Mistisisme dari tradisi Abrahamik, seperti Sufisme dalam Islam, juga memiliki gagasan serupa. Jalaluddin Rumi berbicara tentang fana, yakni penghapusan ego dan penyatuan dengan Tuhan. Ketika segala sesuatu yang bersifat individu lenyap, yang tersisa adalah Tuhan, yang melampaui segala definisi dan wujud.
Paradoks Tuhan dan Nihilisme
Menyebut Tuhan sebagai nihilisme menciptakan paradoks yang menarik. Dalam nihilisme klasik, ketiadaan makna sering dianggap sebagai ancaman. Namun, dengan memandang Tuhan sebagai nihilisme, ketiadaan ini berubah menjadi sumber potensi.
Tuhan sebagai nihilisme tidak memberikan jawaban konkret, tetapi menawarkan ruang untuk pertanyaan. Ia tidak mendikte moralitas atau tujuan, tetapi memberikan kebebasan untuk menemukan makna sendiri. Dalam ketiadaan otoritas yang memaksa, manusia diberi kebebasan untuk menciptakan dirinya sendiri.
"Ketika Tuhan adalah kehampaan, kita menjadi pencipta makna bagi dunia."
Nihilisme Aktif dan Peran Tuhan
Nietzsche membedakan antara nihilisme pasif dan aktif. Nihilisme pasif adalah bentuk menyerah pada kehampaan, sementara nihilisme aktif adalah pengakuan atas kehampaan sebagai peluang untuk menciptakan nilai baru. Dalam konteks ini, Tuhan sebagai nihilisme dapat dilihat sebagai dorongan untuk nihilisme aktif.
Tuhan tidak lagi menjadi entitas yang memberikan nilai, tetapi sumber dari potensi penciptaan nilai. Kehadiran Tuhan sebagai nihilisme memotivasi manusia untuk tidak lagi bergantung pada doktrin yang telah mapan, tetapi untuk terus mencari dan menciptakan makna yang relevan dengan kehidupan mereka.
Implikasi Spiritual dan Etis
Mengadopsi pandangan ini membawa implikasi spiritual dan etis yang mendalam. Secara spiritual, Tuhan sebagai nihilisme mengajarkan manusia untuk melepaskan keterikatan pada konsep-konsep yang kaku dan membuka diri pada ketidakpastian. Dalam ketidakpastian ini, ada kemungkinan untuk menemukan keindahan, kreativitas, dan kebijaksanaan.
Secara etis, pandangan ini mendorong tanggung jawab pribadi. Jika Tuhan sebagai nihilisme tidak memberikan pedoman moral yang absolut, maka manusia bertanggung jawab untuk menentukan sendiri apa yang benar dan salah. Ini menciptakan peluang untuk membangun dunia yang lebih inklusif dan dinamis, berdasarkan pemahaman yang terus berkembang.