Hari itu, Gustava mengenakan toga dengan penuh haru. Ia melihat sekeliling dan melihat teman-temannya yang ditemani orang tua mereka. Setiap senyum dan pelukan antara anak dan orang tua membuatnya teringat akan ayahnya. Hatinya terasa penuh rasa rindu. Namun, ia berusaha tersenyum dan berjalan dengan penuh percaya diri.
Saat namanya dipanggil untuk menerima gelar sarjana, ia melangkah ke panggung. Di sana, di tengah keramaian, ia merasakan kehadiran ayahnya. Ia membayangkan wajah ayahnya yang bangga, seolah ayahnya benar-benar hadir di sampingnya. Gustava menatap ke langit, seolah berbicara kepada ayahnya, "Ayah, Gustava berhasil. Gustava ingin Ayah tahu bahwa semua ini untuk Ayah."
Ketika ia menerima ijazah, air mata mengalir di pipinya. Ia tahu, meskipun ayahnya tidak ada secara fisik, cinta dan harapan yang ditanamkan ayahnya akan selalu hidup di dalam dirinya. Rasa bangga dan rasa sakit berpadu menjadi satu. Dalam keramaian itu, ia merasakan kehadiran ayahnya dalam setiap langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H