Mohon tunggu...
Gugi Yogaswara
Gugi Yogaswara Mohon Tunggu... profesional -

Assalamu’alaikum… Hai, saya Gugi Yogaswara. Saat ini saya bekerja di salah satu BUMN yang bergerak di bidang sertifikasi. Minat saya besar di Lingkungan. Disamping saya bekerja di bidang lingkungan dan memiliki latar belakang pendidikan teknik lingkungan, saya merasa dengan berkontribusi di bidang lingkungan saya bisa bermanfaat buat banyak orang. Selain lingkungan, hal kedua yang saya minati adalah tentang manajemen dan kepemimpinan. Hal ini menjadi menarik karena saya memiliki banyak keuntungan dan kelebihan dengan menguasai ilmu ini. Maka, dengan memperdalam ilmu manajemen dan kepemimpinan saya akan banyak mendapatkan manfaat di masa depan. Selamat berbagi ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Lingkungan Hidup: Anak Tiri Pembangunan Nasional?

30 April 2015   10:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Berkenaan dengan Hari Bumi Internasional yang jatuh pada tanggal 22 April kemarin, Indonesia tengah disibukkan dengan hiruk pikuk pemberitaan kemacetan Jakarta karena beberapa arus lalu lintas ditutup. Demi menghormati negara-negara yang tergabung dalam Konferensi Asia Afrika, Indonesia sebagai tuan rumah, mempersiapkan segala fasilitas yang diperlukan demi terselenggaranya acara sakral bagi negara-negara merdeka pasca perang dunia I itu.

Seolah menjadi agenda wajib, pertemuan antar negara dalam bentuk apapun memiliki kepentingan diplomatik yang membungkus kerjasama politik dan ekonomi didalamnya. Dasasila Bandung yang bernuansa penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan negara bertransformasi menjadi kerjasama dalam membangun kekuatan perekonomian dan pembangunan. Pengharapan investasi menjadi salah satu agenda buy-sell agreement dalam rangka mengkatrol kondisi perekonomian masing-masing negara. Motif ini diperkuat dengan data bahwa Asia Afrika didominasi oleh developing countries yang memiliki persoalan major dalam hal perekonomian sekaligus kesejahteraan sosial yang menyertainya. Tidak ubahnya Indonesia, menjadi tuan rumah konferensi Asia Afrika merupakan “kesempatan emas” untuk menyuguhkan suguhan terbaik dan impresi tercantik demi maraknya investasi di masa yang akan datang. Senada dengan penghujung pidato presiden Jokowi dalam KTT APEC, Beijing 2014 lalu, “We are waiting for you to invest in Indonesia...”.

Kampanye bertubi-tubi pemerintah terhadap pembukaan investasi di Indonesia bagi pihak luar ini menjadi bahan bakar semangat pada tujuan pembangunan Indonesia 5 tahun ke depan yang akan dipimpin oleh ex-Gubernur DKI “satu tahun” ini. Pasalnya, arus perekonomian global yang meningkat dengan amat kuat ini harus diimbangi dengan keterbukaan dan kedewasaan Indonesia dalam memandang kebutuhan dasar nasional, yakni ketergantungan pada pasar global. Namun, agaknya kampanye tersebut seolah menjadi oposisi kampanye masyarakat yang simpatik dan turut berpartisipasi pada peringatan Hari Bumi kemarin.

Ekonomi Global dan Lingkungan

Sebagai bentuk konsekuensi peruntuhan barrier terhadap ekonomi global, aktivitas perekonomian dalam bentuk investasi bisnis dengan ragam prosesnya akan berdatangan secara simultan ke tanah Indonesia. Hal ini yang menjadikan risiko tersendiri bagi pengelolaan lingkungan hidup nasional.

Nuansa kebijakan pemerintah yang “nyinyir’ lingkungan ini didahului oleh penggabungan kementerian lingkungan hidup dengan kementerian kehutanan yang seolah membarikade legalitas Kementerian Lingkungan Hidup dalam wewenangnya melakukan pengelolaan lingkungan pada sektor pertambangan, pertanian, perikanan, dan sektor lain yang disinyalir menjadi kontributor utama pencemaran lingkungan. Dilanjutkan dengan pengalihan perizinan lingkungan yang tidak lagi terpusat di kementerian, melainkan kepada Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal ini menimbulkan asumsi bahwa arah kebijakan pembangunan nasional meng-anak-tiri-kan aspek lingkungan hidup. Sehingga, pengelolaan lingkungan hidup hanya dipandang sebagai eksternalitas dari aktivitas bisnis semata.

Walaupun, sampai sekarang beberapa hal tersebut tidak lantas menjadi bukti inkonsistensi janji-janji Presiden dalam komitmennya terhadap pembangunan sebelum dilantik. Hanya saja, pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup seolah tidak “bunyi” dalam rangkaian janji sampai kebijakan beliau sampai saat ini.

Lingkungan Berdimensi Waktu

Kemampuan daya dukung lingkungan yang baik dalam mendegradasi cemaran, berimplikasi pada kurangnya efek jera bagi pelaku pencemaran di negara berkembang. Pendidikan yang relatif rendah berdampak pada rendahnya pula kesadaran pelestarian lingkungan. Oleh karena daya dukung lingkungan, pencemaran tidak akan terlihat sampai tanah, sungai dan danau berubah warna, tanaman mati, dan suhu meningkat seiring menurunnya daya dukung lingkungan bertahun kemudian. Pengelolaan lingkungan hidup sangat bergantung pada dimensi waktu.

Sadar akan hal ini, pemerintah Indonesia kiranya membagi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan dimensi waktu sebagai constraint utamanya. Pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi dampak dari aktivitas masa lampau, dikelola dengan program revitalisasi dan rehabilitasi seperti program kali bersih yang diatur di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 35 tahun 1995. Kemudian, Dampak lingkungan yang belum terjadi namun memiliki risiko terjadi pada keadaan tertentu, dikelola dengan implementasi 13 instrumen pengendalian lingkungan yang tertera dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Kemudian, dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dalam jangka panjang dan lintas generasi dikelola dengan memasukkan mata ajaran lingkungan hidup pada kurikulum nasional. Namun bagaimana implementasinya?

Yale University bersama UNEP dalam brand Environmental Performance Index-nya, menempatkan Indonesia di urutan ke 112 dari 178 negara yang diteliti pada tahun 2014. Indonesia persis dibawah Mongolia dengan perolehan skor 44,67. Persoalan pengelolaan lingkungan Indonesia didominasi oleh sanitasi, ketersediaan air, dan pertanian.

Sifat pengelolaan lingkungan melibatkan waktu yang panjang dalam kajian pengaruh atau penyebab, dampak dan perbaikannya. Hal ini menjadikan pengelolaan lingkungan hidup memiliki polemik yang menjadi ancaman tersendiri bagi partisipasi Indonesia dalam ekskalasi perekonomian di ranah global. Cepatnya perkembangan teknologi dan informasi yang lambat laun akan mendarat di Indonesia, menambah kekhawatiran akan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Lingkungan Hidup Indonesia dalam menghadapi Ekonomi Global

Pada dasarnya, peningkatan kualitas pengendalian lingkungan telah digalakkan dengan masiv yang ditandai oleh peluncuran PP no. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Peraturan Pemerintah tersebut menjawab praktik gelap pada penerapan dokumen Lingkungan (AMDAL, UKL&UPL) yang marak terjadi di era-era sebelumnya. Disusul oleh penyempurnaan peraturan pengelolaan limbah B3 dari mulai simbol dan label (Permen LH No. 14 tahun 2013), pengelolaan limbah B3 (PP No. 101 tahun 2014 menggantikan PP 18 tahun 1999 jo. PP 85 tahun 1999), sampai ke peraturan baku mutu limbah cair (Permen LH No. 5 tahun 2014) yang menghapuskan 20 peraturan lainnya. Kemudian, baru-baru ini, Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) meluncurkan tim pengaduan kasus lingkungan hidup dan kehutanan. Namun pada implementasinya, terdapat beberapa pertanyaan yang patut diajukan terkait dengan penyeimbangan aspek pengelolaan lingkungan terhadap tujuan pembangunan tersebut.

Pertama, adalah tentang bagaimana peningkatan kualitas hukum pada aspek penyusunan peraturan, sosialisasi, dan publikasi pengelolaan lingkungan nasional. Banyak perusahaan yang mengeluhkan pada aspek evaluasi penaatan peraturan perundangan yang ditunjukan dengan findings saat audit lingkungan, baik audit wajib maupun sukarela. Pasalnya, update peraturan baru tidak dibarengi oleh sosialisasi dan pelatihan yang memahamkan maksud peraturan kepada pelaku usaha. Disamping itu, sudah ditemukan beberapa peraturan teknis yang sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang ada, salah satunya ialah Keputusan Kepada Bappedal No. 1 tahun 1995 tentang Teknis Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun). Sampai saat ini peraturan tersebut menjadi landasan desain TPS (Tempat Penyimpanan Sementara) Limbah B3. Namun, terdapat beberapa hal yang sudah tidak relevan diantaranya penggunaan istilah “pengumpulan” dan “Penyimpanan” masih memiliki arti yang sama, sedangkan mulai pemberlakuan PP 18 tahun 1999, kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kemudian, peraturan tersebut mensyaratkan pembangunan TPS Limbah B3 terletak sekurang-kurangnya 300 meter dari badan air, hal ini tidak sesuai dengan perusahaan minyak offshore dan penyedia jasa pelayanan sumur minyak yang sudah mulai berkembang seiring bisnis migas yang sangat dinamis.

Kedua, bagaimana dengan kualitas SDM pengelola lingkungan hidup? Sumberdaya manusia yang dimaksud diantaranya adalah pengawas, tenaga ahli, dan pemerintah (terutama daerah). Penggiringan mindset pembangunan yang didominasi aspek ekonomi dapat berimplikasi pada menurunnya komitmen nasional pada pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga, pengelolaan lingkungan kembali hanya dipandang sebagai eksternalitas dari aktivitas bisnis semata, bukan sebagai komitmen bersama. Hal ini bisa memicu terjadinya under-table agreement yang memakzulkan peran baku mutu limbah dan peraturan perundangan yang sudah disusun oleh pemerintah.

Anak tiri

Keikutsertaan Indonesia pada konferensi Stockholm di Swedia tahun 1972, menginspirasi lahirnya Keppres 16 tahun 1972 tentang pembentukkan panitia interdepartemen untuk penyusunan rencana kerja di bidang lingkungan. Dipimpin oleh menteri Lingkungan Hidup Indonesia pertama, Prof. Emil Salim, Indonesia menyusun nilai-nilai pengelolaan lingkungan hidup untuk membersamai pembangunan nasional. Sampai tiba masa globalisasi, pengelolaan lingkungan hidup dikepung oleh motif perekonomian dan politik.

“Developing countries need reasonable prices for exports to carry out environmental management”. Begitu Konferensi Stockholm “melahirkan” perhatiannya kepada negara berkembang dalam pengelolaan lingkungan hidup pada bulan Juni 43 tahun yang lalu. Lantas Indonesia menjadikan pengelolaan lingkungan hidup sebagai “anak tiri” dalam keluarga besar pembangunan nasional di masa yang akan datang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun