Mohon tunggu...
Gymnastiar Raharjian
Gymnastiar Raharjian Mohon Tunggu... Mahasiswa - BUKANMAEN

Civil Engineering'21

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keadilan Sosial di Masa Pandemi Covid-19

28 September 2021   08:01 Diperbarui: 28 September 2021   08:30 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

didalam Q.S. Al-Anbiya [21]:47 menjelaskan bahwa :

 "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun passti Kami mendatangkan (pahala)Nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan."

Makna keadilan hukum sejatinya telah mengalami perkembangan yang sedemikian cepatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian adil adalah sikap yang berpihak pada yang benar, tidak memihak salah satunya atau tidak berat sebelah. Keadilan adalah suatu tuntutan sikap dan sifat yang seimbang antara hak dan kewajiban. Salah satu asas dalam hukum yang mencerminkan keadilan ini adalah asas equality before the law yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. 

Sila kelima Pancasila memberikan sumbangan nilai postulat hukum keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat. Sila 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' secara eksplisit mengarahkan tujuan yang paripurna dari pembentukan negara-bangsa yang kita anut, yaitu terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali. Hal ini seolah memberikan simpul yang kuat bahwa makna dari semua sila yang sudah disebutkan sebelumnya dapat dinilai keberhasilan atau kegagalannya dari sila kelima ini. 

Karena itu pula postulat keadilan sosial ini harus menjadi basis nilai dan arah aksiologis bagi pembangunan sistem hukum nasional. Secara praksis, hukum nasional yang kita bangun harus merefleksikan nilai-nilai keadilan sosial, demikian pula arah metodologis pembentukannya juga harus mengarah kepada tujuan utama sistem hukum tersebut yaitu tercapainya keadilan sosial bagi seluruh warga negara. 

Apakah keadilan itu? Keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai (value) yang digunakan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antarmanusia dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur tertentu dan bila terdapat pelanggaran terkait keadilan, seseorang perlu diberikan hukuman. 

Dari sinilah, kita bisa pahami bahwa kata justice memiliki kesamaan dengan kata equity yaitu keadilan, yang dapat dimaknakan sebagai berikut; (1) Keadilan (justice), tidak memihak (impartial),memberikan setiap orang haknya (his due); (2) segala sesuatu layak (fair), atau adil (equitable); dan (3) prinsip umum tentang kelayakan (fairness) dan keadilan dalam hal hukum yang berlaku (Munir Fuady, 2010, 91). Menurut Aristoteles ukuran keadilan adalah; (a) Seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti sesuai hukum atau (lawful), yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti; dan (b) seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan hak (equal). 

Untuk itulah, pembagian keadilan menurut Aristoteles dapat berujud: (a) Keadilan distributif, yakni keseimbangan antara apa yang didapati (what he gets) oleh seseorang dengan apa yang patut didapatkan (what he deserves); dan (b) keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan mengoreksi kejadian yang tidak adil, sebagai bentuk keseimbangan antara apa yang diberikan dengan apa yang diterimanya. Keadilan korektif ini berlaku sebagai bentuk keadilan yang ditegakkan melalui suatu proses hukum. Jika kita pusatkan perhatian pada para pemikir awal, akan tampak beberapa ahli yang menulis tentang keadilan ini. 

Contohnya di sini John Stuart Mill dan Robert Nozick. Kedua pemikir ini sama-sama berpikir tentang keadilan yang tidak dipisahkan dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat, namun keduanya memiliki orientasi yang berbeda, Stuart Mill lebih cenderung pada pemikiran utilitarianis dan Nozick lebih pada pemikiran pembebasan. Pada yang pertama dapat diartikan kepada kecenderungannya untuk menyerahkan keadilan itu kepada faktor state. 

Adapun yang kedua untuk lebih memfokuskan diri pada kecenderungan untuk membebaskan diri dari pengaruh state (libertarianism). Dalam pandangannya, Stuart Mill lebih melihat keadilan sebagai suatu entitas yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan tindakan self-protection (John Stuart Mill, 1856, 13). Dalam pemikiran utilitarianis ini, kita semua harus mempromosikan kebaikan di mana pun itu dapat ditemukan dalam berbagai hal yang baik, seperti kebahagiaan, kemakmuran, keinginan untuk mengejar kepuasan, dan sebagainya. Karena itu, ide keadilan utilitarianis ini selalu menghubungkan ide moralitas dengan hukum, distribusi ekonomi dan politik. 

"Justice implies something which is not only right to do, and wrong not to do, but which some individual person can claim from us as his moral right." Adapun Robert Nozick lebih menekankan pada kebebasan dan kemerdekaan seseorang untuk bertindak, terlepas dari kungkungan institusi negara (Robert Nozick, 1999, 113). Dia sangat kuat pada ide libertarianisme dalam membangun konsep keadilan sosial tersebut, sehingga keadilan tidak ada hubungannya sama sekali dengan moralitas. Baginya, hak kepemilikan (property rights) merupakan hak individual yang paling asasi dan menempel dalam hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan; dia lahir lebih dahulu sebelum lahirnya institusi politik seperti negara, karena itu hak ini bersifat absolut dan tidak ada satu pihak pun yang dapat merusaknya. 

Pada dasarnya, keadilan hukum merupakan gambaran tentang kondisi hubungan antara individu dan masyarakat. Secara umum terma keadilan hukum ini digunakan untuk menggambarkan tentang distribusi kekayaan, kesempatan untuk meraih suatu posisi sosial atau peran individual tertentu. Karena itu kita melihat baik di dunia Timur maupun Barat, konsep keadilan hukum itu biasanya menunjuk kepada suatu proses pencapaian status seseorang dalam peran sosialnya dan penerimaan suatu keuntungan tertentu dari masyarakat. 

Dalam dunia yang lebih kompleks saat ini, keadilan ini banyak dihubungkan dengan gerakan akar rumput untuk memperjuangkan hak-hak mereka, dengan penekanan lebih pada bagaimana menghilangkan berbagai kendala yang ada dalam gerak mobilitas sosial, penciptaan jaring penyangga keamanan sosial dan keadilan ekonomi masyarakat. Karena itu, kita melihat bahwa dalam kajian tentang keadilan sosial saat ini para pengkaji lebih cenderung untuk menghubungkan antara masalah keadilan dengan hubungan timbal balik dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya selalu dipengaruhi faktor kultur yang melingkupinya. 

Kultur Timur yang lebih menekankan pada entitas komunitas ketimbang individu, biasanya akan cenderung melihat problem keadilan ini pada aspek keseimbangan antara akses kekuasaan dengan pertanggungjawaban kekuasaan tersebut terhadap masyarakat. Pada masyarakat barat, di sisi lain, keadilan akan lebih ditekankan pada pertanggungjawaban individu terhadap lingkungannya. Covid-19 dan rasa keadilan Jika kita berpikir tentang keadilan dalam rangka menanggulangi pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) saat ini kita dapat berpikir secara esensial tentang munculnya kebijakan yang memenuhi rasa keadilan. 

Dalam masa pandemi sekarang ini tampak sekali keterlibatan pemerintah yang dominan sehingga dapat berdampak pada karakter pemerintah yang egosentrik dan antikritik. Namun, kita musti tahu bahwa dalam kondisi seperti sekarang ini kita tidak dapat terlepas bebas dari peran pemerintah. Yang paling baik memang kita memilih kerja sama antara kedua agen, masyarakat dan pemerintah, secara seimbang dan terpadu. 

Dalam hal ini kita harus berpegangan kepada tiga standar ekualitas, yaitu equal liberty, equal opportunity dan equal distribution. Pertama, equal liberty, antara pemerintah dan rakyat musti harus ada keseimbangan posisinya. Artinya baik rakyat maupun pemerintah harus sama-sama mempunyai kedudukan yang sejajar dalam kemerdekaannya untuk bertindak. Dalam hal ini, keduanya harus membangun kesepahaman untuk melakukan kegiatan dari satu program yang telah disepakati bersama. 

Kedua, equal opportunity, pemerintah dapat membangun skala prioritas, namun itu semua harus dibangun dengan nalar yang benar. Dalam hal ini, rakyat harus diajak untuk merumuskan kebijakan dan skala prioritas tersebut. Ketiga, equal distribution, yaitu jaminan bahwa program-program dari pemerintah betul-betul merata dalam implementasinya. 

Keadilan dalam hal ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Dengan begitu, kekuasaan pemerintah sebagai pengatur kehidupan masyarakat tidak boleh tanpa batas. Kita dapat merujuk kepada negara dalam menghadapi pandemi covid-19 ini sebagai agen yang dominan, namun sifat-sifat libertarianisme tetap diperlukan untuk membawa kepada sikap kritis dan hati-hati kita terhadap segala program dari negara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun