Ilustrasi - rumah beratap panel surya (Shutterstock)
Kekurangan pasokan daya listrik masih menjadi ancaman serius di seluruh wilayah Indonesia. Pun di wilayah Jawa dan Bali tidak lepas dari kekurangan pasokan daya listrik. Kalau di Jawa Bali saja listrik masih belum aman, bagaimana dengan pasokan daya listrik di wilayah-wilayah di luar Jawa dan Bali? Byar-pet... byar-pet... bakal sering terjadi… Pemadaman bergilir menjadi rutinitas yang kedatangannya tidak diharapkan oleh rakyat.
Tentunya pemerintah tidak tinggal diam dalam menyelesaikan masalah ketersediaan pasokan daya listrik di seluruh wilayah Indonesia. Berbagai program telah diluncurkan dari program ambisius, yaitu Proyek Pembangkit Listrik 35000 Mw sampai pengoperasian kapal pembangkit listrik di daerah pelosok. Ini semua dilakukan guna mencukupi kebutuhan listrik nasional yang semakin hari semakin meningkat permintaannya. Yang arahnya adalah untuk menunjang pertumbuhan nasional secara keseluruhan. Bagaimana mau membangun kalau listrik aja kurang, begitulah kira-kira analoginya. Semua yang dilakukan pemerintah tentunya kita apresiasi positif.
Sumber tanaga listrik sebagian besar di Indonesia masih disuplai oleh dua jenis pembangkit, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap dengan memanfaatkan batubara sebagai bahan baku pemanas. Padahal, sebenarnya masih banyak sumber pembangkit yang sebetulnya dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional, dari yang mahal, yaitu PLTN (Nuklir) sampai alternatif murah, yaitu pembangkit tenaga panas bumi, tenaga angin, tenaga mikro hidro dan tenga surya. Dari beberapa alternatif tersebut menurut penulis pembangkit listrik tenaga suryalah yang paling dapat diandalkan.
Kalau sumber alternatif lain seperti panas bumi, angin, mikro hidro masih tergantung potensi yang ada di daerah tersebut, tenaga surya dapat menjangkau seluruh pelosok wilayah, mau dari kota sampai pelosok. Karena hampir seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun terpapar sinar matahari. Melimpah ruah sinar matahari yang menunggu untuk dimanfaatkan. Pemanfaatan PLTS sampai sekarang ini sangat jauh dari maksimal, padahal sebenarnya inilah pembangkit listrik yang paling efisien dan langsung dapat menjangkau masyarakat.
Coba bayangkan apabila setiap rumah di Indonesia mempunyai minimal 2 panel pembangkit listrik tenaga surya, niscaya kebutuhan penerangan (lampu) dalam rumahnya dapat tercukupi, tidak perlu pasokan PLN sebenarnya. Kalau saja pemerintah mau membuat peraturan yang membatasi bahwa setiap rumah hanya diberikan maksimal daya 1300 watt saja dan selebihnya kalau mau menambah daya harus memasang panel surya sendiri, tentunya banyak sekali daya listrik yang dapat dihemat oleh PLN. Apalagi untuk rumah-rumah mewah, seharusnyalah mereka dapat memenuhi kebutuhan listrik mereka dengan memasang panel surya. Mau 10 atau 20 panel tentunya mereka masih mampu.
Mal-mal/pusat perbelanjaan/high rise building modern harusnya juga dibatasi dalam hal suplai listrik dari PLN, caranya: misalnya setelah dihitung semua kebutuhan dayanya, PLN hanya bisa mensuplai 50 persen dari semua kebutuhan total listriknya. 50% selebihnya harus disediakan sendiri oleh gedung itu. Nah, kalau aturan ini berlaku, pastilah sebelum membangun akan dipikirkan dengan matang bahwa bangunan tersebut sudah memakai prinsip “Go Green Building” atau bangunan yang ramah lingkungan, yang salah satunya meminimalkan kebutuhan penerangannya dengan lampu serta meminimalkan pemakaian pendingin ruangan. Sehingga bangunan akan dibuat sedemikian rupa untuk meminimalkan pemakaian listrik, cukup memakai penerangan alam kalau di siang hari. Serta pengaturan sirkulasi udara dalam gedung yang baik sehingga tanpa mesin penyejuk udara pun suhu dalam gedung tetap nyaman untuk ditempati.
Yang pada akhirnya adalah pemakaian panel surya akan menjadi pilihan selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Sekedar informasi saja kebutuhan listrik untuk 1 mal besar di Jakarta bisa untuk menghidupkan seluruh lampu di dua kabupaten daerah pelosok.
Nah, kalau nantinya para pengusaha mal mengajukan protes karena kebijakan itu biaya operasional menjadi naik, yang berimbas pada penyewa atau harga barang, mungkin di situlah letak perlindungan negara terhadap pedagang kecil dan pedagang tradisional. Harga yang harus dibayar untuk kenyamanan tidak boleh mengorbankan rakyat biasa. Wajar dong kalo pengusaha dan orang yang berbelanja di mal lebih membayar mahal untuk kenyamanan. Betul tidak?
Selanjutnya pemakaian daya listrik terbesar menurut penulis adalah papan reklame yang ada di pinggir jalan/area publik, harus dipikirkan agar mereka yang beriklan (membuat papan iklan) mengganti pasokan listriknya dengan panel tenaga surya. Sehingga daya listrik di kota tersebut tidak tersedot malah ke hal yang konsumtif yang menguntungkan para pemodal besar. Bayangkan kalau iklan-iklan (apalagi iklan rokok) di jalan pasokan listriknya diganti dengan panel surya, berapa ribu watt yang dapat dihemat untuk pasokan listrik dalam kota tersebut.
Yang terakhir menurut penulis adalah peran aktif pemerintah. Pemerintah harus memberikan contoh atau teladan. Sejauh pengamatan penulis sangat jarang instansi pemerintah pegawainya bekerja lembur, bahkan Sabtu adalah hari libur, berbeda dengan swasta. Maka seharusnyalah pemakaian listrik juga dapat dihemat. Tentunya sangat bagus sekali apabila kantor pemerintah/instansi pemerintah pemakaian listriknya sebagian besar dipasok oleh panel surya. Dari pusat sampai daerah. Dari Istana Negara sampai kantor kelurahan. Atau kalo nantinya membangun kantor baru prinsip “Bangunan hijau / BAngunan ramah lingkungan” dapat diaplikasikan. Sehingga kalau siang hari pemakaian listriknya dapat dihemat seminimal mungkin.