Pembangunan Fort Buuren (Benteng Padang) ditujuan untuk mempertahankan kota itu dari serangan penduduk 'pedalaman', terutama orang Pauh yang nyaris tidak pernah berhenti menyerang kota Padang.
Dari kawasan pantai Belanda masuk ke daerah pedalaman. Itu terjadi seiring dengan terlibatnya Belanda dalam Perang Paderi (1821-1837).
Sama dengan di daerah pesisir, belandanisasi toponimi di pedalaman juga dikaitkan dengan nama-nama benteng yang didirikan di sebuah kota atau permukiman yang baru ditaklukan di daerah tersebut.
Fort van Capellen adalah benteng yang pertama kali didirikan Belanda di daerah pedalaman. Benteng itu didirikan tahun 1822 di Batusangkar.
Pendirian benteng tersebut dan kemudian dijadikannya benteng itu sebagai pusat kegiatan sipil dan militer menyebabkan namanya menjadi lebih populer sehingga menghilangkan nama Batusangkar.
Itu pulalah sebabnya, sejak pertama kali didirikan hingga akhir kekuasaan Belanda kota itu dinamakan Fort van der Capellen.
Van der Cappellen, atau lengkapnya Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat benteng didirikan.
Fort de Kock adalah benteng terpenting berikutnya yang didirikan Belanda di daerah pedalaman. Benteng ini didirikan di Bukittinggi tahun 1825.Â
Dipusatkannya kegiatan pemerintahan, militer, sosial dan ekonomi Belanda di sekitar benteng menyebabkan Fort de Kock tumbuh menjadi pusat permukiman (dan kemudian kota) terbesar di daerah pedalaman.Â
Sejak pertama didirikan, literatur Belanda, orang Belanda dan akhirnya penduduk pribumi juga menamakan permukiman (kota) itu dengan Fort de Kock.
Fort de Kock diambil dari nama Hendrik Merkus de Kock, nama seorang pejabat tinggi militer Belanda saat benteng didirikan.Â