Mohon tunggu...
Gusti Putu Yastika Putra
Gusti Putu Yastika Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa universitas pendidikan ganesha

hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Banten di Bali

9 Juli 2023   08:46 Diperbarui: 9 Juli 2023   08:51 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Manusia percaya dan yakin terhadap keberadaan tuhan yang dianggap menguasai alam dan makhluk hidup. Kesadaran manusia terhadap keberadaan tuhan menimbulkan berbagai tindakan -- tindakan tertentu, salahs satunya melakukan ritual. Hal ini merupakan salah satu bentuk kepatuhan, ketaatan, dan penghormatan kepada tuhan. Melalui ritual yang dilakukan, manusia percaya dapat membangun hubungan interaksi baik dengan tuhan guna memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi permasalahan yang ada di dalam hidupnya.

Dalam melakukan ritual, bahasa dalam berkomunikasi untuk mempersembahkan ritual menjadi salah satu aspek penting dalam kesuksesannya. Komunikasi yang dilakukan melibatkan rangkaian kata oleh pelaksana ritual ditujukan untuk penerima atau dalam hal ini adalah tuhan. Salah satu rangkaian dalam mempersembahkan ritual adalah mempersiapkan sesajen. 

Sesajen menjadi prasayarat utama dalam mempersembahkan ritual di beberapa budaya. Diyakinkan bahwa, keberadaan sesajen yang kurang lengkap akan membuat persembahan ritual tidak sempurna dan memungkinkan untuk membawa dampak kurang baik kepada penyembah. Sesajen diartikan sebagai sesuatu yang disajikan atau makanan, bunga bungaan yang di persembahkan kepada kekuatan -- kekuatan gaib (Humaeni, dkk. 2021). 

Sesajen berupa makanan, bunga -- bungaan, atau benda lain menjadi sarana dalam melakukan persembahan kepada kekuatan -- kekuatan gaib dengan tujuan bekomunikasi denganNya. Menurut Koentjaraningrat, sesajen atau sesaji diartikan sebagai sarana upacara yang dihaturkan kepada makhlus halus di waktu dan tempat tertentu. Sarana upacara ini merupakan salah satu sarana yang tidak bisa ditinggalkan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini, penghaturan sarana upacara berupa sesajen menjadi simbolis dalam suatu upacara untuk dihaturkan kepada roh halus dengan harapan dapat membuatNya jinak dan mau membantu hidup manusia (Humaeni, dkk. 2021). 

Menurut koentjaraningrat dalam Humaeni, dkk. (2021), terdapat empat komponen penting dalam menghaturkan sesajen, diantaranya adalah tempat pelaksanaan, waktu pelaksanaan, benda -- benda atau Perlengkapan, dan orang orang yang terlibat dalam upacara. Kesimpulannya, sesajen merupakan sarana upacara yang dipersembahkan kepada tuhan atau roh halus yang merupakan salah satu ciptaanNya dengan tujuan membangun hubungan antara manusia dengan roh halus. Sarana dapat berupa berbagai macam benda baik makanan, bunga -- bungaan, atau benda lain yang dipercaya dapat menjadi jembatan komunikasi antara manusia dengan tuhan atau roh halus dan nantinya terbentuk hubungan baik diantara manusia dengan tuhan atau roh halus,

Masyarakat Hindu merupakan salah satu kaum mayoritas di Bali yang melakukan ritual pada tempat dan waktu tertentu dengan mempersembahkan berbagai jenis sesajen. Pelaksanaan ritual dilakukan dalam kehidupan sehari -- hari, upacara adat keagamaan, dan hari raya tertentu. Dalam hal ini, sesajen yang diaturkan disebut dengan Banten merupakan sarana pemujaan yang disembahkan pada saat pelaksanaan ritual. Banten berasal dari kata bang yang artinya brahma dan enten yang artinya ingat. Dalam hal ini, banten dimaksud sebagai sarana menyembah tuhan sebagai bentuk kesadaran manusia terhadap tuhan dan ciptaanNya. Di Bali, banten dibuat dengan memanfaatkan hasil -- hasil alam, seperti dedaunan, bunga, buah, air, dan api. Pembuatan banten dan penghaturannya kepada tuhan atau makhluk ciptaanNya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Banten digunakan sebagai sarana berkomunikasi kepada tuhan atau Hyang Widhi. 

Dalam hal ini, banten dihaturkan dengan dibarengi rangkaian kata atau disebut dengan mantra sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan tuhan. Masyarakat hindu di Bali percaya, komunikasi yang dilakukan bukan sebatas menyampaikan informasi kepada tuhan, namun juga menerima informasi. Banten bukan hanya dipercaya sebagai sarana komunikasi namun juga sebagai alat pensucian. Salah satu contohnya adalah banten parayascita yang dianggap mampu menyucikan manusia dan benda -- benda di sekitarnya. Banten memiliki beberapa arti, salah satunya sebagai wujud pembentuk hubungan kasih sayang antar manusia, tuhan, dan ciptaanNya. Banten juga diartikan sebagai rujud korban suci dan sarana bagi umat dalam memuja Tuhan. 

Masyarakat hindu di Bali menghaturkan banten setiap hari yang disebut banten saiban. Selain itu, masyarakat juga menghaturkan banten pada hari -- hari raya keagamaan, seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, Nyepi, dan Pagerwesi. Banten juga dihaturkan saat upacara adat keagamaan, seperti Upacara Tiga Bulanan, Potong Gigi, Pernikahan, Ngaben, dan Memukur.

Banten saiban merupakan sarana upacara yang dihaturkan setiap hari dan dalam Agama Hindu tergolong dalam Nitya Yajna atau persembahan yang dilaksanakan sehari -- hari (Sukara, 2019). Masyarakat hindu biasa menyebutnya dengan mesaiban atau yajna sesa. Banten saiban hanya terdiri atas nasi, lauk pauk yang dimasak setiap hari, dan garam. Menghaturkan banten saiban merupakan bentuk syukur umat hindu kepada tuhan dan ciptaanNya karena telah memberikan anugrah kepada dirinya dalam bentuk makanan yang dimakan setiap hari (Sukara, 2019). 

Keberadaan banten saiban dalam tradisi Hindu dapat memberikan pembelajaran pada manusia bahwa dalam hidup kita berinteraksi dengan sosial. Dengan menghaturkan banten saiban dan ditujukan untuk makhluk ciptaan tuhan, kita dapat memahami bahwa dalam hidup kita harus mendahulukan kepentingan umum. 

Dengan menghaturkan banten saiban secara tulus dan ikhlas kita dapat memahami bahwa kita akan mendapatkan timbal balik dari alam dan lingkungan sekitar dengan perilaku yang baik, begitu juga sebaliknya. Pada hari raya purnama dan tilem, dalam tradisi hindu biasanya dihaturkan banten Buratwangi Lengewangi. Banten Buratwangi Lengewangi merupakan banten yang menggambarkan Sang Hyang Tri Murti dan Sang Hyang tri Purusa yang menguasai bumi (Suparman, 2015). 

Keberadaan banten Buratwangi Lengewangi difungsikan sebagai bentuk korban suci, sarana pengampunan, penyupatan/pengeruat, dan sarana penyucian. Sebagai pengeruat, banten Buratwangi Lengewangi berfungsi menetralisir atau menormalisasikan kembali ketidak seimbangan manusia terhadap Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Suparman, 2015). 

Pada upacara nyambutan atau upacara yang ditujukan untuk bayi berumur tiga bulan wuku atau 105 hari, umat hindu menggunakan banten parayascita yang berupa banten berbentuk bundar dari janur kelapa gading dengan dilengkapi beberapa unsur banten (Ratini, 2019). Beberapa unsur banten parayascita, diantaranya sorohan alit, penyeneng, sampaian Padma, sampaian nagasari, dll (Ratini, 2019). Banten parayascita merupakan simbol penyucian untuk mencapai keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup. Dengan menggunakan banten parayascita sebagai sarana persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi, umat hindu percaya bayi yang berumur tiga bulan dan orang -- orang di sekitarnya akan mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup.

Dari pembahasan beberapa jenis banten yang dipersembahkan oleh umat hindu, dapat disimpulkan bahwa jenis banten yang dipersembahkan bersifat beragam dan memiliki fungsinya masing -- masing. Dalam melaksanakan tradisi atau ritual, umat hindu mengacu pada tiga kerangka dasar, yaitu tatwa, etika, dan upacara. Upacara atau ritual merupakan ajaran rela berkorban guna memelihara kehidupan manusia. Dengan adanya banten sebagai salah satu bentuk saran upacara dapat memberikan berbagai pembelajaran bagi umat hindu yang tentunya berguna untuk memelihara kehidupan dan menjadikannya lebih baik. Keberadaan banten di agama hindu yang dimaknai sebagai bentuk yadnya atau persembahan kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi memberikan berbagai pembelajaran bagi umatnya. 

Dalam mempersiapkan banten sebagai sarana upacara, setiap umat diajarkan untuk dapat bekerja dengan sabar dan berhati -- hati karena setiap banten memiliki bentuk dan keragamannya masing -- masing. Umat yang sudah terlatih dalam mempersiapkan banten akan terlatih pula dalam kehidupan sehari -- hari untuk menjadi manusia yang sabar dan berhati -- hati dalam bertindak. 

Dalam mempersembahkan atau menghaturkan banten kepada Ida Sang Hyang Widhi dan makhluk ciptaanNya, umat hindu harus melaksanakannya secara tulus dan ikhlas. Dengan ketulusikhlasan tersebut, dipercaya dapat memberikan timbal balik yang baik untuk kehidupan umatnya. Dengan mempersembahkan banten secara tulus ikhlas, maka umat hindu akan terbiasa melakukan setiap pekerjaan dengan tulus dan ikhlas. 

Dalam kehidupan sosial, manusia melakukan interaksi dengan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, kebiasaan melakukan tulus ikhlas dalam mempersembahkan banten jika dikaitkan dengan perilaku kehidupan sehari -- hari, tentunya akan membawa dampak positif untuk kehidupan manusia. Setiap orang yang melakukan tindakan tulus ikhlas akan mendapatkan timbal balik yang setimpal.

Persembahan banten kehadapan tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi dapat memperkuat ikatan spiritual umat Hindu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sebagai umat yang mempercayai kekuatan dan keajaiban yang diberikan tuhan kepada umatnya akan dapat memahami pentingnya banten dalam melakukan tradisi atau persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan menggunakan banten sebagai sarana persembahan akan menjadi jembatan komunikasi antara manusia atau umat hindu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Pemahaman umat terhadap eksistensi banten dalam kehidupan umat beragama juga akan berdampak pada keseimbangan alam. Keseimbangan alam akan menciptakan keharmonisan hidup antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Karena tiga faktor keharmonisan hidup manusia adalah tuhan, manusia, dan alam atau lingkungan. Dalam ajaran agama hindu disebut dengan Tri Hita Karana.

DAFTAR PUSTAKA

Humaeni, A. Dkk. (2021). Sesajen: Menelusuri Makna dan Akar Tradisi Sesajen Masyarakat Muslim Banten dan Masyarakat Hindu di Bali. Ciceri Serang Banten. LP2M UIN SMH Banten

Ratini, N.M. 2019. Makna Banten Parayascita Dalam Upacara Nyambutan. Belom Bahadat: Junal Hukum Agama Hindu. 7(2).

Sukara, I. M. A. 2019. Realisasi Banten Saiban di Desa Adat Tanjung Benoa Badung (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan. 2(2). 271-278.

Suparman, I. N. 2015. Kajian Essensialisme Atas Penggunaan Banten Buratwangi Lengewangi Pada Upacara Purnama Tilem. Widya Genitri. 6(1). 1-12.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun