"Iya. Aku hendak menanam pula di tempat lain."
"Caranya?"
"Kalau sudah sebesar orang dan panjangnya sepuluh depa, aku hendak pecahkan badannya. Aku bakar saja."
Kemudian Akek Bagak menerangkan cara itu secara rinci pada bininya. Tetapi sebenarnya Akek Bagak hanya mengarang cara.
Ia terpaksa mengarang supaya bininya tidak mampu memahami dan susah untuk bertanya sekaligus mengomel. Ya, hanya karangannya sendiri. Ia sama sekali tidak tahu, bagaimana bisa memecahkan batu dan menjadikannya sebagai bibit baru.
"Coba kau tanam dekat rumah kita."
"Pastilah."
Memang pasti. Di sekitar rumah mereka pun terdapat batu-batu pada tahun-tahun berikutnya. Batu-batu bertumbuh dan berkembang pesat. Ada yang memanjang hingga ratusan depa. Ada pula yang meninggi hingga sebesar rumah.
Akek Bagak pun sudah tahu bahwa batu itu berjenis laki jika cenderung menjulang, dan bini jika memanjang. Ada juga batu yang bakal tumbuh, dan ada yang memang mati. Batu yang mati bisa dipakai sebagai tungku.
Batu-batu juga tumbuh di pesisir-pesisir. Bahkan, Akek Bagak menanamnya di seluruh pesisir pulau itu -- kelak dinamakan Bangka--sebagai penanda bahwa ia pernah ke sana. Orang-orang yang semula heran, mengapa Akek Bagak menanam batu, malah kemudian memuji-mujinya karena orang-orang bisa menggunakan batu-batu itu, khususnya yang memanjang dan lebar, sebagai alas pondok mereka.Â
***