Mohon tunggu...
Gusti Asnan
Gusti Asnan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Sejarawan, Dosen Sejarah FIB-Univ. Andalas Padang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nama-nama Belanda dalam Toponimi Sumatera Barat

9 Juli 2024   18:44 Diperbarui: 10 Juli 2024   15:55 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 7 Juli 2024 atau bertepatan dengan 1 Muharram 2046 H yang lalu, pemerintah Provinsi Sumatera Barat mengganti nama Masjid Raya Sumatera Barat menjadi Masjid Raya Achmad Khatib Al-Minangkabauwi.

Penggantian nama masjid yang telah menjadi ikon Kota Padang itu disetujui banyak pihak dan 'disayangkan' (atau tidak disetujui) oleh sebagian kalangan.

Penggantian nama ikon kota, ruang publik, nama jalan, nama kota, nama daerah atau bahkan nama rupa bumi bukanlah suatu yang asing di Sumatera Barat.

Kajian sejarah menunjukkan bahwa Sumatera Barat termasuk salah satu daerah yang memiliki pengalaman cukup banyak dalam soal penggantian nama-nama itu.

Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah pengantian toponimi (nama wilayah) dari nama-nama Belanda ke nama Indonesia.

Adanya penggantian nama-nama itu berhubungan erat dengan kenyataan yang menunjukkan terjadi proses belandanisasi toponimi cukup intensif di daerah itu.

Ini bisa terjadi karena Sumatera Barat adalah salah satu daerah yang relatif awal dan intensif dikuasai oleh Belanda.

Kajian sejarah juga menunjukkan bahwa penamaan berbau Belanda telah dimulai sejak abad ke-18, dan tetap berlanjut hingga awal abad ke-20. Abad ke-19 adalah periode yang paling sibuk dengan proses 'belandanisasi' toponimi itu.

Kota adalah ruang geografis yang namanya paling awal dan paling banyak dibelandakan.  

Nama-nama ikon kota kota, ruang publik dan jalan-jalan yang ada di kota adalah aspek-aspek lain yang juga banyak mengalami proses belandanisasi. Prasarana transportasi dan bahkan rupa bumi yang ada di kota atau di lingkungan perkotaan juga ikut dibelandakan.

Unsur lain yang juga mengalami proses belandanisasi di Sumatera Barat adalah rupa bumi, seperti pulau dan gunung atau bukit.

Belandanisasi toponimi di Sumatera Barat adalah sebuah proses yang menarik dan memiliki dinamika yang khas.

Proses penamaan itu dimulai dari kawasan pantai, di mana Belanda pertama kali mulai hadir di daerah tersebut. Setelah itu dilanjutkan untuk penamaan di daerah pedalaman.

Terjadinya pembelandaan toponimi di daerah pedalaman seiring dengan perluasan kekuasaan Belanda di daerah tersebut.

Pada awalnya belandanisasi toponimi berhubungan erat dengan kampanye militer. Sehubungan dengan itu penamaan yang diberikan dikaitkan dengan nama sebuah benteng (fort) yang didirikan di sebuah kota yang baru saja ditaklukan.

Jadi ada pengindentikan nama benteng dengan nama kota/permukiman. Bahkan, kata benteng (fort) dilengketkan dengan penamaan tersebut.

Belandanisasi tipe ini pertama kali dilakukan dengan penamaan Fort Vredenburg  (Benteng Perdamaian) kepada kota Pariaman.

Penamaan ini diberikan tahun 1712 (lebih tua dari nama yang diberikan kepada benteng dengan nama yang sama di Yogyakarta, yakni tahun 1760).

Benteng itu didirikan dalam rangka mempertahankan kota tersebut dari 'gangguan' penduduk setempat yang tidak bersahabat dengan VOC. Padahal, kata sumber Belanda, 'kompeni ini hidup damai berdampingan dengan penduduk setempat'.

Nama selanjutnya adalah Fort Buuren (nama sebuah permukiman kecil di Provinsi Utrecht, bagian tenggara Belanda) yang diberikan kepada kota Padang tahun 1751.

Nama ini diberikan karena di kota itu didirikan sebuah benteng, sebuah benteng terbesar yang pernah didirikan VOC di pantai Sumatera.

Pembangunan Fort Buuren (Benteng Padang) ditujuan untuk mempertahankan kota itu dari serangan penduduk 'pedalaman', terutama orang Pauh yang nyaris tidak pernah berhenti menyerang kota Padang.

Dari kawasan pantai Belanda masuk ke daerah pedalaman. Itu terjadi seiring dengan terlibatnya Belanda dalam Perang Paderi (1821-1837).

Sama dengan di daerah pesisir, belandanisasi toponimi di pedalaman juga dikaitkan dengan nama-nama benteng yang didirikan di sebuah kota atau permukiman yang baru ditaklukan di daerah tersebut.

Fort van Capellen adalah benteng yang pertama kali didirikan Belanda di daerah pedalaman. Benteng itu didirikan tahun 1822 di Batusangkar.

Pendirian benteng tersebut dan kemudian dijadikannya benteng itu sebagai pusat kegiatan sipil dan militer menyebabkan namanya menjadi lebih populer sehingga menghilangkan nama Batusangkar.

Itu pulalah sebabnya, sejak pertama kali didirikan hingga akhir kekuasaan Belanda kota itu dinamakan Fort van der Capellen.

Van der Cappellen, atau lengkapnya Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat benteng didirikan.

Fort de Kock adalah benteng terpenting berikutnya yang didirikan Belanda di daerah pedalaman. Benteng ini didirikan di Bukittinggi tahun 1825. 

Dipusatkannya kegiatan pemerintahan, militer, sosial dan ekonomi Belanda di sekitar benteng menyebabkan Fort de Kock tumbuh menjadi pusat permukiman (dan kemudian kota) terbesar di daerah pedalaman. 

Sejak pertama didirikan, literatur Belanda, orang Belanda dan akhirnya penduduk pribumi juga menamakan permukiman (kota) itu dengan Fort de Kock.

Fort de Kock diambil dari nama Hendrik Merkus de Kock, nama seorang pejabat tinggi militer Belanda saat benteng didirikan. 

De Kock sendiri adalah mertua dari H.J.J.L. de Steur, Residen Sipil dan Militer Padang en Onderhoorigheden (Padang dan Daerah Taklukannya) pada saat pembangunan benteng tersebut dilaksanakan.

Ada beberapa lagi benteng yang dibangun di daerah pedalaman pada saat Perang Padri dan kemudian menjadi penamaan permukiman di mana benteng itu berada. Tiga benteng yang terkemuka di antaranya adalah Fort Raaf, Fort Vetman,  dan Fort Cochius. 

Fort Raaff adalah benteng yang dibangun di Halaban tahun 1834 dan kemudian menggantikan nama Halaban. Fort Veltman adalah adalah nama benteng yang dibangun di Harau (Payakumbuh) tahun 1834 dan kemudian menggantikan nama Harau. Sedangkan Fort Cochius adalah benteng yang dibangun di Bonjol tahun 1837 dan kemudian menggantikan nama Bonjol.

Berbeda dengan Fort van der Capellen dan Fort de Kock, nama-nama yang disebut terakhir diambil dari nama komandan militer yang langsung bertempur di Sumatera Barat. Di samping itu, nama-nama ini dipakaikan pada kota atau permukiman yang umumnya relatif kecil.

Kurun waktu selepas 1850-an juga ditandai dengan belandanisasi penamaan ruang publik, jalan dan ikon kota. Pengalaman ini  terlihat jelas di kota Padang.

Taman dan monumen terbesar dan serta yan menjadi ikon kota dinamai dengan nama-nama Belanda, seperti Taman dan Monumen Michiels, Taman dan Monumen Raaff, Taman dan Monumen de Greve, dan Plein van Rome. 

Sejumlah jalan di kota Padang juga dinamai dengan nama-nama Belanda, seperti Wilhelminastraat, Emmalaan, Raaffstraat, Willemstraat, Prinstraat, dlsbnya. Kecuali Plein van Rome, nama-nama yang dipakai adalah nama-nama oran besar Belanda, besar dalam kaitannya dengan sejarah Sumatera Barat, Hindia Belanda atau Negeri Belanda.

Rupa bumi yang ada di sekitar kota juga ikut dibelandakan. Sebuah bukit yang menjadi lokasi wisata warga kota (dan juga wisatawan) dinamai dengan Apenberg (Gunung Monyet). Juga sebuah ujung bukit yang menjorok ke laut, dan menjadi bagian tak terpisahkan Apenberg dinamai Walvis (ikan paus), karena bentuknya seperti kepala ikan paus.

Belandanisasi toponimi juga dilakukan di kawasan lepas pantai, seperti di Kepulauan Mentawai.

Beberapa penamaan yang paling berkesan di kepulauan tersebut adalah penamaan Groot Fortuin untuk Pulau Siberut, Nassau Eilanden untuk Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, serta Nassau Straat untuk nama selat yang memisahkan Pulau Pagai Utara dengan Pagai Selatan.

Belandanisasi toponimi dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi dilakukan dengan menamakan Emmahaven (Pelabuhan Emma) terhadap pelabuhan laut kota Padang yang baru diresmikan pemakaiannya tahun 1893. 

Penamaan ini diambil dari nama Ratu Belanda (Ratu Emma) dan itu ditujukan untuk mengatakan pentingnya arti pelabuhan tersebut.

Emmahaven adalah salah satu dari lima pelabuhan Kelas 1 di Hindia Belanda dan pada saat diresmikan merupakan pelabuhan pengisian batubara tercanggih di Asia Tenggara.

Segera setelah Indonesia merdeka, nama-nama Belanda dihapus dan diganti dengan nama-nama Indonesia atau nama-nama Indonesia yang sebelumnya dipakai diaktifkan kembali. 

Sebagaimana dikatakan dalam kajian toponimi, faktor politik menjadi salah penentu terjadinya perubahan penamaan.

Apakah penggantian nama Masjid Raya Sumatera Barat menjadi Masjid Raya Syekh Achmad Kjatib Al-Minangkabauwi juga ada unsur politisnya? Wallahu A'lam Bishawab.

Gusti  Asnan
FIB-Unand, Padang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun