Perjalanan selanjutnya bisa ditebak : saya mulai mengerti dunia kesenian Indonesia dengan adanya kelompok bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sampai saya menambah sedikit ilmu sastra hingga hari ini, perbincangan mengenai Lekra dan Manikebu masih terjadi dalam dunia kesenian Indonesia mutakhir.
Intinya, ada politik ideologis dalam kesenian, baik seni rupa maupun seni kata (sastra). Sepakat-tidak sepakat, politik selalu menyusup dalam dunia kesenian. Bukan hanya di tingkat nasional (Indonesia), tetapi sampai tingkat internasional (dunia).
Sayangnya, saya belum pernah melihat sebuah penelitian yang benar-benar valid mengenai jumlah pemerhati/peminat karya sastra yang melek politik sastra. Misalnya, saya asumsikan saja dengan angka fiktif, ada 5 juta orang Indonesia berminat pada karya sastra. 2 juta orang tidak tahu adanya politik sastra. Sementara 2 juta orang lainnya tidak peduli pada politik sastra, dan 1 juta orang melek (memahami) politik sastra, mulai dari sastra Indonesia sampai sastra dunia, khususnya dalam kaitan ideologi. Misalnya begitu.
Dan, selain politik ideologis, juga 'politik komunal' maupun 'politik personal' bisa menyusup dalam sastra. Politik komunal atau kelompok, semisal kelanjutan dari Manikebu. Sementara politik personal, semisal 4-6 tahun terakhir dilakukan oleh DJA dengan puisi esai. Kalau sudah 'politik', tentulah, kemungkinannya berupa 'rekayasa' demi 'kepentingan'.
Ah, kembali lagi, sebenarnya saya lebih bahkan sangat menyukai kesenian sejati (an sich) dengan istilah ideologis "seni untuk seni" (art for art). Berkarya, berkarya, dan berkarya. Terserah dunia kesenian secara lokal-interlokal sedang bergolak atau gempa, secara individual saya tetap eksis dengan karya saya sendiri sebagai arsitek bersertifikat. Toh saya suka membuat kartun hingga menjadi 2 buku kumpulan kartun, membuat karikatur pesanan, menulis puisi dengan 2 buku kumpulan puisi, cerpen dengan 4 buku kumpulan cerpen, esai dengan 2 kumpulan esai, gombal dengan 1 kumpulan gombal, dan lain-lain.
Tetapi juga, dengan percaya saja terhadap rekayasa atau politisasi kesenian, termasuk apa pun perkembangan politik Indonesia mutakhir, sama saja percuma saya mengenyam bangku pendidikan dengan gelar sarjana setelah melakukan proses ini-itu dan skripsi-kajian ilmiah. Mendingan saya tidak pernah memahami apa itu ilmiah ditambah politisasi kesenian alias cukup tamat SD dengan bisa berhitung untung-rugi, membaca ramalan nasib, dan menulis nota pembelian barang-jasa seperti dulu--dalam  doktrin ideologi ORBA.
Â
*******