden Jokowi tanpa sebab yang jelas. Dan sekarang, jadilah seorang Anies menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dengan partai Gerindra dan PKS sebagai pengusungnya.

***

Menganalogikan figur seorang Anies Baswedan dalam percaturan Politik di Indonesia adalah sangat susah, tapi marilah kita coba telahan satu-satu mana yang kira-kira paling mendekati menurut pembaca budiman, silahkan dikomen.

Sebagai Kuda Troya.

Persaingan Pilkada DKI 2017 pastinya tidak lepas dari pengamatan Presiden Jokowi. Langsung maupun tidak langsung kesuksesan penyelenggaraan dan siapa yang duduk di DKI 1 sangat berpengaruh untuk pencalonan beliau  menjadi RI 1 periode kedua pada 2019 nanti. Strategi politik bukanlah strategi linier seperti matematika yang dapat dipahami dengan mudah. Sangat-sangat rumit dan kadang tidak masuk akal. Hanya bisa dinilai pada ujungnya. Seperti kata pepatah “kita lihat siapa tertawa paling akhir” dialah pemenangnya. Kalau dalam politik ujungnya adalah siapa yang duduk menjadi Presiden, orang nomor 1 di Republik. Dia dan kelompoknyalah yang akan tertawa paling akhir.

Salah satu strategi paling ampuh dimana pun dalam medan peperangan adalah keberhasilan memasukkan pasukan kita tanpa diketahui ke dalam “jantung” pasukan lawan. Contoh paling masyur tentang penyusupan pasukan adalah cerita dari Yunani; Kuda Troya. Sekilas diceritakan bahwa benteng kota Troya adalah benteng yang sangat kuat dan mustahil untuk ditembus dengan kekuatan pasukan pada saat itu, sudah berusaha dan berkali-kali pun gagal.

Akhirnya dicarilah jalan lain. Dan jalan ini adalah jalan cerdik kalau tidak mau dibilang licik. Yaitu dengan cara menyusupkan pasukan kedalam kuda besar yang dianggap hadiah. Ketika “hadiah” tersebut sudah masuk dalam kota. Maka dari dalam perut kuda itulah keluar prajurit-prajurit yang pada akhirnya membuat kota yang sebelumnya sangat kokoh dapat dihancurkan dari dalam. Karena mereka semua tidak pernah menyangka hal tersebut terjadi. Lengah dan terlalu silau dengan apa yang ada di depan mata.

Entahlah apakah strategi ini juga dipakai oleh Presiden kita sekarang. Pemberhentian seorang Anies dari Jabatan Menteri Pendidikan sampai sekarang masih menjadi misteri yang belum terjawab. Kalau boleh berandai-andai, dengan dilepaskannya Anies maka, Jokowi seolah melepaskan umpan kepada siapa saja yang tertarik dengan sosok Anies.

Dan ternyata benar bahwa umpan tersebut dimakan mentah-mentah oleh Partai Gerindra dan PKS. Dan hal ini sesuai dengan strategi yang memang dirancang. Dengan masuknya Anies kedalam “perut” Gerindra dan PKS tentunya akan lebih mudah bagi seorang Jokowi untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan. Pun kalo nantinya Anies menjadi Gubernur, Jokowi pasti sudah memegang kartu AS . Jadi mau Ahok maupun Anies yang menang Posisi Jokowi tetap aman. Terus indikasi apa yang membuat analisa ini menjadi mungkin?

Pertama tentunya sampai detik ini alasan pergantian seorang Anies tidak pernah dikemukakan dipublik, okelah itu adalah hak pregratif Presiden tapi setidaknya minimal publik harusnya dapat mencium apa yang salah dengan menterinya. Kalau masalah dana guru sebesar 23 T menjadi pokok masalah itu juga tidak bisa disalahkan semua kepada beliau.

Kedua figure Anies lah satu-satunya yang bisa dijadikan umpan matang agar menarik minat partai. Sosok Anies yang notabene tidak mempunyai masa lalu yang “hitam” sangat seksi untuk dipinang. Ketiga dalam pernyataannya beberapa hari setelah diberhentikan dari jabatan menteri. Kalau tidak salah distasiun televisi swasta Anies mengatakan bahwa dia tidak akan keluar dari arena pertarungan, dalam hal ini dia akan tetap berada di dalam barisan Jokowi – JK. Keempat tentunya melihat karakter Anies selama ini begitu elegan di depan publik apakah mungkin dia mau “menghianati” perjuangannya selama kurang lebih 4 tahun belakangan ini?

Tetapi entahlah sekali lagi politik tidak bisa dinalar matematika. Dan kuda Troya diatas hanya pengandaian.

Sebagai Ken Arok

Analogi kedua adalah bahwa seorang Anies dibalik kelemahlembutannya adalah sebenarnya seorang petarung yang kuat, mempunyai ambisi tinggi untuk menjadi yang tertinggi, terunggul dan yang terhebat. Dalam cerita kerajaan Jawa kita mengenal sosok Ken Arok. Ken Arok bahkan sudah melakukan kudeta sebelum umurnya genap 30 tahun. Siapa sebelumnya Ken Arok sebelum dia jadi raja? Dia hanyalah perampok kecil di padang karautan.

Beberapa legenda menyatakan bahwa dia adalah titisan langsung dewa yang sengaja diturunkan untuk membereskan kekacauan di tanah Jawa. Tetapi yang pasti adalah dalam diri Ken Arok sendiri memang dipenuhi oleh tekad, kebulatan hati, kesiapan fisik, mental serta otak yang pintar. Ditambah lagi bahwa dia berhasil meraih simpati para rakyat dan yang terpenting adalah dukungan para pendeta yang sudah muak dengan pemerintahan raja resmi yang ada, Akhirya setelah berhasil mempersunting Ken Dedes, maka Ken Arok Mendirikan kerajaan baru yaitu Singosari dan mentasbihkan dirinya menjadi raja pertama.

Membandingkan seorang Anies dan Ken Arok entah cocok apa tidak, tergantung pembaca. Tetapi kalau memang dalam jiwa seorang Anies ingin menjadi pemimpin bangsa ini. Dimana untuk memperbaiki bangsa ini tidak bisa lagi hanya sekadar saran, omongan, tetapi harus memegang puncak kekuasaan, maka tentunya analogi ini bisa dijadikan referensi. Keinginan politik Anies sebelumnya sudah tercium saat dia mencalonkan diri menjadi peserta konvensi partai demokrat. Sayang hasil konvensi dan partai demokrat sendiri “tenggelam” dalam pilpres 2014.

Setelahnya Anies merapat ke kubu Jokowi. Sosok Anies yang mencitrakan diri sebagai intelektual, sopan, santun, berbicara terukur, menjadi magnet tersendiri bagi pendukung Jokowi saat itu. Ditambah dengan sepak terjangnya di dunia pendidikan, maka seperti yang kita lihat bahwa publik merespon sangat baik ketika dia terpilih menjadi menteri pendidikan.

Tidak ada guntur tidak ada hujan dua tahun masa pemerintahan Jokowi berjalan. Anies diberhentikan. Sampai detik ini alasan pasti beliau di berhentikan kita tidak tahu. Kalau kita setuju dengan perupamaan diatas bahwa seorang Anies adalah ken Arok. Maka langkah yang diambil Presiden sangat tepat. Tentunya dalam pemerintahannya, Jokowi sudah mempunyai banyak mata – mata yang tersebar, salah satunya adalah mengawasi kinerja dan tindak tanduk anak buahnya.

Mungkin saja Jokowi sudah menangkap “sinyal – sinyal nakal” dari seorang Anies. Entah untuk Pilpres 2019 atau Pilkada 2017. Sehingga kalau memang benar kondisinya seperti itu mencopotnya Anies dari posisi menteri adalah hal yang patut dan sangat tepat untuk dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Kesalah fatal tidak ditemukan, tetapi tiba – tiba diganti itu sudah merupakan indikasi yang sangat kuat ada apa dengan Anies. Pastinya Jokowi tidak mengganti menteri kalau tidak benar – benar ada kesalahan. Penulis berkeyakinan Ini bukan masalah program Anies, bukan juga masalah keberanian, atau Anies kurang gila seperti Bu Susi. Tetapi ini lebih kepada hal mendasar yaitu: kepercayaan yang digerogoti. Mungkin Jokowi berkaca kepada peristiwa SBY – Megawati yang sampai sekarang belum bertegur sapa. Kalau sampai terlambat mengambil keputusan efeknya tentu bakal membahayakan dalam Pilpress 2019. Karena apa? Karena sebagian besar rakyat Indonesia masih mengedepankan emosi daripada logika. Dan mereka yang “terlihat” didzolimi biasanya meraih simpati yang tinggi.

Sebagai Semar

Penulis pribadi sebenarnya lebih setuju seorang Anies mengambil peran menjadi seorang Semar, ya Semar ketua para punakawan. Tokoh rekaan yang menjadi panutan semua orang. Penasehat para pandawa. Mempunyai kekuatan sangat hebat (secara dia adalah dewa tertinggi), tetapi mempunyai pribadi yang lemah lembut, tempat bertanya untuk semua pertanyaan, intinya adalah tokoh panutan. Tentunya dalam hal ini tokoh panutan  tidak lagi mengejar kekuasaan. Memposisikan sebagai penyeimbang, sebagai tauladan. Bahasa kerennya mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Semenjak kepergian Gusdur, lalu Nurcolis Majid, Indonesia seperti kehilangan bapak bangsa yang sesungguhnya. Saat ini menurut penulis tinggal tersisa Buya Safii Maarif. Tokoh tua banyak, tokoh partai banyak, mantan Presiden banyak, ketua partai juga banyak. Tetapi yang bisa mendapatkan predikat bapak bangsa ya tinggal Buya Safii saja untuk saat ini. Selebihnya adalah mereka yang hanya merasa menjadi bapak bangsa.

Ada 3 kreteria penting untuk menjadi seorang yang dianggap bapak Bangsa. Pertama tentunya mempunyai integritas yang tidak bisa diganggu gugat. antara perkataan dan perbuatan konsisten dijalur yang bear. Kedua adalah tentunya mereka yang berwawasan luas, bisa menjadi tempat bertanya, menjadi tempat untuk mencari jalan keluar kepada maslaah bangsa yang pelik, tanpa adanya keperpihakan, pikirannya jernih karena tidak punya kepentingan apa – apa.

Dan yang ketiga adalah dapat diterima oleh hampir semua golongan, pernyataan, omongan, petuah dan petunjuk yang dikeluarkan oleh para tokoh bangsa ini, pasti menjadi rujukan utama bagi bangsa ini untuk melangkah, pun bagi seorang Presiden. Karena pernyataan yang dia keluarkan mengandung kebenaran universal yang dapat diterima hampir semua golongan.

Pada awalnya penulis berharap seorang Anies dapat menjadi penerus Buya Safii Maarif. Ketiga hal diatas beliau sudah punya, tinggal menambah jam terbang saja. Maka ketika Jokowi menunjuk menjadi menteri pendidikan adalah hal yang sanggat tepat. Mengingat dengan pendidikan yang baiklah maka bangsa ini dapat merevolusi mental yang ada.

Tetapi melihat fenomena pilkada DKI saat ini harapan itu berangsur - angsur lenyap, kenyataan bahwa Anies maju untuk merebut kursi DKI 1, dan bergabung dengan lawan politiknya masih sukar diterima. Walupun itu adalah hak seorang warga negara. Harapan akan munculnya Semar, Bapak Bangsa, Bapak yang dapat mengayomi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus orang tersebut duduk dipemerintahan seolah lenyap. Yang tersisa tinggal harapan dan doa agar Pak Anies apapun yang terjadi tetap sejalan, seturut dengan kata – kata yang diucapkannya selama ini.

Atau...

Kemunculan Anies yang membawa sifat Semar memang juga sudah disiapkan oleh Jokowi bahkan Anies sendiri agar pilkada DKI ini berlangsung dengan aman tentram tanpa ada gejolak yang berarti. Dengan Masuknya Anies diharapkan ketegangan yang terjadi seperti Pilpres 2014 tidak terjadi. Kalau semua kondusif semua aman. Maka pembangunan dapat berjalan dengan baik. Anies sendiri sudah memposisikan diri sebagai semar itu sendiri di pilkada DKI 2017, dengan mengorbankan Jabatan Menteri Pendidikan.

Banyak teori, banyak analisa yang berkembang. Dan ini kan terus berlangsung bahkan sampai Pilkada selesai. Terus mana kira – kira analisa yang paling masuk akal? Jawabannya adalah nanti pada Pilpres 2019. Pilakda DKI 2017 ibarat adalah baru prolognya untuk pertarungan sesungguhnya di 2019. Disitulah kita nanti akan mengetahui kemana peran seorang Anies.

Apakah memang sebagai kuda Troya? kalau kuda Troya terlepas menang atau kalah, Anies akan kembali ke kubu Jokowi. Atau memang menjadi Ken Arok? Menang atau kalah di Pilkada, Anies malah maju menjadi calon Presiden menantang Jokowi? Tetapi bisa juga pada saat Pilpres nanti Anies malah menjadi penyeimbang, kembali ke habitatnya semula yaitu tempat untuk bertanya dan mengayomi semua kepentingan? Menjadi Semar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun