PENGANTAR
"Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah dianugrahi hikmah." (HR. Ibnu Majah, no. 4101)
Dalam pandangan sebagian masyarakat, tidak sedikit yang memahami zuhud sebagai sesuatu yang anti terhadap dunia. Zuhud di persepsikan dengan kesendirian di suatu tempat yang sangat sepi, jauh dari hingar bingar gemerlapnya dunia, berpakaian kusam, memakai jubah sederhana dan bertingkah laku layaknya orang miskin, tidak memiliki harta benda dan lain sebagainnya
Dengan anggapan seperti itu, maka konsepsi tentang zuhud di sinonimkan dengan sebuah kemunduran. Dan bagi yang menerima konsepsi zuhud tersebut tentu secara tidak langsung telah menyifati Islam dengan kemunduran dan anti dunia dimana seseorang tidak akan selamat di akhirat kecuali ia meninggalkan dunia
Padahal yang lebih penting dari itu semua dari sebuah sikap zuhud adalah menjaga kesucian jiwa dan kebersihan raga dari perkara-perkara yang haram (dilarang) dan sangat berhati-hati (Wara') dalam menggunakan sesuatu yang mubah (di perbolehkan) Maka oleh sebab itu, perlu kiranya di luruskan kembali makna Zuhud yang sesungguhnya sebagai berikut.
PENGERTIAN ZUHUD
Secara etimologi, zuhudberasal dari bahasa Arab dari akar kata zahada - zuhdanmaknanya adalah meninggalkan, meremehkan, memandang hina atau memandang remeh (AW Munawwir 1997 : 588), hilangnya terhadap sesuatu baik dipengaruh oleh rasa atau disebabkan oleh benci. (Yahya Al-Hunaidi, 2000 :174). Lawannya adalah gemar. Sedangkan Zahid adalah orang yang di dalam hatinya tidak ada ketertarikan. Dalam Al-Qur'an Allah berfiman :
Artinya: "Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf". (Q.S. Yusuf: 20)
Makna zuhud secara terminology merujuk kepada pendangan beberapa pakar sebagai berikut :
Dalam terminology Ibnu Taimiyah dikatakan bahwa zuhud adalah melepaskan keinginan pada apa yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat. Artinya adalah perkara yang di perbolehkan (Mubah) bila tidak membantunya untuk sampai pada ketaatan kepada Allah SWT maka itu di tinggalkan (DR Yahya Al-Hunaidi, 2000 :174-175)
Sedangkan zuhud dalam pandangan Al-Ghazaly, ialah sebuah tindakan penolakan seseorang terhadap sesuatu yang di gemari(Dunia) demi mendapatkan sesuatu yang lebih berharga (Akhirat). Dalam hal ini yang dimaksud penolakan adalah menolak untuk sampai pada level cinta dunia (Hubb Al-Dunya) bukan apriori melainkan hanya menggunakan dunia beserta segala isinya dengan sewajarnya. Tidak berlebihan dan sama sekali tidak menjadi penghalang dirinya untuk mendekat kepada kepada Allah SWT (Al-Ghazaly : 2003)
Definisi lainnya dari Abu Al-Wafa Al-Taftazani melalui karya Madkhal ila At-Tasawwuf Al-Islmyang dikutip oleh Masyitoh Chusnan, mengartikan zuhud sebagai hikmah terhadap pemahaman seseorang yang memiliki pandangan berbeda terhadap kehidupan duniawi, bukan terputusnya kehidupan dari duniawi. Dalam arti seorang Zahid tetap bekerja dan berusaha, tetapi kehidupan duniawi itu tidak sampai menguasai hatinya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan. (2012 :109)
Dari beberapa pandangan para pakar tentang definisi zuhud di atas, maka dapat  penulis simpulkan bahwa zuhud adalah melepas sesuatu yang sekiranya tidak memberi manfaat terhadap kehidupan akhirat. Sesuatu tersebut adalah perkara yang sejatinya di perbolehkan dalam Islam hanya bagi seorang zahid dilepaskan karena kekhawatirannya bahwa kesemuanya itu dapat memalingkan dirinya terhadap ketaatan kepada Allah SWT. Tidak berarti bahwa zuhud apriori terhadap dunia melainkan hanya digunakan sebagai ladang amal untuk kehidupan yang jauh lebih berharga yaitu kehidupan akhirat.
ZUHUD DI ERA MODERN
Kata "Modern, modernisme, atau modernisasi" memiliki makna suatu gerakan untuk mengubah pemahaman lama menjadi relevan dengan kondisi atau keadaan yang baru karena disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Harun Nasution, 1995 : 181)
Dalam terminology Achmad Mubarak, dikatakan bahwa manusia modern adalah manusia yang berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia (2002 : 167)
Dalam konteks ini, penulis menterjemahkan pandangan Achmad Mubarok tentang manusia modern adalah mereka yang sudah tidak lagi percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Pola pikir mereka sudah berada pada level rasional dan masuk akal. Sehingga, mistis bagi mereka adalah sebuah kemunduran karena didasarkan pada asumsi yang secara ilmiah tidak dapat di buktikan kebenarannya.Â
Maka konsekuensinya adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Sementara itu perkembangan teknologi dan pengggunaannya dalam semua segi kehidupan telah membantu memberikan kemudahan manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Pada perkembangannya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi seluruh manusia termasuk Ummat Islam dan menuntut mereka untuk memodernisasi dirinya. Maka dalam hal ini, Ummat Islam harus bersikap terbuka menerima arus modernisasi yang datang begitu cepat sehingga tidak tertinggal dan pada akhirnya terlindas oleh zaman. Ummat Islam bisa mengambil banyak manfaat dari arus modernisasi dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan.
Pengaruh modernisasi ini telah meluas dan masuk kedalam semua sector kehidupan sehingga menyebabkan banyak profesi-profesi lama gulung tikar tetapi pada sisi yang berlawanan banyak profesi-profesi baru bermunculan mulai dari vlogger, youtuber hingga analis digital forensik, food scientist dan profesi-profesi lainnya yang bersifat keduniawian.
Maka bagi umat Islam menjadi manusia modern sudah menjadi suatu keharusan dengan tujuan menciptakan keseimbangan antara kehidupan di dunia dan  kehidupan akhirat sebagaimana firman Allah  :
Artinya, : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (Al-Qashas : 77)
Ketika manusia mampu menyeimbangkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, mengambil secukupnya dan tidak terpukau oleh gemerlapnya dunia meski dunia berada di tangannya, maka dialah yang disebut dengan Zuhud di Era Modern. Hal itu semakin di tegaskan oleh Amin Syukur,yang berpandangan bahwa praktik zuhud tidak mesti selalu identik dengan kefakiran. Seorang zuhud bisa dari kalangan milyuner selama harta baginya tidak menjadi penghalang untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.Â
Lebih lanjut Amin Syukur mengatakan bahwa zuhud tidak berarti pasif dan eksklusif menarik diri dari aktivitas duniawi seperti tidak mau berusaha dan bekerja keras, karena Islam mengajarkan untuk menjadikan dunia sebagai sawah ladang untuk akhirat. (2004 : 4)
Dalam konteks ini, penulis melihat bahwa subtansi Zahid (Orang yang zuhud) terletak pada kuatnya penghambaan dirinya kepada Allah SWT. Artinya Zahid bisa saja kita temukan pada semua elemen masyarakat Modern dari berbagai strata social, strata pendidkan maupun profesi yang sedang di gelutinya. Maka Zahid di era Modern bisa saja berasal kalangan kiyai hingga kalangan kaum berdasi selama dengan semua yang dimilikinya itu semakin mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.
Pandangan yang memperkuat muncul dari seorang Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta seorang hamba dalam kehidupan (Majmu' al-Fatawa, 10 : 617). Pandangan ini berarti menolak anggapan bahwa sikap zuhuds elalu apriori terhadap dunia. Karena dunia menurut anggapan mereka tidak akan menyelamatkan dirinya di akhirat.
Karena itu, berangkat dari pandangan tersebut di atas, bila di tarik benang merah dari pemahaman kebalikannya (mafhum mukholafah) nya, maka dapat penulis simpulkan bahwa zuhud di era Modern adalah mereka yang bekerja keras memperoleh dan memanfaatkan dunia tetapi tidak sampai pada level mencintai dunia (Hubb Al-Dunya). Â Seorang Zahid hanya mengambil dunia secukupnya tetapi tidak sampai mencintai layaknya kecintaan orang kafir terhadap dunia (Amin Syukur, 1997 : 180) sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
Artinya, : "Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan". (Q.S. Al-Fajr : 20)
Zahid di era Modern tetap hidup sederhana meskipun ia mampu bermewah-mewahan ditengah kehidupan yang serba hedonis. Ia berpakaian layaknyamanusia Modern pada umumnya. Pakaian yang ia kenakan tidak mewah tetapi juga tidak kusam dan lusuh. Ia juga tidak rakus, dan sama sekali tidak memiliki keinginan yang berlebihan terhadap materi. Karena seorang zuhud tidak gembira dengan mendapatkan dunia dan tidak juga bersedih karena kehilangan dunia.Â
Mengenai hal ini Sufyan Ats-Tsaury mengatakan bahwa zuhud di dunia tidak mengumbar harapan, tidak makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia. (Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,1988 : 11)
Dengan demikian, zuhud di era Modern adalah mereka yang mampu menciptakan keseimbangan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Ia sama sekali tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak bersedih karena kehilangan dunia. Zuhud di era Modern bisa di temukan pada kalangan kiyai hingga kalangan kaum berdasi selama dengan semua yang dimilikinya itu semakin mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan dunia baginya hanyalah ladang amal untuk kehidupan akhirat.
Penulis : Dosen Univ Islam As-Syafiiyah/Aktivis Persatuan Guru Nahdlatul Ulama /Anggota Himpunan Pengusaha Nahdliyin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H