Mohon tunggu...
Abdul Ghofar
Abdul Ghofar Mohon Tunggu... Operator - Menulis mengisi waktu mengungkap rasa

Santai

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pangkas Rambut

4 November 2023   15:10 Diperbarui: 4 November 2023   15:17 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangkas rambut, sudah kelihatan tidak rapi dan apalagi warna putih yang tidak merata semakin menambah kesan kusut.

Siang ini dibawah terik matahari saya putar gagang gas motor saya dengan pelan dan lembut.

Mesinpun dengan lembut menarik roda belakang untuk berputar menyelaraskan dengan operan gigi, satu dua dan gigi ketiga.

Berjalan pelan dibawah terik matahari, menuju tempat pangkas rambut berkah yang tidak terlalu jauh dari rumah.

Agak mendung, tapi cerah, masih terasa sisa hujan yang tidak terlalu lebat dan tidak juga terlalu lama kemarin sore, lumayanlah untuk awalan setelah lama tidak hujan.

Hari ini minggu, pantas jalan padat, bahkan hanya untuk menyeberang masuk jalan saja harus beberapa detik menunggu celah.

Tidak berapa lama saya sampai ke tempat pangkas rambut yang saya tuju.

Kebetulan kosong, tidak antri menunggu yang kadang membuat jenuh.

Segera saya dipersilakan duduk.

"Pendek pak?"

"Ya rapikan ya."

Segera tukang pangkas rambut yang masih muda itu memasang selimit dibadan saya dan meletakkan handuk dibagian leher saya.

Diambil alat cukur elektrik dan sisir, daan segera dieksekusi.

Tanpa banyak bicara langsung dia potong dengan cepat trengginas, cukup lincah pergerakan tangannya.

Setelah kurang dari sepuluh menit ternyata sudah selesai, "Dokerok Pak?" Tanya dia.

"Tidak usah biar begitu saja."

Ketika pangkas rambut, hal yang paling saya khawatirkan adalah proses pengerokan, karena terkadang kita tidak tahu silet yang dipakai itu sudah dipakai berapa kali, berapa kepala yang tentunya sangat riskan terhadap penularan penyakit. Meski saya tahu ditempat ini selalu ganti silet baru.

Hanya perasaan saya yang sudah terlanjur tidak mau membiasakan diri untuk dikerok ketika pangkas rambut dimanapun, sehingga saya menolak dikerok.

Akhirnya sisi ujung rambut dirapikan saja dengan alat cukur elektronik yang kecil sehingga nampak lebih rapi.

Pangkas Rambut. Dokpri
Pangkas Rambut. Dokpri

Lalu tukang pangkas rambut muda itu mengambil botol dan diteteskan minyak dari dalam botol itu ketelapak tangannya.

Digosokkan sebentar sehingga rata dipermukaan kedua telapak tangannya, lalu dipijat-pijat kepala sampai leher saya, dia sudah izin dulu.

Lumayan sekitar dua menit dipijit kepala, leher dan pundak saya, membuat saya agak ngeliyep terkantuk.

Setelah selesai, saya sodorkan selembar uang dua puluh ribu rupiah kepadanya dan dia kembalikan lima ribu rupiah.

Ee ternyata yang dulunya dua belas ribu rupiah sekarang jadi lima belas ribu rupiah untuk ongkos pangkas rambut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun