Mohon tunggu...
Hafid Thoriq Yusroni
Hafid Thoriq Yusroni Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa Prodi Film dan Televisi ISI Surakarta

Mahasiswa Prodi Film dan Televisi - Institut Seni Indonesia Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Industri Kerajinan Gamelan Margo Laras Desa Kauman yang Masih Bertahan di Tengah Arus Modernisasi

30 Desember 2024   15:30 Diperbarui: 30 Desember 2024   15:18 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pusat Kerajinan Gamelan "Margo Laras" Desa Kauman (Sumber: Pribadi)

Pendahuluan

Di tengah lantunan nada gamelan yang dulunya selalu memenuhi setiap sudut desa Kauman, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Magetan, saat ini semakin terasa keheningan yang mendalam. Desa yang dahulu dikenal sebagai pusat pembuatan gamelan yang tersohor, terutama gamelan Margo Laras, kini menghadapi tantangan zaman yang perlahan-lahan mengancam eksistensi kerajinan tradisional ini. Di balik keindahan nada gamelan yang masih ada hingga saat ini, terdapat kisah perubahan yang terjadi mulai dari jumlah pengrajin yang semakin sedikit hingga berkurangnya minat generasi muda terhadap seni budaya yang sebelumnya berkembang pesat. Di tulisan ini, penulis akan mengupas bagaimana Kerajinan Gamelan Margo Laras yang pernah menjadi kebanggaan desa kini berjuang untuk tetap eksis di tengah derasnya arus modernisasi.

Sejarah Singkat Berdirinya Kerajinan Gamelan Margo Laras di Desa Kauman

"Awalnya dari Mbah Joyobroto yang berasal dari Bantul, Yogyakarta. Beliau kesini karena diambil oleh Mbah Putri dari Mbah Dipokromo yang bertempat di Desa Purwodadi. Beliau adalah seorang pengrajin atau panji yang datang kemari dengan membawa tukang ngukir, tukang nglaras gamelan dan sebagainya. Kemudian turun hingga ke rumah-rumah di Desa Kidal (Desa Kauman), sampai turun ke masyarakat sekitar, itu kira-kira sekitar tahun 1840-an. Berjaya di tahun 1970-an, karena perkembangan seni budaya ditingkatkan, apalagi orang transmigrasi tidak ada hiburan, hiburannya ya gong reog, gong campursari, gong bonang kromong tapi ala Madura, Banyuwangi untuk latihan kelompok-kelompok/komunitas tersebut, tetapi terbuat dari besi, sehingga orang-orang tersebut krasan ada kelompok Reog, jaranan untuk memacu hiburan oleh orang-orang transmigrasi. Dan sekarang sistem, karena punya keterampilan akhirnya ditinggalkan oleh generasi sekarang. Pakai mesin, bisa tapi hasilnya nggak bagus." Wawancara dengan Pak Sugiarto, generasi kedua pendiri Kerajinan Margo Laras Desa Kauman.

Walaupun mesin mampu menjalankan sebagian besar proses produksi, kualitas dan keaslian yang dihasilkan oleh pengrajin tradisional yang terampil tetap tidak tertandingi. Di tengah kemajuan teknologi yang cepat, Pak Sugiarto menyatakan bahwa ketertarikan generasi muda untuk meneruskan keterampilan ini semakin menurun, sehingga mengakibatkan masa depan kerajinan gamelan Margo Laras terancam.

Satu Set Gamelan Pesanan yang Siap Dikirim ke Pelanggan (Sumber: Pribadi)
Satu Set Gamelan Pesanan yang Siap Dikirim ke Pelanggan (Sumber: Pribadi)

Kenapa namanya Margo Laras?

Pak Sugiarto menuturkan "Kerajinan Margo Laras kita dirikan pada tahun 1979 semua pengrajin harus punya NPWP perusahaan, harus punya ijin usaha. Jadi saya mendirikan ini dulu liar, turut kebon turut gedek, kalau sekarang kan sudah permanen udah pakai tembok, konstruksinya sudah bagus. Nama "Margo Laras" itu merupakan nama pendiri perusahaan saya, jadi saya minta izin. Dulu itu kalau mau beli timah itu dibantu sama pemerintah, oleh pt timah itu harus punya legalitas. Terus kenapa kok namanya "Margo Laras" itu karena kaitan dengan rasa, bunyi gamelan. Jadi bunyi gamelan itu semua sama, tapi titi laras tidak sama."

Gamelan
Gamelan "Kethuk" yang Siap Dikirim ke Pelanggan (Sumber: Pribadi)

Sistem Produksi Gamelan di Kerajinan Gamelan Margo Laras

Salah seorang pengrajin menjelaskan bahwa di Margo Laras adalah tempat yang menjadikan/membuat gamelan, adapun bahan baku seperti besi didapat dari Solo atau Ponorogo. "Di sini itu istilahnya finishing lah, barangnya ngambil dari Solo kalau nggak Ponorogo." Wawancara dengan Pak Sihok, salah satu pengrajin di Kerajinan Gamelan Margo Laras Desa Kauman

Berbeda dengan dahulu, karena bapak dari penulis ini pernah bekerja di Margo Laras, jadi merasakan perbedaannya. Yang awalnya untuk memproduksi seperti bonang, kenong, kempul dimulai dari 0, kalau sekarang membuatkannya menjadi barang jadi, bukan dari barang mentah semata.

Proses Braso Balungan oleh Pak Sihok (Sumber: Pribadi)
Proses Braso Balungan oleh Pak Sihok (Sumber: Pribadi)

Proses Braso Balungan Gender oleh Pak Sihok (Sumber: Pribadi)
Proses Braso Balungan Gender oleh Pak Sihok (Sumber: Pribadi)
Tantangan dalam Produksi Gamelan di Kerajinan Gamelan Margo Laras

Kerajinan Gamelan Margo Laras menghadapi sejumlah rintangan, terutama akibat meningkatnya harga bahan baku seperti tembaga dan timah. Pak Sugiarto mengungkapkan bahwa harga timah saat ini sudah menembus 600 juta per kilogram, dan terus menerus bertambah. Akibatnya, biaya produksi gamelan jadi sangat mahal, sementara banyak orang masih belum menyadari nilai estetika yang terkandung dalam gamelan yang mahal itu. Situasi ini membuat para pengrajin merasa kesulitan untuk bertahan, dan kadang-kadang memilih untuk menyerah pada keadaan yang ada.

Di samping isu harga bahan baku, masalah legalitas juga menjadi perhatian signifikan. Pengrajin yang ingin beroperasi secara profesional biasanya terhambat oleh kurangnya dokumen resmi seperti CV atau sertifikat keahlian. Sebagai jalan keluarnya, pemilik Margo Laras memastikan bahwa usaha ini memiliki CV dan dokumen legal yang lengkap. Hal ini tidak hanya menjaga usaha tetap berjalan, tetapi juga memberikan fasilitas kepada pengrajin kecil agar mereka bisa terus bekerja dan memperoleh pendapatan.

Untuk menanggulangi tantangan dalam pemasaran, Margo Laras memanfaatkan pendekatan kolaboratif. Pemilik tidak hanya menawarkan gamelan untuk dijual, tetapi juga menyewakannya sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kegiatan usaha. Sistem kolaborasi ini melibatkan banyak rekanan, seperti tukang nglaras, pembuat rancakan, dan tukang pengikir, yang semuanya bekerja bersama untuk menciptakan gamelan yang berkualitas.

Pak Sugiarto juga menekankan adanya ketidakadilan dalam distribusi produk. Sebagai contoh, seorang pengusaha dari Yogyakarta yang memesan gamelan dari pengrajin Magetan, namun transaksi dan pembayaran masih dilakukan di Yogyakarta. Situasi ini merugikan pengrajin lokal yang telah bekerja keras untuk memproduksi gamelan tersebut. Sistem semacam ini, jika dibiarkan terus-menerus, dapat membahayakan keberlangsungan usaha gamelan tradisional.

"Kalau sistemnya kayak gini terus, mending jadi orang tani ke sawah, tinggalkan dan lupakan." ucap Pak Sugiarto.

Satu Set Gamelan yang telah Selesai Dibersihkan (Sumber: Pribadi)
Satu Set Gamelan yang telah Selesai Dibersihkan (Sumber: Pribadi)

Harga Satu Set Gamelan Margo Laras

Peak Sugiarto menyatakan bahwa harga untuk satu set gamelan berkualitas tinggi yang dibuat di tempatnya bisa mencapai 450 juta rupiah, belum termasuk pajak dan biaya lainnya. Harga ini sudah mencakup produk berkualitas unggul, seperti demung dan gempul yang sangat baik. Namun, ketika gamelan tersebut dijual melalui perantara atau pedagang, harganya dapat meningkat hingga 600 juta rupiah.

Perbedaan harga tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk biaya administrasi, pajak, dan biaya tambahan lainnya. Pemilik juga menggarisbawahi bahwa dalam proses lelang, spesifikasi dari gamelan seringkali menjadi masalah yang penting. Terkadang, spesifikasi yang diumumkan dalam lelang tidak sesuai dengan barang yang diterima pembeli. Hal ini sering muncul, kecuali untuk gamelan yang dipesan oleh institusi seperti universitas, di mana spesifikasi seperti berat demung 5 kilogram harus dipenuhi untuk memenuhi keperluan latihan mahasiswa.

Sebagai produsen, Margo Laras berupaya untuk mempertahankan kepercayaan dari konsumen dengan memastikan bahwa gamelan yang dibuat sesuai dengan standar spesifikasi dan kualitas yang dijanjikan. Namun, ada tantangan yang terus dihadapi, terutama dalam memenuhi harapan pasar dan menjaga agar harga tetap bersaing tanpa mengurangi kualitas dari produk.

Gong di Kerajinan Gamelan Margo Laras (Sumber: Pribadi)
Gong di Kerajinan Gamelan Margo Laras (Sumber: Pribadi)

Lamanya Pembuatan Satu Set Gamelan

Pembuatan satu set gamelan di Kerajinan Gamelan Margo Laras memakan waktu sekitar 7 sampai 8 bulan dari awal hingga akhir. Proses produksinya dimulai dari mandai, desain rancakan, sampai tahap finishing. Pak Sugiarto menjelaskan bahwa panjangnya waktu pengerjaan disebabkan oleh kerumitan dalam pembuatan gamelan, terutama karena setiap set gamelan memiliki spesifikasi yang berbeda sesuai dengan permintaan dari pelanggan.

Ketika menerima pesanan dalam jumlah banyak, misalnya 50 atau 35 set dalam waktu singkat, pemilik mengungkapkan bahwa menyelesaikan jenis pesanan tersebut menjadi tantangan jika hanya bergantung pada satu tempat produksi. Oleh sebab itu, strategi yang diterapkan adalah membagi proses pembuatan rancakan ke berbagai lokasi. Contohnya, jika ada pesanan untuk 20 set gamelan, pekerjaan dapat dipisahkan ke 10 tempat, dengan masing-masing lokasi menangani satu unit rancakan dalam waktu 15 hingga 20 hari. Dalam 15 hari terakhir, tahap finishing dilakukan, seperti pengecatan, untuk memastikan setiap gamelan siap pakai.

Pendekatan kolaboratif ini memudahkan dalam memenuhi pesanan besar tanpa mengorbankan kualitas produk. Namun, pemilik tetap menekankan bahwa waktu penyelesaian harus disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran dari pelanggan, mengingat setiap gamelan harus dibuat sesuai dengan spesifikasi yang diminta.

Rancakan di Kerajinan Gamelan Margo Laras (Sumber: Pribadi)
Rancakan di Kerajinan Gamelan Margo Laras (Sumber: Pribadi)
Harapan Perkembangan Gamelan Untuk Ke Depannya

Pak Sugiarto juga berharap perkembangan seni gamelan yang lebih baik dan perhatian yang lebih signifikan dari pihak pemerintah. Ia berpendapat bahwa gamelan bukan sekadar instrumen musik, tetapi juga melibatkan berbagai elemen seni, termasuk pengrawit dan penyanyi. Ia merekomendasikan agar pemerintah memberikan dukungan berupa dana dan fasilitas untuk menghidupkan kembali seni gamelan di berbagai daerah di Indonesia. Dengan adanya bantuan tersebut, komponen-komponen kecil dalam lingkungan gamelan dapat tumbuh dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Ia juga menekankan betapa pentingnya pendidikan untuk menghilangkan anggapan bahwa memainkan gamelan bertentangan dengan kepercayaan atau keyakinan tertentu. Menurutnya, gamelan merupakan bagian dari budaya warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan tanpa memandang perbedaan agama atau keyakinan. Pendidikan dan dukungan yang sesuai dapat membantu generasi muda untuk lebih memahami dan menyayangi seni tradisional ini.

Pak Sugiarto selaku pemilik Margo Laras yakin bahwa dengan dukungan yang tepat, gamelan akan tetap menjadi hal yang relevan dan berkembang sebagai salah satu identitas budaya bangsa. Seni gamelan perlu dihargai sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana pelestarian tradisi dan nilai-nilai mulia.

Penulis: Hafid Thoriq Yusroni

Program Studi Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia Surakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun