Saya pun berpikir agak lama. Hati saya langsung “ngrundel”. “Kok semua mesti aku sih”, Kenapa harus aku yang dimintai ???”. Saya kemudian berhitung.
“Iya, gak apa-apa saya bantu”, jawabku masih dengan hati yang tidak rela.
“Makasih, nak ya. Adikmu menunggu”, balas mama.
“Iya”, jawabku ketus.
“Iya sudah kalo gitu, hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut ya”, suara mama sebelum menutup telponnya.
Saya melanjutkan perjalanan keliling. Sepanjang perjalanan, saya berpikir dan berhitung. Apakah uang saya tersisa masih cukup memenuhi kebutuhan bulan ini. Saya gak bisa “nabung” lagi dong. Pokoknya banyak sekali yang saya pikirkan. Hatiku masih “ngrundel”. Hidupku bakal susah bulan ini.
Keesokan harinya saya megikuti persekutuan doa pagi di kantor. Ada seorang yang teman sharing pengalamannya. Ternyata yang dialaminya mirip dengan yang saya alami. Dia juga berpikir keras tentang masalah keuangannya. Tapi dia ternyata bisa tetap mengucap syukur. Dalam sharingnya dia membandingkannya kehidupannya dengan para tukang becak, pemulung, dan pekerja kasar lainnya. Ternyata masih ada orang di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari hidupnya. Berapa pendapatan para pekerja itu sehari ?. Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhannya ?. Kalo anak-anak mereka minta sesuatu, apakah mereka bisa penuhi ?. Sedangkan dia sendiri yang menerima gaji tetap setiap bulannya, kenapa harus selalu mengeluh.
Saya diingatkan oleh teman tadi. Saya harus selalu mengucap syukur dengan apa saya punya. Mungucap syukur dengan saya alami. Mengucap syukur dengan hidup yang dikaruniakan Tuhan. Kesulitan saya ternyata belum ada apa-apanya dibanding kesulitan yang dialami orang lain seperti pekerja-pekerja tadi. Masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dibanding hidupku.
Makasih Tuhan, Engkau telah mengingatkan aku.
Makasih Puji yang telah sharing.
Tuhan memberkati kita semua.