Namun bagaimana jika ditawarkan untuk memberikan hadiah buku pada anaknya? Maka sebuah jawaban klasik akan terdengar, "Nanti saja, tunggu anaknya bisa membaca dulu".
Kenapa saya bilang alasan klasik? Karena itu jawaban yang tepat sekian puluh tahun yang lalu disaat terbatasnya kita pada akses bahan bacaan. Kala itu, buku bacaan hanya bisa diakses di perpustakaan sekolah. Dan itupun tidak selalu dipinjamkan.
Saya selalu ingat ketika SD dulu, guru baru akan mengeluarkan buku bacaan sebagai pengisi waktu jika guru yang mengajar berhalangan hadir. Dan selalu buku yang menjadi rebutan adalah buku yang bergambar dan berwarna-warni. Padahal waktu itu kami sudah kelas 4 atau kelas 5 SD.Â
Saat itu kami belajar membaca dulu, belajar mengeja huruf dulu, barulah akhirnya kami dikenalkan dengan buku. Maka tahap membaca kami dimulai di kelas dua SD.
Di saat itu kita akan membaca tulisan yang terlihat dengan keras-keras. Setiap bertemu rangkaian huruf seolah tersetting untuk langsung membaca.Â
Setelah bisa membaca, kami langsung dihadapkan dengan buku teks pelajaran, yang sangat-sangat tidak menarik untuk dibaca.
Satu-satunya buku teks pelajaran yang disukai, hanyalah buku teks bahasa Indonesia, karena didalamnya banyak ditemukan potongan-potongan cerita.
Jadi, tidak heran dong, kenapa minat baca anak menjadi rendah, karena ketika sudah bisa membaca tidak diperkenalkan dengan buku bacaan yang menarik.Â
Bagaimana jika alurnya kita balik, kenalkan dengan buku dulu, baru akhirnya belajar membaca. Apakah bisa? Tentu saja bisa. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan saja kita sudah bisa membacakan mereka buku.
Lalu berlanjut mengenalkan mereka dengan bentuk fisik buku. Apalagi di saat sekarang banyak sekali jenis buku yang sudah aman jika dipegang oleh bayi. Sehingga tidak indera pendengaran saja yang kita stimulasi dengan cerita, tapi mata dan indra perabanya juga sudah kita ajak berkenalan dengan sisi terbaik dari sebuah buku.Â