Mohon tunggu...
Gymnastiar Rahman
Gymnastiar Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Bahasa dan Sastra Indonesia 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengungkap Pemikiran Penyair Ko dalam "Ikan Adalah Pertapa"

20 Juni 2023   12:17 Diperbarui: 20 Juni 2023   12:34 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam handuk, wajah wanita itu tampak muda seperti kentang

 (“Kentang”, Ryeol, hlm. 16)

            Puisi penyair Ko di atas, menunjukkan pemikiran untuk objek yang sederhana dalam puisinya yaitu kentang. Namun, apakah dalam puisinya tidak terdapat makna? Hanya sebatas kentang? Tentu tidak. Dalam puisi tersebut terdapat makna konotatif pada kata “kentang” yang dalam bahasa Korea tertulis 감자 (gamja). “Kentang” pada puisi tersebut merupakan hal yang melambangkan cerminan diri dalam kenyataan. Dalam puisinya kentang diibaratkan sebagai manusia yang tidak lepas dari dosa, dalam artian manusia tidak selamanya suci. “Wajah irisan kentang yang semula putih berubah hitam oleh abu” melalui kutipan tersebut dapat diisyaratkan bahwa manusia yang semula putih atau bermakna “suci” berubah hitam atau dapat bermakna “dosa” oleh abu atau “kemaksiatan”.  “Di dalam tanah kentang mengaduh kesakitan sambil mengelus tapak irisan pisau” kutipan tersebut juga memiliki makna tersirat yang jika dikaitkan dengan realitas, dapat dikatakan bahwa manusia yang diibaratkan “kentang” akan mendapat ganjaran atas dosanya dan mengeluh kesakitan diibaratkan dengan “irisan pisau” sebagai ganjarannya.

            Selain pemikiran yang sederhana dalam objek puisinya, penyair Ko juga banyak menggunakan tempat-tempat sebagai cerminan perjalanan juga petualangan kehidupannya sebagai tema puisinya. Puisi berjudul “Karena Bukcheon Telah Lampau” (Ryeol, hlm. 42-43) dan “Apartemen Burung Merpati Putih” (Ryeol, hlm. 46) menjadi salah dua puisinya yang mengisahkan pengalaman hidupnya. Dalam puisi “Karena Bukcheon Telah Lampau” misalnya, puisi tersebut menunjukkan bahwa penyair Ko memiliki kenangan dalam hidupnya dengan Bukcheon atau sungai yang berada di Kabupaten Goseong, Provinsi Gangwon, Korea Selatan. Terdapat kutipan puisi yang menunjukkan keterkaitan penyair Ko dengan Bukcheon.

Saat teringat kembali Bukcheon di Goseong, aku tak dapat berbuat apa pun

            Hal tersebut menandakan bahwa dalam puisinya, penyair Ko melibatkan kenangan atau perjalanan hidupnya yang pernah dia lalui. Diksi atau pemilihan kata pada setiap puisinya terlihat sederhana meski terdapat juga kata yang membuat pembaca merasa bingung karena tidak biasa melihatnya seperti pada puisinya berjudul “Paradoks Debu” (Ryeol, hlm. 102-103). Dalam puisinya terdapat kata seperti “Mukosa” yang mungkin banyak orang “awam” akan kata tersebut. Penyair Ko juga banyak memperlihatkan imaji dalam puisinya seperti imaji pendengaran, penglihatan, peraba, perasaan dan lainnya seperti pada puisi berjudul “Di Tepi Sungai Kehilangan Ingatan Hari Ini” (Ryeol, hlm. 136-137) yang menggambarkan imaji perasaan. Dari segi gaya bahasa, ia banyak menggunakan majas-majas seperti majas simile, asosiasi, sindiran, metafora, personifikasi dan majas lainnya seperti pada puisi berjudul “Di Dalam Jantung Keluarga” (Ryeol, hlm. 126) yang terdapat majas personifikasi di dalamnya.

            Melalui analisis-analisis di atas, dapat dikatakan bahwa penyair Ko memiliki pemikiran-pemikiran sederhana tetapi cemerlang. Objek puisi yang sederhana tetapi bermakna, hingga melibatkan suatu tempat sebagai curahan hati dan kenangannya menunjukkan pemikirannya tak hanya sebatas kata-kata hiperbolis. Mengenai keseluruhan buku, baik dari cover, judul, hingga isinya tentu terdapat kelebihan dan kekurangan terlepas kelebihan dalam aspek penulisan puisinya. Desain buku dan kerapihan penulisan sudah baik dan mudah dibaca oleh pembaca karena font yang digunakan simpel. Kemudian meski banyak menggunakan kata dan bahasa yang sederhana, dalam puisi ini juga terdapat diksi yang sulit dipahami oleh orang awam, tetapi hal tersebutlah yang menjadikan buku kumpulan puisi dwibahasa ini semakin menarik untuk dibaca sebab membuat pembacanya dapat mencari tahu dan memaknai arti sebenarnya dengan pemikiran dari masing-masing pembaca. Buku ini menjadi rekomendasi bagi para pembaca terlebih penyuka sastra karena isinya sangat bermutu dan bermakna.

Gymnastiar Rahman, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun