Mohon tunggu...
Gusrina Fauzana
Gusrina Fauzana Mohon Tunggu... Guru - Seseorang yang sedang belajar untuk menjadi pribadi yang bermanfaat

Ibu dari tiga orang putra ini memiliki hobi jadi pejuang literasi mengajak para orangtua untuk mengenalkan buku pada anak sedari dini

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

My Journey With Books

7 Maret 2024   21:24 Diperbarui: 7 Maret 2024   21:43 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakaan mini di rumah(sumber : Dokumen Pribadi)

Buku Pertama

Coba ingat-ingat deh, kapan pertama kalinya kamu dibelikan buku bacaan oleh orang tua sewaktu kecil dulu? Kalau ingatan saya tidak salah, pertama kali dibelikan buku oleh orangtua sewaktu kelas 1 SD. Saat itu saya sudah belajar mengeja huruf, dan buku pertama saya adalah dua buah buku tipis bergambar, yang berjudul surga dan neraka. Kamu generasi 80-an pasti tahulah ya buku seperti apa yang dimaksud. 

Hanya buku seperti itu yang bisa dibelikan untuk anak seumuran saya sewaktu itu, kalau lebih besar sedikit lagi, bisa dibelikan buku petruk dan sejenisnya. Buku semacam itupun hanya bisa kami dapatkan sekali seminggu ketika hari pasar. Makanya satu buku bisa dibaca berulang kali sampai hafal isi terceritanya. Dan sampai ingat betul seperti apa mengerikannya gambar-gambar yang ada di buku neraka. 

Apakah disaat itu saya sudah suka membaca? Tentu saja tidak. Apa enaknya membaca dengan mengeja. Apalagi sewaktu itu saya masih berumur 6 tahun, sepertinya bermain tetap lebih menyenangkan daripada memelototi huruf-huruf yang entah apalah maknanya. Kelas 1 dan kelas 2 berlalu masih dengan membaca yang terbata-bata. 

Lancar Membaca

Akhirnya saat saya kelas 3 SD atau berumur 8 tahun, barulah saya bisa lancar membaca. Dan benar disaat kita lancar membaca, apa saja yang dilihat mulai dibaca. Saya mulai mencari buku-buku yang bisa dibaca. Dirumah saya menemukan buku tebal dengan ejaan lama berisi kumpulan sajak dan cerpen. Sedikit kurang dipahami sih, tapi saya baca aja. Lalu ada sebuah buku, entah tentang apa seperti bahasannya terlalu berat, saat saya membacanya ibu saya memergoki. "Wah...ternyata anak ibu sudah lancar membacanya. Besok ibu pinjami buku dari sekolah ya. Di sekolah ibu banyak buku-buku bagus untuk seumuran kamu. Jadi nanti tidak perlu baca sembarangan buku lagi."

Hasrat membaca saya tersalur dengan tepat. Kemampuan membaca saya meningkat pesat, dari membaca yang masih bersuara, saat masih kelas 3 SD saya sudah lancar membaca dalam hati. Dalam sehari-hari bisa beberapa buku yang saya selesaikan. Dan buku-buku yang dibawa ibu pulang tidak selalu buku bergambar. Kebanyakan malah buku yang gambarnya hanya satu dua saja. Dan saya lebih menyukai buku tanpa gambar karena ceritanya lebih panjang. Buku yang paling saya sukai waktu itu adalah buku petualangan. 

Buku-buku balai pustaka yang dipinjamkan ibu dari sekolah (sumber : toko online di shopee)
Buku-buku balai pustaka yang dipinjamkan ibu dari sekolah (sumber : toko online di shopee)

Saya waktu itu benar-benar gila baca. Sepanjang hari saya habiskan hanya untuk menyelesaikan buku-buku yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah. Bahkan saat kekamar mandi untuk BAB pun buku tetap dibawa, memanfaatkan waktu mengejan yang cukup lama, dengan menyelesaikan beberapa paragraf yang ceritanya masih gantung dan bikin penasaran. Sesuatu yang sekarang tidak dianggap tabu lagi, saat hp selalu dicari saat ada yang mau ngeden di kamar mandi. Ayo ngaku siapa yang seperti itu, hehe... 

Jangan tanya majalah bobo ya, saya baru berkenalan dengan bobo saat kelas 6 SD. Itu pun boleh dipinjam dari teman sekelas yang ayahnya sering bepergian ke ibukota provinsi. Satu-satunya, cerita update terkini yang bisa saya dapat hanyalah dari koran Singgalang yang kebetulan ayah saya sempat berlangganan. Tapi tak banyak hal menarik yang bisa ditemukan oleh seorang anak SD dalam sebuah koran harian. 

Buku trio detektif (sumber : toko allforyou di shopee)
Buku trio detektif (sumber : toko allforyou di shopee)

Saat SMP, level bacaan saya meningkat drastis. Semua koleksi buku fiksi di perpustakaan sudah saya baca semua. Kebanyakan itu adalah buku berseri trio detektif yang ditulis Alfred Hitchcock, dan sisanya hanya buku teks pelajaran. Akhirnya saya beralih ke lemari buku kakek saya, yang hanya bisa dipinjam saat kakek nginap kerumah. Kakek mulai mengoleksi buku setelah beliau pensiun. Beliau membeli buku dari penjual keliling yang datang ke rumah sekali sebulan. Bukunya pun level tinggi, seperti Riyadlus Sholihin, Tanbihul Ghafilin, Durratun Nashihin, dan buku sejenis lainnya. Saat liburan sekolah saya bisa menyelesaikan satu buku tebal itu. Dan mungkin inilah yang membuat pengetahuan agama saya bisa diadu dengan anak madrasah, hehe... Dan efek positifnya, sejak SMP, meski bukan berasal dari keluarga yang paham agama, karena sudah membaca buku agama, saya mulai belajar menunaikan shalat lima waktu tanpa bolong-bolong. 

Akibat Buku

Disekolah kemampuan saya meningkat pesat. Perbendaharaan kosakata saya bertambah banyak. Kata-kata baru yang teman seumuran saya mungkin baru mendengarnya, saya bahkan sudah mengerti makna kata tersebut. Kemampuan akademik saya pun naik ke level teratas. Sewaktu kelas 1 SD, saya hanya rangking 11. 12 dan 14. Saat itu kami masih caturwulan, sehingga ada 3x penerimaan raport dalam setahun. Sewaktu kelas dua, saya juara 1 tiga kali berturut-turut, begitu pun ketika di kelas tiga. Awalnya saya kira saya bisa juara karena saya pindah ke sekolah yang berbeda, yang tingkat persaingannya tidak seperti sekolah saya sebelumnya. Namun saat kelas 4 SD, saya dipindahkan kembali ke sekolah sebelumnya, meskipun lebih jauh dari rumah. Alasannya karena adik-adik saya semua bersekolah disana, jadi untuk memudahkan orang tua biar sekalian diantar semuanya. 

Siapa yang menyangka, anak pendiam dan pemalu sewaktu kelas 1 dulu datang dengan percaya diri dan suara yang lantang saat menjawab pertanyaan dari guru. Caturwulan pertama saya rangking 4, kemudian rangking 2, kemudian rangking 3. Masih kurang percaya aja gurunya, anak baru, pindahan dari SD kampung bisa ngalahin teman-teman yang sejak kelas satu, sudah berada disana di SD favorit se kecamatan itu. Hehe... 

Lalu akhirnya, saya dipilih untuk mewakili sekolah bersama dua kakak kelas lainnya mengikuti lomba cepat tepat tingkat kabupaten. Dan kami menang sehingga lanjut ke tingkat provinsi. Berturut-turut setelah itu saya terpilih menjadi siswa teladan tingkat kabupaten. Berlanjut saat SMP, kemudian SMA, selain juara umum 1 setiap penerimaan raport, berbagai prestasi juga saya torehkan setidaknya setingkat kabupaten. Hingga saat kuliah, meskipun hanya di universitas negeri di kota provinsi, namun saya diterima disana karena lulus tes penerimaan mahasiswa baru yang diadakan serentak seluruh Indonesia. 

Bukan pamer prestasi niat saya disini. Namun betapa buku telah mengubah saya dari anak kecil pendiam dan gampang dibodohi, menjadi seseorang yang prestasinya bisa membawa nama sekolah. Berpetualang kemana-mana melalui jendela dunia, membuat wawasan saya luas seluas buku-buku yang pernah saya baca. Bukulah yang membawa saya jauh berkelana berkeliling dunia. Terbiasa membaca buku-buku menarik beragam rupa, membuat buku teks pelajaran dengan bahasa kaku dan membosankan itu menjadi lebih mudah untuk dicerna. 

Saya bukan anak jenius dengan IQ diatas normal. Saya anak biasa saja, yang punya banyak pengetahuan karena suka membaca buku. Apalagi di zaman itu belum ada internet, sumber belajar hanyalah dari buku dan penjelasan guru. Beruntungnya saya karena orangtua selalu membelikan saya buku teks pelajaran lengkap semua mapel sejak masih SD sampai saya kuliah. Itulah satu-satunya fasilitas yang saya miliki untuk mengoptimalkan kemampuan standar ini. 

Pustaka mini

Saya mulai mengoleksi buku sendiri sejak kuliah di kota provinsi. Selain toko buku ada dimana-mana, juga seringnya bazaar di kampus dengan harga miring yang cukup terjangkau oleh mahasiswa. Apalagi dengan saya tinggal ngekos dan diberi belanja bulanan, saya selalu berusaha menyisihkan uang jajan untuk membeli setidaknya satu buku dalam sebulan. Kadang-kadang saat ada book fair di pusat kota, banyak penerbit dari Jakarta memberikan diskon besar-besaran, sehingga saya kalap berbelanja. Maka solusi satu-satunya saya harus mencari uang tambahan, dengan mengajar les privat pada anak sekolah. Profesi sambilan mahasiswa yang cukup menggiurkan namun juga mengasah kemampuan. 

Pustaka Mini (Sumber : dokumen pribadi)
Pustaka Mini (Sumber : dokumen pribadi)

Disanalah perpustakaan mini saya dimulai, satu persatu buku di rak terus bertambah. Sempat terhenti saat saya selesai kuliah dan bekerja jadi guru honorer di sekolah dekat rumah. Terhenti karena memang tidak ada toko buku disana, namun jika sesekali berkunjung ke kota provinsi dan bisa singgah ke toko buku, setidaknya satu buku akan terbawa pulang. 

Harta Berharga

Kami bukanlah keluarga yang berada. Ayah dan Ibu hanya guru sekolah dasar, yang lebih mengutamakan pendidikan. Kami tidak punya apa-apa, tapi jika menyangkut buku sekolah pasti selalu diusahakan. Begitupun saya, saat punya kelebihan uang, bukan baju baru, sepatu baru atau perhiasan yang saya beli, tapi buku. Melulu buku. Jika saya punya tabungan, saat ada book fair pasti langsung ludes semua berganti dengan tumpukan buku. Maka tak ayal lagi bukulah harta saya paling berharga. Koleksi yang cukup membanggakan disaat itu. 

Disaat saya pindah kos, pindah tempat kerja, bahkan saat saya merantau ikut suami ke pulau Jawa, buku-buku itu selalu saya bawa. Bahkan mahar saat menikah adalah dua kardus buku Tafsir Fi-Zhilalil Quran edisi lengkap, yang membuat koleksi saya meningkat drastis. 

Saat menetap dipulau ini saya dan suami berlangganan tabloid intisari selama dua tahun, cukuplah untuk bahan bacaan setiap bulannya. Kemudian ketika punya anak pertama, saya awalnya iseng mencari-cari mainan edukasi untuk anak bayi. Dan tersasar saya dengan buku bantal atau buku kain. Sangat menarik memang, bukunya terbuat dari kain yang ada gambar dan ceritanya. Berisikan dakron sehingga terasa empuk. Buku itu saya belikan saya si sulung belum genap berusia 6 bulan. Setiap hari satu buku selalu tersedia di walkernya, sehingga setiap diajak ber jalan-jalan oleh neneknya, atau oleh siapapun yang mengajaknya bermain akan otomatis siap membacakan buku untuknya. 

Si sulung dan adiknya dibacain buku(sumber : dokumen pribadi)
Si sulung dan adiknya dibacain buku(sumber : dokumen pribadi)

Ada 8 buku kain bertema binatang yang saya beli ketika itu, dengan harga 375.000 untuk 8 buku. Sangat worth it lah, karena bukunya awet, bisa dicuci, menarik dan pastinya sangat aman saat dipegang sikecil. Namun hanya 6 buku yang menjadi koleksi si kecil, karena dua bukunya dibeli tetangga gara-gara kepengen juga punya buku seperti milik si sulung. Disanalah jiwa orang minang saya bergejolak. Dengan harapan bisa menambah koleksi buku kain si sulung dari keuntungan jualan, mulailah saya berjualan buku bantal menggunakan media sosial. Cukup laris ketika itu, karena ternyata tidak banyak yang tahu dengan buku kain, jadilah teman-teman seangkatan bahkan kakak dan adik kelas yang rata-rata berstatus ibu muda, menjadi pelanggan saya. 

Mungkin karena pencarian saya di google hanya bertema buku dan mainan edukasi, maka bermuaralah saya pada buku halo balita. Buku yang menarik, karena dirancang dengan tema-tema yang sesuai dengan tahapan usia si kecil, membuat saya berharap suatu saat bisa menghadirkannya untuk si sulung. Harganya yang lumayan menguras kantong untuk satu paketnya, membuat saya harus menabung sambil memutar otak mencari cara. Mengandalkan keuntungan jualan buku kain, pasti tidak akan cukup, karena target awalnya hanya untuk menambah koleksi buku anak secara gratis. 

Ketika si sulung berusia 11 bulan kurang, dan di perut sudah ada bayi 7 bulan, alhamdulillah tabungan pertama saya cukup untuk meminang satu paket buku halo balita. Harganya yang fantastis menghabiskan gaji satu bulan, membuat keputusan saya bulat untuk bergabung menjadi book advisor mandira. Mulailah saya berkenalan dengan buku-buku premium dari Mandira, yang ternyata makin banyak tahu semakin jadi pengen semua buku-buku itu, hehe... 

Alhamdulillah, dengan menyisihkan komisi penjualan buku, plus keuntungan penjualan clodi (oh iya, saya juga sempat jadi distributor clodi sebuah merek), akhirnya perpustakaan mini untuk anak-anak kesampaian sudah. Lengkap koleksi dari Mandira, saya beralih ke buku-buku Tigaraksa. Semua buku, mainan edukasi bahkan perlengkapan memasaknya pun, beberapa bisa dimiliki. Lengkap koleksinya, saya berpindah lagi ke Sigma Daya Insani, alhamdulillah semua yang diterbitkan saat itu sudah berpindah ke rak buku anak-anak. 

Step by step menuju perpustakaan impian (sumber : dokumen pribadi)
Step by step menuju perpustakaan impian (sumber : dokumen pribadi)

Jika ditanya sekarang, tentu saja ada buku baru yang selalu terbit setiap tahunnya. Tapi disaat si sulung mulai sekolah, kemudian disusul ditengah, dan sekarang ketiganya sudah bersekolah semua, saya tidak sempat lagi berbagi kabar tentang buku-buku yang lagi diskon, promo atau sebagainya. Selain koleksi anak-anak sudah cukup lengkap, adapun keluar buku baru, kebanyakan peruntukannya untuk balita, yang anak-anak sudah melewati masa itu. 

Sekarang disaat fokus memikirkan dan merencanakan keuangan untuk sekolahnya, alhamdulillah disaat mereka sudah memasuki tahapan fasih membaca, dimana tahapan ini butuh buku-buku untuk menyalurkan keinginan membaca, anak-anak tinggal memilih buku mana yang mau mereka baca. Jangan sampai mereka asal pilih buku, asal ketemu buku, asal bisa membaca, sehingga tak jarang bertemu buku yang belum saatnya dibaca oleh anak sekolah dasar. Jangan sampai seperti kami kecil dulu, kelas satu SD sudah berkenalan buku petruk, buku wiro sableng, mungkin bahkan novel mira W, dan sebagainya. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan buku-buku itu. Hanya saja peruntukannya bukan untuk anak SD yang baru bisa membaca. 

Tumbuh Kembang

Anak sulung saya suka buku. Suka sekali dibacakan buku. Satu-satunya kondisi yang membuat dia bisa diam duduk anteng hanyalah saat berinteraksi dengan buku. Apakah itu dibacakan, atau bermain sendiri membolak balik halaman seolah-olah sudah bisa membaca. Namun saat tak ada buku, siap-siap untuk selalu waspada, karena si sulung akan bergerak kian kemari, melompat berlari kesana kesini seakan energinya selalu ada tak pernah habis. 

Si sulung suka buku dan selalu dibacakan buku sebelum tidur sejak usia 6 bulan hingga sekarang usianya 8 tahun 8 bulan. Tapi sebelum usianya genap 4 tahun, tak banyak kata yang terucap dari mulutnya. Kami sempat curiga si sulung speechdelay, tapi mencoba mengabaikan karena belum siap dengan vonis dokter. Namun akhirnya, saat usianya tepat 4 tahun, dan adiknya yang no. 3 lahir, kata-kata begitu lancar keluar dari mulutnya. Sangat teratur dan kaya kosakata dengan nada yang santun, seperti bahasa dalam buku favoritnya. Sehingga si sulung kami juluki "anak halo balita".

Saat si sulung usia 6 tahun, kami mulai menyekolahkannya di TK B, dengan harapan saat usianya tepat 7 tahun barulah masuk kelas 1 SD. Namun disaat dia bersekolahlah mulai terdeteksi tumbuh kembangnya yang banyak bolong stimulasinya. Pikir positif kami mungkin ini karena efek jaraknya yang terlalu dekat dengan adik sehingga tidak optimal pendampingan tumbuh kembangnya. Kami mendapatkan banyak Pekerjaan Rumah demi mengejar ketertinggalannya. Mulai harus terapi ke rumah sakit tumbuh kembang anak 2x seminggu, terapi khusus dengan psikolog, termasuk pendampingan unit pelayanan khusus dari sekolahnya. Sungguh-sungguh sangat menyita waktu, tenaga dan biaya yang luar biasa. Si sulung sulit fokus, si sulung sulit mengucapkan beberapa huruf tertentu, dan si sulung sulit mengontrol geraknya. Sulit menerima vonis seperti itu, meski yang mengatakan hanya satu dari tiga dokter anak yang kami datangi. Rasa tidak terima dan tidak percaya ini, muncul karena selama ini saya sudah berusaha maksimal selama tumbuh kembangnya. Kenapa masih ada aja yang miss, kenapa ada yang terlewat. Hingga akhirnya kami sadar, memang ada yang kurang sedari awal yang sempat terlupakan. 

Sekarang sudah jalan tiga tahun. Meski masih dipantau oleh unit pelayanan khusus di sekolahnya, alhamdulillah tidak perlu terapi ke rumah sakit lagi. Cukup pendampingan dari orangtua dirumah untuk sering-sering mengajaknya main, mengejar ketertinggalan motorik kasar dan motorik halusnya, karena sewaktu kecil jarang di lepas main di lapangan, jarang bermain dengan teman seusia, karena sama-sama maklumlah anak kota main nya dirumah aja. Dan beginilah hasil akhirnya. 

Sempat merasa usaha membacakan buku sedari kecil menjadi sia-sia belaka. Mana yang katanya membacakan buku membuat anak fokus dan melatih konsentrasi? Mana yang katanya membacakan buku sedari dini bisa meningkatkan kemampuan akademik? Selain sibuk mengantar si sulung terapi ke sana sini, alasan ini juga membuat saya akhirnya mundur teratur dari dunia perbukuan anak. Merasa gagal pada anak sendiri, menjadi khawatir jika kata-kata selama ini nyatanya tidak terbukti. 

Alhamdulillah rasa itu hanya bercokol sebentar saja. Saat si sulung akhirnya bisa mengejar ketertinggalannya dan layak masuk SD sesuai umurnya,  kemudian saat diskusi raport bakat dengan gurunya, barulah saya bisa bernafas lega plus ada rasa bangga di dada. Meskipun si sulung memiliki ketertinggalan dari teman-temannya, ternyata si sulung memiliki perbendaharaan kosakata melampaui teman-teman seumurannya. Kemampuannya berbahasa dan rasa percaya diri yang tinggi, membuat dia berani mengajukan diri menjadi pembawa acara saat pentas drama di kelasnya. Padahal masih ada pengucapan hurufnya yang masih belum jelas, namun cara si sulung berbicara di depan umum, membuat saya ikut takjub mengakui kemampuannya. 

Koleksi buku di rumah kami (sumber : dokumen pribadi)
Koleksi buku di rumah kami (sumber : dokumen pribadi)

Kepercayaan diri saya pulih kembali. Ternyata cara saya mengenalkan buku sedari dini pada si kecil banyak membantu dalam proses tumbuh kembangnya. Mungkin benar si sulung menderita speech delay, tapi karena setiap hari kita selalu membacakan buku dan dia merekam semua cerita yang dibacakan, membuat si sulung akhirnya bisa bicara  meskipun terlambat dan dengan kemampuan seadanya. Dan karena selalu dibacakan buku, kemampuan bicara itu akhirnya bisa melejit bahkan melebihi teman-temannya. 

Memang PR kami masih banyak untuk si sulung, tapi alhamdulillah kesukaannya membaca sangat membantu kami mempercepat kemajuannya. Mungkin secara sosial emosional banyak yang harus kami kejar, namun untuk perkara akademik dan kemampuan kognitif InsyaAllah kami tak perlu khawatir lagi. Sekarang tugas kami perbanyak bermain bersama keluarga. Perbanyak aktifitas fisik, dan stimulasi motorik kasarnya. Saat tumbuh kembang yang bolong-bolong itu terbayar semua, setidaknya si sulung sudah punya modal untuk fokus melejitkan kemampuannya. InsyaAllah kesukaannya dengan buku akan banyak membantu hidupnya untuk kedepan. Aamiin...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun