Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan dari Ibu

12 Desember 2018   13:12 Diperbarui: 12 Desember 2018   14:48 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam Sabtu, 7/12, saya dan istri saya duduk di ruang depan rumah orang tua. Di situ juga duduklah ibu, saudara kandung, dan ipar saya.

Pada malam yang lewat setengah perjalanan menuju puncak itu ibu mengumpulkan kami untuk membicarakan perihal warisan. Ya, mumpung ibu masih sehat, kami masih lengkap, dan saya sedang berada di kampung halaman. Ya, mumpung baru kemarin malam (6/12) kami memperingati 1.000 hari berpulangnya bapak ke pangkuan Bapa di surga. Ya, mumpung masih hangat hari ulang tahun ibu pada 25 November yang sama dengan hari ulang tahun mama istri saya alias mertua saya.

Perihal warisan atau harta benda milik orang tua memang bukanlah persoalan sepele. Pertumpahan darah ataupun perpecahan antarsaudara kandung bisa saja disebabkan oleh perebutan dan perburuan warisan orang tua. Para pemuja harta benda duniawi memang selalu mudah menjadikan warisan sebagai dasar pembenaran untuk melakukan hal-hal di luar batas perikemanusiaan itu.

Saya sudah memahami hakikat harta benda duniawi sejak mengalami pencerahan ketika masih duduk di bangku Kelas II SMA BOPKRI II Yogyakarta. Sebelumnya, ketika belum merantau ke Kota Pelajar itu atau masih di kampung halaman, saya sering diingatkan oleh ibu bahwa orang tua tidak mewariskan apa-apa, selain ilmu untuk bekal menyiasati hidup.

Ibu, bagi saya, termasuk "guru" dalam hal pengelolaan keuangan. Ketika itu, selain bekerja sebagai perawat di R.S. Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB) atau kini Medika Stania Sungailiat, ibu juga mengelola keuangan sejak awal mayoritas gaji bulanan bapak saya diberikan kepada ibu.

Kami tidak memiliki televisi ketika tetangga sudah mampu menyiasati malam dengan tontonan di ruang keluarga masing-masing karena ibu tidak pernah mengikuti tren. Uang harus bisa terkelola dengan baik karena masih ada saudara-saudara angkat yang musti disekolahkan, selain kami sebagai anak-anak kandungnya. Sebagian ditabung melalui sebuah asuransi swasta dengan program pendidikan karena kakak saya melanjutkan pendidikan SMA di Yogyakarta. Sebagian lagi sudah menjadi surat pertanahan berupa kebun-kebun.

Ibu pun mengajarkan saya mengenai pengelolaan keuangan melalui kiriman wesel bulanan. Sewaktu SMA wesel yang saya terima sebesar Rp60.000,00 per bulan, dan tidak boleh meminta tambahan sekian rupiah pun. Sewa kamar kos sebesar Rp17.500,00 per bulan. Sisanya, Rp42.500,00 saya kelola untuk makan dan lain-lain.

Kurs satu porsi makan nasi-telur ketika saya SMA sebesar Rp400,00 sampai Rp500,00. Kalau makan 2 kali sehari dengan sesekali minum es teh, rata-rata sebesar Rp1.200,00. Dalam satu bulan, hanya untuk makan-minum, minimal totalnya Rp36.000,00. Maka sisa yang saya kelola sebesar Rp5.100,00. Jumlah yang sangat aduhai!

Saya tidak pernah mengeluhkan jumlah uang bulanan dari ibu sampai saya meraih gelar sarjana S-1 karena saya memang senang mempelajari perihal kehidupan, selain duduk-belajar di bangku pendidikan formal. Kebetulan saya tidak memiliki gaya hidup yang mentereng sambil petentang-petenteng. Gaya hidup saya hanyalah mengelola talenta saya sendiri karena talenta itulah kekayaan saya yang hakiki.

Ketika kami sudah mampu berdiri sendiri, ibu tidak pernah menyinggung soal seberapa banyak harta kami, apalagi kalau singgungan itu menyentuh saya yang begini-begini saja adanya. Ibu masih mampu menghidupi dirinya melalui tabungan berupa hasil penjualan tanah.

Malam Sabtu itu adalah malam yang termasuk paling krusial bagi kami. Meski entah kapan Bapa di surga memanggil ibu, persoalan warisan sudah menjadi penting-mendesak untuk dibahas bersama, dan disaksikan oleh pasangan hidup kami masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun