Selasa siang yang panas, seperti biasa saya melakukan tugas keliling. Tiba-tiba dalam keramaian suasana jalan, handphone jadul milikku berdering. Segera saya menepikan sepeda motor yang saya kendarai. Siapa gerangan yang menelepon siang-siang bolong begini ???. Dalam hatiku, mudah-mudahan customer yang mau order barang hehehe…Saya menyimak layar HP yang berkedip-kedip, oh…bukan. Ternyata mama yang menelepon.
“Halo, siang” sapaku.
“Halo, di mana ??? kok ramai” balas mama dari seberang.
“Lagi di jalan, keliling” jawabku. “oh..hati-hati ya, pelan-pelan aja” nasehatnya.
“iya, ada apa???” sambungku sekenanya.
“oh itu, kamu udah kirim uang adikmu???” tanya mama.
“oh,iya besok, belum sempat. Bilang Baron ( nama adiiku ), belum sempat”, jawabku.
“oh..iya, trus itu juga, dia sudah mau bayar kontrakan rumah lagi, jangka waktunya sudah habis” lanjut mama.
“trus kenapa ???’”, ketusku.
Agak lama mama terdiam.
“Kalo bisa kamu bantu-bantu dia, soalnya kami juga gak punya uang juga di sini” kata mama pelan dan agak berat. Sepertinya mama juga tidak sampai hati menyampaikan hal itu kepadaku. Kelihatan sekali bahwa mama sangat terpaksa mengatakannya.
Saya pun berpikir agak lama. Hati saya langsung “ngrundel”. “Kok semua mesti aku sih”, Kenapa harus aku yang dimintai ???”. Saya kemudian berhitung.
“Iya, gak apa-apa saya bantu”, jawabku masih dengan hati yang tidak rela.
“Makasih, nak ya. Adikmu menunggu”, balas mama.
“Iya”, jawabku ketus.
“Iya sudah kalo gitu, hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut ya”, suara mama sebelum menutup telponnya.
Saya melanjutkan perjalanan keliling. Sepanjang perjalanan, saya berpikir dan berhitung. Apakah uang saya tersisa masih cukup memenuhi kebutuhan bulan ini. Saya gak bisa “nabung” lagi dong. Pokoknya banyak sekali yang saya pikirkan. Hatiku masih “ngrundel”. Hidupku bakal susah bulan ini.
Keesokan harinya saya megikuti persekutuan doa pagi di kantor. Ada seorang yang teman sharing pengalamannya. Ternyata yang dialaminya mirip dengan yang saya alami. Dia juga berpikir keras tentang masalah keuangannya. Tapi dia ternyata bisa tetap mengucap syukur. Dalam sharingnya dia membandingkannya kehidupannya dengan para tukang becak, pemulung, dan pekerja kasar lainnya. Ternyata masih ada orang di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari hidupnya. Berapa pendapatan para pekerja itu sehari ?. Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhannya ?. Kalo anak-anak mereka minta sesuatu, apakah mereka bisa penuhi ?. Sedangkan dia sendiri yang menerima gaji tetap setiap bulannya, kenapa harus selalu mengeluh.
Saya diingatkan oleh teman tadi. Saya harus selalu mengucap syukur dengan apa saya punya. Mungucap syukur dengan saya alami. Mengucap syukur dengan hidup yang dikaruniakan Tuhan. Kesulitan saya ternyata belum ada apa-apanya dibanding kesulitan yang dialami orang lain seperti pekerja-pekerja tadi. Masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dibanding hidupku.
Makasih Tuhan, Engkau telah mengingatkan aku.
Makasih Puji yang telah sharing.
Tuhan memberkati kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H