Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi Masuk Surga

2 Maret 2018   18:30 Diperbarui: 2 Maret 2018   19:24 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih dari 80 kepala daerah ditangkap KPK terkait korupsi sampai awal Maret 2018 ini. Hitungan mudahnya, 7 pada pertengahan Februari lalu, dan 77 dalam sebuah kabar September 2017. Itu baru kepala daerah. Belum terhitung pejabat terkait, wakil rakyat termasuk mantan ketua DPR RI, dan pihak swasta. Juga nilai material lain-lainnya, selain yang milyaran rupiah.

Korupsi memang semacam candu bagi sebagian orang Indonesia. Bahkan, sebenarnya, korupsi tidak kalah berbahaya daripada narkoba. Padahal awal 1980-an Muchlas Ade Putra sudah menyanyikan Anak Desa dengan satu liriknya berbunyi, "Korupsi menghambat pembangunan."

Lucunya, dalam diskusi bertajuk 'Duh KPK' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu, 30 Mei 2015 Fadli Zon mengatakan, dengan adanya korupsi menunjukkan bahwa pembangunan di suatu negara berjalan. Dan, katanya lagi, di beberapa negara berkembang, korupsi itu justru jadi 'oli' pembangunan.

Pembangunan atau suatu pekerjaan proyek, selalu berhadapan dengan tindak korupsi. Harga sebuah rencana anggaran sengaja dikatrol menjadi sebuah pagu (plafon) alias batas tertinggi, lalu pengajuan anggaran disodorkan dengan sebagian dikatrol. Biasanya, nilai katrolan sekitar 30%-40%, dimana sebagian akan menjadi istilah "ongkos komitmen" (commitment fee).

30%-40% menjadi bancakan oknum-oknum pada saat kemiskinan hanya menjadi omong kosong dalam kampanye bahkan slogan suatu kalangan untuk "menyerang" pihak yang berseberangan, tentu saja, merupakan suatu ironi yang selalu menyesakkan dada sebagian rakyat Indonesia. Banyaknya oknum tertangkap, baik melalui operasi tangkap tangan (OTT) maupun saksi-saksi dalam sebuah persidangan di pengadilan, korupsi benar-benar merupakan budaya buruk-busuk di Indonesia. Sekali lagi, ironi!

Lucunya lagi, Sebagian menyebut hasil korupsi sebagai rezeki. Semakin banyak hasil korupsi, semakin banyaklah kata religius “rezeki” diumbar. Tetapi kalau ditangkap KPK, langsung saja muncul kalimat, “Sedang mendapat cobaan.” Atau, “Dizalimi.” Padahal, ketika “bertransaksi” atau menikmati suapan, sama sekali tidak menganggap “cobaan” bahkan “dizalimi”. Malah tertawa-tawa. Orang-orang di sekitarnya pun iba, dan mendukung dengan doa-doa paling ampuh sejagat raya. Aduhai, ‘kan?

Kasus korupsi itu, yang paling sering terungkap adalah suap. Pada 11 Desember 2017 lalu, Presiden Jokowi mengatakan, kebanyakan pejabat itu kena kasus korupsi karena menerima suap.

Biasanya, oknum pengusaha sudah hafal luar kepala, sebuah proyek selalu mengalami katrolan anggaran sehingga tidaklah repot dengan suap-menyuap alias sogok-menyogok. Oknum birokrasi pun tidak perlu membuang basa-basi. Orang-orang "di sekitar" mereka pun sudah memahami, dan bisa kecipratan hasil kongkalikong. Lantas semuanya dikelola secara "sistematis-terstruktur-massif" (pinjam istilah Prabowo dalam Pilpres 2014).    

Ironi sebuah negara Pancasila, dengan sila I berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Ironi sebuah negara yang sering menampilkan hal-hal religius di media massa, baik cetak maupun elektronik, bahkan ceramah-ceramah serta pembangunan rumah ibadah. Ironi sebuah negara ber-Ketuhanan tetapi sebagian umat saling membagi hasil curian, bahkan sebagian hasil curian menjadi rumah ibadah, membiayai kebutuhan hidup oknum pemuka agama, dan seterusnya.

Ya, ironi, memang. Kalau di luar ada istilah "pencucian uang" (money laundry), di dalam ada istilah "penyucian uang". Dengan ayat-ayat kitab suci, disucikanlah "uang curian" itu. "Hasil curian" yang "menyumpal" mulut oknum pemuka agama dan mengenyangkannya, lalu si "pencuri" didoakan agar begini-begitu (intinya bisa mendapat hasil curian lagi!)  disertai puja-puji di depan mimbar. Sungguh ironis-miris!

Sebagian pelaku tindak pidana korupsi itu adalah orang Kristen. Padahal dalam Kristen,  tindakan suap juga terlarang. Setidaknya, ada 8 ayat yang menyebut tentang suap. Kedelapan ayat itu adalah sebagai berikut.

1. Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar (Kel. 23:8).

2. Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap (Ul.10:17).

3. Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar (Ul.16:19).

4. Siapa loba akan keuntungan gelap, mengacaukan rumah tangganya, tetapi siapa membenci suap akan hidup (Ams.15:27).

5. Sungguh, pemerasan membodohkan orang berhikmat, dan uang suap merusakkan hati (Pkh.7:7).

6. Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku kaulupakan, demikianlah firman Tuhan ALLAH (Yeh. 22:12).

7. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang (Am. 5:12).

8. Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang (Mi. 3:11)

Realitasnya, tidak satu-dua orang Kristen, baik oknum birokrasi, oknum pengusaha, oknum pemuka agama, dan seterusnya, selalu terlibat suap-menyuap itu. Oknum-oknum amoral itu sangat gemar mempermainkan Tuhan mereka, padahal dalam Gal. 6:7a tertulis "Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan" dan Yesus sendiri tidak meniadakan satu ayat pun dalam Hukum Taurat.

Bisa dibayangkan, gemar melanggar larangan Tuhan tetapi masih berusaha "menyuap" alias "menyogok" Tuhan dengan berbuat baik alias membagikan hasil korupsi. Bisa dibayangkan, bagaimana oknum-oknum Kristen sendiri seakan menertawakan dan mengolok-olok bilur-bilur-Nya di kayu salib dengan cara melestarikan budaya korupsi melalui suap-menyuap itu.

Dan, bisa dibayangkan, sudah gemar menistakan penebusan dosa di kayu salib, masih pula berpikir sekaligus berdoa agar kelak mati bisa masuk surga.

Di samping itu oknum pemuka agama pun masih senang sekali menerima "suapan". Mereka kecanduan korupsi. Sama sekali mereka tidak merasa berdosa telah menistakan darah Anak Domba di kayu salib dengan kegemaran andil dalam korupsi!

Memang sungguh-sungguh ironis-miris. Tetapi beginilah hidup beragama di Indonesia. Biarpun korupsi, tetap yakin bahwa kelak mati pasti masuk surga.

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 2 Maret 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun