"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman," itulah penggalan lirik lagu Koes Plus yang menggambarkan tentang kekayaan bumi pertiwi Republik Indonesia, namun kondisi bangsa saat ini ternyata masih tertinggal. Ketertinggalan Bangsa Indonesia merupakan warisan turun temurun, sejak merdeka dari penjajahan yang merampas kekayaan alamnya. Masuk rezim orde baru yang stabil berkuasa selama 32 tahun, namun kestabilan tersebut disalahgunakan dengan budaya keserakahan/KORUPSI penguasa saat itu, sehingga akhirnya dilengserkan.
Budaya KORUPSI yang diwariskan merupakan momok yang sangat sulit dibasmi, karena telah mengakar dan membudaya. KORUPSI di Republik Indoneia sudah menjalar kesetiap sendi kehidupan, yaitu: dari kalangan atas sampai bawah, hampir disemua bidang, mulai dari aparatur pemerintahan, tokoh pendidikan, aparat hukum bahkan tokoh agama. Ada yang melakukannya karena serakah, ada yang ikut-ikutan karena terpengaruh, ada juga yang terpaksa karena tidak enak atau terperangkap dalam lingkungan yang koruptif.
Sila Ke-5 dari Pancasila, yaitu: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia," hanyalah mimpi karena masih lebarnya jurang pemisah antara sikaya dan simiskin. Korban Koruptor adalah mayoritas rakyat yang miskin dan berada pada piramida paling bawah dalam sistem kapitalisme, dimana simiskin bekerja dan menopang kaum kaya yang tamak dan para penguasa yang serakah, serta pemimpin yang sewenang-wenang. Jelas bahwa Bangsa Indonesia terpuruk dan miskin karena Koruptor, dimana hampir semua lini pemerintahan, kehidupan ekonomi/bisnis di Republik ini tidak luput dari praktek KORUPSI.
Pada proyek pemerintahan bagi para pihak ketiga atau swasta (konsultan, kontraktor, dsbnya), lazim dikenal istilah kickback atau prosentase sogokan untuk memenangkan proyek yang dilelang/ditender-kan. Kemudian bila proyek telah dimenangkan, dilanjutkan dengan uang suap atau hadiah sebagai pelicin agar pekerjaan yang ditangani lancar. Banyak orang yang terjebak dalam lingkaran KORUPSI, akibat dari sistem kebijakan-kebijakan negara yang salah dan sampai saat ini belum berhasil diperbaiki.
Setiap elemen pemerintahan harus bersepakat dan bekerjasama untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya, namun yang terjadi malah konflik antar lembaga dan konspirasi. Itulah kenapa KORUPSI dikategorikan sebagai kejahatan luarbiasa, sampai ada ungkapan: "Kalau tidak edan, tidak akan bisa makan," "Bila tidak ikut arus, tidak berbudaya dan akan terkucil" dan sebagainya.
KORUPSI merupakan tantangan serius terhadap pembangunan. Dalam dunia politik, KORUPSI mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. KORUPSI saat pemilu dan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan penyusunan kebijakan.
KORUPSI pada sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum, dan KORUPSI pada pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, KORUPSI mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, hingga sampai pada promosi pejabat yang diangkat bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
KORUPSI inilah yang membuat Bangsa Indonesia miskin dan terhambat kemajuannya, oleh karena itu harus dilawan dengan serius dan tegas serta keras. Formulasi Pemberantasan KORUPSI harus dimulai dengan tindakan pencegahan melalui Edukasi dan Sosialisasi, tindakan persuasif dengan Pembuktian Terbalik, serta tindakan represif yaitu: Hukuman Maksimal sampai pada Hukuman Mati untuk menimbulkan efek jera.
Saat ini yaitu tahun 2017 adalah tahun ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-7. Beliau adalah harapan yang lahir dari kegundahan sebagian besar rakyat Indonesia dan saat ini sudah cukup banyak prestasi dan kemajuan dari hasil kerja beliau beserta jajarannya. Beliau berusaha mengejar ketertinggalan bangsa ini dengan melakukan pembangunan infrastruktur secara massive, walopun untuk mencapai tujuan mulia tersebut beliau harus mengeluarkan beberapa kebijakan yang kurang populis.
Naiknya Joko Widodo menjadi Presiden RI meninggalkan Ahok (Basuki Cahaya Purnama) wakilnya, yang kemudian naik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Naiknya Ahok sebagai pemimpin yang berasal dari minoritas kemudian memicu keterbelahan, konflik/intoleransi kembali memanas karena adanya oknum yang menghembuskan isu SARA dengan memanfaatkan alam kebebasan demokrasi dalam proses Pemilu (Pilpres dan Pilkada DKI Jakarta) yang telah berlalu tersebut.
Era informasi saat ini adalah ladang kebebasan, kemudahan dan kebablasan masyarakat dalam mengekspresikan pandangan dan pilihan politiknya. Kondisi tersebut mudah menimbulkan provokasi, ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial yang dapat memicu intoleransi. Intoleransi telah memakan korban dimana isu agama dan suku dijadikan keset bagi para politikus/individu/kelompok demi kepentingan dan tujuannya. Hukum sebab dan akibat, maka Intoleransi harus dilawan dengan elegan (Konsistensi dan Keadilan), karena akibat intoleransi maka akan timbul peperangan, dan kekacauan.
Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai slogan penggambaran bangsa Indonesia yang majemuk merupakan formulasi ampuh pada tataran konseptual. Tataran konsep tersebut harus diturunkan pada tataran operasional yang detail dimana prinsip keadilan yang proporsional (hubungan mayoritas dan minoritas) dapat diimplementasikan sehingga tumbuh kesadaran sikap saling memahami, menghargai dan Obyektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H