Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Horor | Gelundung Peringis *

4 September 2019   19:50 Diperbarui: 4 September 2019   20:15 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari menonton wayang yang belum usai, Slamet dan dua kawannya melintasi tepian Sungai Bengawan.

Rembulan sedang menerangi jalan berbatu. Udara sangat dingin tetapi terhalangi oleh sarung mereka.

Kruk. Kruk. Kruk. Suara induk ayam tertangkap di telinga mereka. Ketiga remaja itu saling menatap sambil menegakkan telunjuk di bibir.

Dalam benak Slamet tergambar seekor induk ayam sedang mendekap anak-anaknya. Ayam milik siapa?

Seorang kawannya memberi kode dengan kedua tangan. Sarungi!

Kemudian ketiganya mengendap-endap untuk mencari posisi sumber suara. Semakin jelas suara itu, mereka pun mendekatinya.

Di bawah serumpun bambu apus mereka mendapati seekor induk ayam sedang mendekap anak-anaknya. Slamet mendekati sambil membungkuk-bungkuk dengan perlahan-lahan. Sementara kawan lainnya membuka sarung.

Hap! Slamet berhasil menangkap induk ayam beserta anak-anaknya. Sama sekali tidak ada perlawanan atau suara penolakan.

Slamet pun memasukkannya ke sarung kawannya. Lalu kawannya memanggul sarung itu. Maka mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan wajah semringah.

Rembulan menyaksikan rincian aksi mereka. Udara sangat dingin yang mengusap kulit tanpa perlindungan sarung tidaklah dihiraukan oleh kawannya.

Sekitar belasan meter dari serumpun bambu tadi, Slamet melihat gerak kawannya agak membungkuk. Dengan lirih kawannya mengatakan bahwa panggulannya semakin berat.

Mereka pun berhenti. Kawannya meletakkan sarung di jalan berbatu.

Menggelindinglah sebongkah tengkorak. Setelah terhenti di tepi tebing, tengkorak itu meringis.

Gelundung peringis!

Tak ayal kedua kawannya lari terbirit-birit. Akan tetapi Slamet mengambil sebongkah batu berukuran dua telapak tangan.

Slamet mendekati dengan gerakan cepat untuk menimpakan batu ke tengkorak yang meringis-ringis. Belum sempat batu ditimpakan, seketika tengkorak itu lenyap.

*******
Kupang, 4 September 2019     

*) Pernah dikisahkan oleh Bapak saya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun