Mohon tunggu...
Gusrina Fauzana
Gusrina Fauzana Mohon Tunggu... Guru - Seseorang yang sedang belajar untuk menjadi pribadi yang bermanfaat

Ibu dari tiga orang putra ini memiliki hobi jadi pejuang literasi mengajak para orangtua untuk mengenalkan buku pada anak sedari dini

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Anak Malas Membaca? Bisa Jadi Kita Salah Urutan Saat Mengenalkan Mereka dengan Buku

6 Maret 2024   18:42 Diperbarui: 7 Maret 2024   09:44 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Literasi

Memaknai kemampuan literasi tidak terbatas pada kemampuan membaca dan menulis saja, tapi lebih luas lagi pada kemampuan seseorang untuk meningkatkan pengetahuannya agar mampu mengatasi permasalahan sehari-hari. Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan.

Apalagi di tengah perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini. Semua informasi bahkan sudah berada di genggaman tangan. Tinggal memilih dan memilah informasi mana yang sesuai dengan kebutuhan. 

Sekali lagi, literasi bukanlah semata-mata tentang membaca dan menulis. Namun bagi anak-anak usia dini, tentu saja membaca dan menulis adalah kemampuan literasi pertama yang harus mereka pelajari.

Sesuai urutannya, membaca lebih dahulu dibandingkan menulis, karena kemampuan menulis butuh kesiapan skill motorik halus yang selalu distimulus di lima tahun pertama mereka.

Namun kemampuan membaca sudah bisa mereka gunakan sejak mata dan telinga sudah berfungsi. Maka makna membaca disini tidak sekadar merangkai dan mengeja huruf saja. 

Tiga balita bermain bersama buku (Sumber @pustakazarin)
Tiga balita bermain bersama buku (Sumber @pustakazarin)

Berkenalan dengan buku

Lalu sejak kapan anak-anak bisa belajar membaca? Coba ingat-ingat deh, sepanjang sikecil melewati masa lima tahun pertamanya, atau lebih sering disebut sebagai masa golden age sudah berapa banyak buku yang kita bacakan untuk mereka? Jika disuruh memilih hadiah untuk si kecil, hadiah seperti apa yang dominan di pilih? 

Berdasarkan survei yang saya lakukan saat aktif berjualan mainan edukasi dan buku anak, kebanyakan orangtua akan cenderung memilih mainan edukasi ketimbang buku meskipun harganya tidak jauh berbeda.

Alasannya sederhana, jika memilih buku maka orangtua harus menyediakan waktu untuk membacakannya, sedangkan mainan, tinggal diajarkan cara mengoperasikannya, lalu anak bisa ditinggal untuk bermain sendiri.

Tentu saja ini menjadi pilihan yang tepat bagi kebanyakan orang tua yang memang menghabiskan waktu bekerja di luar, dan tidak punya cukup waktu untuk mendampingi tumbuh kembang anaknya. 

Namun bagaimana jika ditawarkan untuk memberikan hadiah buku pada anaknya? Maka sebuah jawaban klasik akan terdengar, "Nanti saja, tunggu anaknya bisa membaca dulu".

Kenapa saya bilang alasan klasik? Karena itu jawaban yang tepat sekian puluh tahun yang lalu disaat terbatasnya kita pada akses bahan bacaan. Kala itu, buku bacaan hanya bisa diakses di perpustakaan sekolah. Dan itupun tidak selalu dipinjamkan.

Saya selalu ingat ketika SD dulu, guru baru akan mengeluarkan buku bacaan sebagai pengisi waktu jika guru yang mengajar berhalangan hadir. Dan selalu buku yang menjadi rebutan adalah buku yang bergambar dan berwarna-warni. Padahal waktu itu kami sudah kelas 4 atau kelas 5 SD. 

Saat itu kami belajar membaca dulu, belajar mengeja huruf dulu, barulah akhirnya kami dikenalkan dengan buku. Maka tahap membaca kami dimulai di kelas dua SD.

Di saat itu kita akan membaca tulisan yang terlihat dengan keras-keras. Setiap bertemu rangkaian huruf seolah tersetting untuk langsung membaca. 

Setelah bisa membaca, kami langsung dihadapkan dengan buku teks pelajaran, yang sangat-sangat tidak menarik untuk dibaca.

Satu-satunya buku teks pelajaran yang disukai, hanyalah buku teks bahasa Indonesia, karena didalamnya banyak ditemukan potongan-potongan cerita.

Jadi, tidak heran dong, kenapa minat baca anak menjadi rendah, karena ketika sudah bisa membaca tidak diperkenalkan dengan buku bacaan yang menarik. 

Bagaimana jika alurnya kita balik, kenalkan dengan buku dulu, baru akhirnya belajar membaca. Apakah bisa? Tentu saja bisa. Bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan saja kita sudah bisa membacakan mereka buku.

Lalu berlanjut mengenalkan mereka dengan bentuk fisik buku. Apalagi di saat sekarang banyak sekali jenis buku yang sudah aman jika dipegang oleh bayi. Sehingga tidak indera pendengaran saja yang kita stimulasi dengan cerita, tapi mata dan indra perabanya juga sudah kita ajak berkenalan dengan sisi terbaik dari sebuah buku. 

Buku balita yang aman digigit (sumber @pustakazarin)
Buku balita yang aman digigit (sumber @pustakazarin)

Ibarat kita akan berkenalan dengan seseorang, biasanya orang yang akan mengenalkan lebih dahulu menceritakan hal-hal menarik tentang seseorang tersebut, sehingga kita menjadi antusias bahkan tidak sabaran ingin segera bertemu.

Namun apa yang terjadi jika cerita yang kita dapatkan tentang seseorang itu adalah hal-hal yang menjemukan dan membosankan, pastinya kita tidak terlalu bersemangat bahkan jadi enggan saat berjumpa nantinya. 

Sama hal nya dengan buku, disaat kita baru lancar membaca, tapi bahan bacaan yang ditemukan disekitar kita melulu buku pelajaran, bukan hal yang aneh, jika aktivitas membaca bukan sesuatu yang menarik lagi.

Tapi jika disaat sudah bisa membaca, kita bertemu banyak buku bacaan, buku cerita, kisah petualangan, maka semua kita akan setuju bahwa membaca  adalah jendela dunia.

Bacakan Buku

Jika sejak bayi, bahkan sejak di dalam perut sudah terbiasa dibacakan buku, maka hal itu akan meningkatkan kemampuan bahasa dan kognitif, juga menambah perbendaharaan kata dan mengasah perkembangan konseptual anak.

Sederhananya anak yang biasa dibacakan buku sedari kecil, kemampuan berbahasanya setingkat lebih tinggi dari anak seumurannya, karena kosakata yang didengar tidak saja kosakata percakapan sehari-hari, tapi banyak kata-kata baru yang selalu berbeda dari setiap buku. 

wajah antusias si kecil saat dibacakan buku (sumber @pustakazarin)
wajah antusias si kecil saat dibacakan buku (sumber @pustakazarin)

Pada akhirnya, dengan terbiasa dibacakan buku cerita, buku bergambar, buku kisah-kisah petualangan, dan berbagai jenis bentuk buku menarik lainnya, diharapkan disaat mereka bersekolah nanti, ketika bertemu dengan buku teks pelajaran dengan bahasa yang kaku, mungkin akan menjadi tantangan baru bagi mereka, dan jiwa eksplorasi mereka akan berusaha menaklukkannya.

Meskipun terdengar mudah, ternyata membacakan buku adalah aktivitas sangat sulit untuk bisa konsisten melakukannya.

Saya yang sudah terbiasa membacakan buku sejak anak pertama berumur 6 bulan dan adiknya sudah ada di dalam kandungan, dan masih dilakukan hingga sekarang disaat mereka sudah berumur 8 dan 7 tahun, plus adiknya yang masih 4 tahun, terkadang masih terasa sulit untuk meluangkan waktu untuk membacakan buku sebelum tidur.

Halangan paling sulit bagi saya adalah menahan kantuk. Padahal anak pertama dan kedua sudah bisa membaca buku sendiri lho, tapi tetap saja membacakan cerita menjadi salah satu rutinitas wajib yang harus dilakukan sebelum tidur. Bahkan disaat semua buku-buku yang mereka miliki sudah dibacakan semua, dan kini beralih pada buku-buku digital yang tersedia gratis di ipusnas.

Sebuah kabar baik tentunya bagi kita yang selama ini tidak memiliki akses  bahan bacaan pada anak. Cukup bermodalkan gadget dan akses internet, membuat kita bisa membacakan bermacam buku cerita untuk si kecil.

Banyak pilihan yang tersedia, mulai dari buku-buku di ipusnas, buku-buku digital yang bisa didapatkan dengan mudah. Dan akhirnya kembali pada kita orangtuanya, sejauh mana usaha kita untuk rutin membacakan buku cerita sedari dini.

Sediakan Buku 

Terbiasa dibacakan buku cerita setiap hari, akan ada masanya anak-anak penasaran dengan bentuk buku itu sendiri. Jika kita membayangkan buku sebagai kumpulan kertas yang tipis dan mudah robek, maka bukan pilihan tepat mengenalkan buku kepada anak sejak usia dini.

Namun pesatnya kemajuan teknologi informasi saat ini, ternyata bentuk-bentuk buku mulai disesuaikan dengan usia. Bahkan untuk usia bayi yang belum bisa duduk sekalipun, sudah ada jenis buku yang bisa mereka pegang, mereka gigit, mereka remas, mereka pencet dan tentu saja ada gambar dan cerita yang bisa dibacakan dari sana.

Mengenalkan anak dengan jenis buku yang sesuai dengan tahapan usianya, akan membuat anak berkenalan dengan buku secara baik dan menyenangkan.

Buku yang dominan gambar dan sedikit tulisan bisa menjadi pilihan tepat saat si kecil sudah mulai menunjukkan ketertarikannya untuk membaca. 

Tentu saja membaca disini bukanlah mengeja huruf yang terdapat disana, tetapi lebih kepada membaca gambar dan memaknai aktivitas yang terlihat secara visual, yang kemudian mulutnya akan menceritakan dengan semua kosakata yang sudah pernah diperdengarkan. 

Buku yang mudah diakses (sumber @pustakazarin)
Buku yang mudah diakses (sumber @pustakazarin)

Memajang koleksi buku-buku yang dimiliki pada rak kecil yang mudah terjangkau oleh anak, juga menjadi stimulus pada minat baca anak. Gambar-gambar menarik yang terlihat pada cover buku, akan membuat anak tertarik untuk mendekatinya, meraihnya, lalu tertarik untuk membolak-balik. 

Bahkan untuk beberapa jenis buku, anak-anak akan tertarik untuk menyusunnya menjadi mainan. Boleh-boleh saja, karena makna buku untuk si kecil tidak lagi terbatas pada bahan bacaan, tetapi suatu benda yang selalu menemaninya sepanjang hari. Sebuah awal yang bagus untuk menjadi buku sebagai teman dalam perjalanan hidup nantinya.

Malas belajar vs malas membaca

Di sekolah, malas membaca akan berbanding lurus dengan malas belajar. Bagaimana tidak, disaat belajar, mau tidak mau mereka harus membaca. 

Meskipun banyaknya sumber informasi yang tersedia dalam video, tetap saja aktivitas membaca tidak bisa lepas dari sana. Setidak-tidaknya adalah membaca instruksi dari soal yang diberikan guru. Namun karena tidak terbiasa 

mentransformasi makna sebuah kata, maka otak sedikit susah mencerna, yang ujungnya berakhir dengan tidak melakukan apa-apa. Apalagi jika kegiatan membaca bukan hal yang familiar bagi mereka, tentu memaknai buku pelajaran dengan bahasa yang kaku dan butuh penafsiran mendalam menjadi sebuah usaha yang sulit bagi mereka. Sehingga malas belajar terlabel secara tidak langsung.

Jika sedari kecil kebiasaan membaca sudah mulai ditanamkan, maka di saat anak-anak memasuki usia sekolah, dimana membaca buku pelajaran menjadi keniscayaan, baik berbentuk buku fisik maupun berbentuk e-book, tidak lagi menjadi momok yang membosankan.

Dan tentu saja semua usaha ini berawal dari orangtua dan keluarga dirumah. Sedangkan sekolah tinggal mengembangkan kemampuan membaca tersebut ke level yang lebih tinggi sesuai tingkatan usianya. 

Jika membaca sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan baik yang perlu ditanamkan sedari dini, dan setiap keluarga sepakat untuk memulainya dari rumah, saya rasa tidak akan ada lagi istilah anak malas yang akan terdengar di sekolah.

Apalagi jika literasi tidak sekadar membaca dan menulis saja, maka rasa keingintahuan mereka harusnya akan tersalurkan dengan mencari tahu banyak hal melalui beragam sumber informasi yang tersedia dalam berbagai bentuk media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun