Sarjana Tanpa Ayah
Di sebuah kota metropolitan, sebuah kota yang sibuk dengan urusan dan problematikanya.
Hidup seorang anak yang Bernama Gustava, ia lahir ditanah Batavia, dalam kehidupannya ia adalah seseorang yang apa ada nya, mau itu bersama teman temannya atau pun kekasih nya.
Pada suatu hari gustava ngobrol bersama ayah nya yang tampak pembahasannya sangat serius, yang isi nya mengenai pembahasan masa depan
"Ayah berkata"
Ayah : "Gus kamu itu anak laki-laki kamu harus menjadi pelindung untuk keluarga apalagi kamu anak kedua laki laki kamu sebagai pelindung adik adik nya''
Gustava menjawab dari pertanyaan sang ayah
Gustava : "iya yah, gustava akan menjadi yang seperti ayah harapkan, maka dari itu tetap sehat selalu yah ayah, supaya ayah bisa melihat anak nya menjadi apa nanti".
Tiba tiba ayah gustava berkata, yang membuat hati gustava menjadi sedih dan terdiam.
Ayahnya tersenyum, tetapi ada kerutan di dahi yang menunjukkan pemikiran mendalam.Â
Ayah : "Walaupun dalam hidup ini kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, kamu harus tetap optimis. Ingat, Gus, jika suatu saat Ayah tidak ada, kamu lah yang akan menjaga keluarga ini. Kamu harus serius dalam kuliah, supaya bisa menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Buatlah Ayah dan Mama bangga."
Kata-kata itu menggema di dalam hati Gustava. Ia terdiam, meresapi makna mendalam dari ucapan ayahnya. "Iya, Yah. Doakan ya supaya Gustava bisa menjadi orang yang diharapkan. Gustava ingin, ketika wisuda nanti, ada Ayah dan Mama yang menemani."
Ayahnya mengangguk. "Ya, Gus. Doakan ya supaya Ayah bisa menemani ketika kamu wisuda nanti."
Waktu berlalu, dan Gustava melanjutkan pendidikannya di universitas. Ia berusaha keras untuk memenuhi harapan ayahnya. Setiap hari, ia belajar dengan tekun, berpartisipasi dalam organisasi kampus, dan menjalin hubungan yang baik dengan dosen serta teman-temannya. Namun, di tengah perjalanan, kehidupan Gustava mengalami cobaan yang sangat besar.
Suatu malam, ketika Gustava pulang dari pertemuan organisasi, ia menerima kabar mengejutkan. Ayahnya telah jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Gustava merasa gelisah dan langsung menuju rumah sakit. Saat tiba, ia melihat wajah-wajah cemas keluarga yang berkumpul. Ayahnya terbaring lemah, dan dokter menjelaskan bahwa kondisinya kritis.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Gustava dan keluarganya berjaga di samping ranjang ayahnya, berharap dan berdoa agar Tuhan memberikan keajaiban. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu semakin memudar. Suatu pagi yang kelam, ayahnya menghembuskan napas terakhir. Dunia Gustava seolah runtuh. Ia merasa hampa dan kehilangan arah.
Momen wisuda yang diimpikan Gustava kini terasa sangat jauh. Dalam kesedihannya, ia teringat akan janji yang diucapkannya kepada ayah. "Gustava harus terus berjuang," pikirnya. Ia tidak ingin ayahnya merasa kecewa di alam sana. Dengan tekad yang bulat, Gustava kembali ke bangku kuliah dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan studinya.
Setiap kali ia belajar atau menghadapi ujian, bayangan ayahnya selalu hadir. Gustava sering membayangkan bagaimana ayahnya akan tersenyum bangga saat melihatnya mengenakan toga. Ia juga teringat nasihat ayahnya yang penuh kebijaksanaan. "Walaupun Ayah sudah tidak ada, kamu tetap bisa menjadi pelindung keluarga ini," begitu bisikan di dalam hatinya.
Di tengah kesedihan, Gustava menemukan dukungan dari Mama dan adik-adiknya. Mereka saling menguatkan, berbagi cerita tentang kenangan indah bersama ayah. Dinda pun selalu ada di sampingnya, memberikan semangat dan penghiburan. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul Gustava, dan ia bertekad untuk mendampinginya sampai akhir.
Hari demi hari, Gustava terus berjuang. Ia belajar dengan tekun, mengerjakan tugas-tugas, dan mengikuti berbagai kegiatan di kampus. Ia tidak hanya ingin lulus, tetapi juga ingin menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Gustava mengambil peran lebih dalam keluarga, membantu Mama dalam berbagai hal dan menjadi pendukung bagi adik-adiknya dalam belajar.
Saat ujian akhir semester tiba, Gustava merasa gelisah tetapi tetap fokus. Ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya. Dengan penuh usaha, ia belajar semalaman dan akhirnya berhasil melewati ujian dengan baik. Setiap pencapaian kecil membuatnya merasa lebih dekat dengan ayahnya, seolah ayahnya selalu mendukungnya dari jauh.
Setelah berbulan-bulan berlalu, Gustava akhirnya menerima kabar baik. Ia dinyatakan lulus dengan predikat yang memuaskan. Hari wisuda pun tiba, dan meskipun hatinya terasa berat karena kehilangan, ia tahu bahwa ini adalah momen yang sudah ditunggu-tunggu.
Hari itu, Gustava mengenakan toga dengan penuh haru. Ia melihat sekeliling dan melihat teman-temannya yang ditemani orang tua mereka. Setiap senyum dan pelukan antara anak dan orang tua membuatnya teringat akan ayahnya. Hatinya terasa penuh rasa rindu. Namun, ia berusaha tersenyum dan berjalan dengan penuh percaya diri.
Saat namanya dipanggil untuk menerima gelar sarjana, ia melangkah ke panggung. Di sana, di tengah keramaian, ia merasakan kehadiran ayahnya. Ia membayangkan wajah ayahnya yang bangga, seolah ayahnya benar-benar hadir di sampingnya. Gustava menatap ke langit, seolah berbicara kepada ayahnya, "Ayah, Gustava berhasil. Gustava ingin Ayah tahu bahwa semua ini untuk Ayah."
Ketika ia menerima ijazah, air mata mengalir di pipinya. Ia tahu, meskipun ayahnya tidak ada secara fisik, cinta dan harapan yang ditanamkan ayahnya akan selalu hidup di dalam dirinya. Rasa bangga dan rasa sakit berpadu menjadi satu. Dalam keramaian itu, ia merasakan kehadiran ayahnya dalam setiap langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H