Mohon tunggu...
Ali Yasin
Ali Yasin Mohon Tunggu... Penulis, Pedagang, Trainer -

[1] Manajer Marketing di PT Sapphire Travel Umroh Surabaya shappiretravel.blogspot.co.id [2] Trainer di Katadaya Communication Consulting [3] Pembelajar Al Quran [4] Pengusaha mikro (tokopagi.com) Utk silaturahim silahkan SMS ke 6018 0822 3378

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Budaya Latah Itu Bernama Repost Berita Tanpa Klarifikasi

7 November 2016   12:46 Diperbarui: 7 November 2016   18:29 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: recordedfuture

Semakin banyak orang melek internet, saat ini penggunaan media sosial kian mewabah. Fungsi media sosial bukan lagi sebagi pengunggah tulisan/dokumen pribadi, tetapi juga menjadi alat re-post (penayang ulang). Apa yang ditayangkan ulang? Paling banyak justru hasil tulisan orang lain. Uniknya, tak sedikit yang merupakan hasil dari re-post orang lain.

Re-post telah menjadi trending di tengah pengguna internet. Tak hanya di media sosial, tetapi juga di aplikasi komunikasi personal seperti WA. Re-post seakan jadi budaya latah. Entah karena motif asal eksis, atau sebagai strategi penyampaian hingga “perang opini”. Wall Fesbuk, twitter, Instagram mayoritas berisi repost.

Inilah keadaan kita sekarang. Seperti hobby bahkan alami kecanduan. Di group WA, pesertanya ramai saling memposting tulisan orang lain. Di Fesbuk dan media sosial lain juga demikian. Hampir-hampir tidak berhenti kecuali ganti topik. Upload repost akan semakin seru kalau mendapat tanggapan negative, entah dalam bentuk sekedar komen, atau komen yang disertai repost materi lain.

Citizen journalism jadi salah kaprah. Kaidah 5 W ditambah 1 H tak lagi berlaku. Taka da istilah konfirmasi atau klarifikasi. Asal ada tulisan atau tayangan yang cocok langsung repost. Atau kalau ada repost dari orang terkenal yagn disukai juga langsung di repost. Puaskah? Belum. Kecuali perselisihan dalam berbagai komentar cenderung dingin.

Di era keterbukaan infomasi, sekarang ini muncul berbagai channel penyedia informasi baik dalam bentuk tulisan (blog/web) atau tayangan (video, gambar). Uniknya izin pers mereka susah dikenali. Lucunya hal ini kurang dipahami oleh masyarakat sebagai pengguna informasi sehingga asal main repost. So, siapa yang salah?

Sejak munculnya istilah branding, maka penggunaan informasi sebagai media untuk mempengaruhi orang kian banyak. Dalam even politik, sekarang ini seorang calon bupati misalnya, sudah pasti punya tim IT (informasi teknologi) yang bertugas menyebarkan informasi via media sosial maupun media lainnya. By design or not, yang pasti isinya mengajak dan tak jarang mengejek.

Masyarakat dijadikan sebagai sasaran penerima informasi. Tujuannya agar mereka dalam kendali pemikiran sehingga akan mengikuti apa yang ditawarkan / dijanjikan. Dalam upaya itu, repost tulisan/tayangan di media sosial juga kian ramai. Demi membeli, atau alibi sekarang ini media sosial telah jadi ajang adu opini dan argumentasi.

Disinilah kita sebagai bagian dari pengguna internet harus waspada. Lebih dari itu harus bijaksana. Satu sisi kita tidak bisa menghindari trend repost sebagai budaya latah, disisi lain kita sudah seharusnya selektif dalam menerima informasi. Jangan sampai kita menjadi matarantai bagi suatu informasi yang tidak akurat, asal terbit atau asal tayang. Sebab, setia kita akan dilihat oleh orang lain.

Kalau kita seorang tokoh, maka repost kita pasti akan mempengaruhi orang yang kagum sama kita. Kalau kita orang yang tidak disukai orang lain, tentu repost kita kian memicu perselisihan itu. Sebab sekarang ini orang seperti tak ingin salah dan disalahkan dengan pendiriannya. Di berbagai aspek orang ingin ikut nimbrung. Bekalnya medisa sosial dengan cara repost tadi.

Lalu keretakan hubungan sosial terjadi. Antar teman satu dengan teman lainnya berselisih. Memilih mana yang setuju mana yang tidak. Mana yang pro dan mana yang kontra. Bahkan satu keluarga beda pandangan keras. Hanya gara-gara repost di media sosial atau personal seperti WA. Disinilah potensi negative dari budaya repost.

Harus kita pahami kembali informasi itu merupakan kekuatan, tapi tanpa olah data dan periksa bisa jadi pelemahan. Pada saat kita me-repost kita harus pertimbangan pula apa manfaat sekaligus dampaknya. Jangan sampai karena latah merepot didorong keinginan untuk eksis atas sebuah isu yang lagi hangat, lalu hubungan kita dengan teman dan saudara jadi retak.

Lebih mahal mana hubungan persahabatan/persaudaraan kita dibanding repost? Mungkin kita bisa berbeda pendapat. Yang pasti kita harus selektif karedan dengan menjamurnya media abal-abal, maka informasi yang disajikan juga abal-abal. Tidak mengindahkan kaidah jurnalistik. Last but not least, sudah saat nya kita hadirnya informasi yang berimbang dibumbui konten yang tidak menjatuhkan. Sebab, informasi yang dilandasi tendensi negative sangat membahayakan.

Mari kita evaluasi lagi budaya latah repost. Dimulai dari diri kita, keluarga kita, teman dan kolega kita. Kalau suatu isu negatif tidak mendapat respon massal, tentu pembuat berita juga akan lemah dengan sendirinya. Artinya kita sebagai penerima informasi harus waspada dan tidak terperdaya supaya tidak jadi bulan-bulanan informasi melalui aksi dan reaksi repost

Ali Yasin
Marketing Komunikasi di PT Sapphire Travel umroh
WA 081249491155.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun