Istilah "politik" bukanlah hal yang baru bagi generasi milenial yang memiliki fasilitas mengakses informasi-komukasi secara kencang-global. Kasus-kasus korupsi, kekerasan, intimidasi, dan sekitarnya sering dikaitkan dengan "politik". Tidak luput pula istilah "tahun politik" dengan Pilkada Serentak, dan sebagian pelaku politik praktis berancang-ancang menuju Pileg-Pilpres 2019.
Politik dalam sastra, ada atau fiktifkah? Apakah sekadar halusinasi saya lantaran gencarnya istilah "tahun politik"?
Sejak belajar sedikit mengenai sastra di sekolah, mulai dari SMP sampai SMA (saya mengambil Jurusan A1/Fisika), apalagi ketika kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur, saya sama sekali tidak pernah mendengar istilah "politik sastra", baik tingkat nasional (Indonesia) maupun tingkat internasional (dunia). Kalau ketika SMP-SMA ada pelajaran Bahasa Indonesia, tidaklah pernah membahas mengenai "politik" dalam karya sastra. Yang ada hanyalah pujangga lama, pujangga baru, angkatan balai pustaka, dan entah apa lagi.
Dalam mata pelajaran umum, Pendidikan Moral Pancasila alias PMP (kini PPKn alias Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), Sejarah, dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), hanyalah terpatok pada pemahaman mengenai Pancasila dan Komunis. Datar-datar saja dengan banyak hafalan tanpa pentingnya pengertian yang mendalam.
Sementara dalam pelajaran kesenian, di sekolah saya hanya terselenggara pelajaran Seni Suara, dan Seni Rupa (menggambar). Dalam pembahasan kesenian itu pun sama sekali tidak pernah bersinggungan dengan istilah "politik kesenian", baik "politik seni suara" maupun "politik seni rupa". Demikian halnya dengan pelajaran Bahasa Indonesia; tanpa ada bisik-bisik "politik seni sastra".
Ya, dulu saya merupakan salah seorang pelajar produk Orde Baru (ORBA), dimana doktrin yang saya dapatkan hanyalah "apolitik" alias "dilarang mengkritik". Dalam benak saya hanya ada berkesenian. Bakat, minat, berlatih, dan berkreasi. Dari pra-SD sampai SMA saya pun tekun belajar kesenian, khususnya seni rupa dua dimensi (menggambar).
Pada waktu SD saya seperti umumnya pelajar SD, yakni polos alias tidak memahami politik. Ayah saya--guru menggambar di STM dan SMP swasta--pernah membeli buku kumpulan kartun editorial Indonesia 1967-1980. Ketika saya menekuni kartun di SMA karena bergabung di majalah sekolah, buku kumpulan kartun karya GM Sudarta itu barulah diberikan pada saya.
Bukankah buku kumpulan kartun itu merupakan kartun politik karena "mengkritik"? Bukankah kartun termasuk bagian dari seni rupa, dan "mengkritik" sering diidentikkan dengan "berpolitik"?
Dalam proses berkesenian sejak pra-SD sampai SMA, terus terang, saya sama sekali tidak mengerti apa itu politik, apalagi politik dalam kesenian. Saya hanya tekun belajar dan berkreasi (berproduksi; berkarya), termasuk ketika berkartun dan berpuisi untuk majalah SMA kami, meskipun sejak Kelas II Semester Genap SMA saya diberi pemahaman politik melalui kartun opini-politik Panji Koming oleh beberapa kakak yang kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Â Â
Berkesenian, dalam pemahaman dan wawasan sempit saya dulu, adalah berproses sampai berproduksi. Belajar dan berkarya (menghasilkan karya). Di samping tidak memahami politik beserta tetek-bengeknya, saya pun sama sekali tidak peduli ikhwal situasi sosial-politik. Fokus saya adalah berkesenian saja hingga saya bela-belain mengikuti Bimbingan Belajar Menggambar di Himpunan Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB selama 3 bulan agar bisa masuk FSRD-ITB (3 kali berturut-turut saya gagal!).
Semester V kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik sekaligus aktif di pers mahasiswa, saya pun bergaul dengan kawan-kawan di Fisip. Dari 'pergaulan bebas' itulah saya mulai 'terjerumus' dalam pemahaman politik, minimal politik di Indonesia ketika itu.
Perjalanan selanjutnya bisa ditebak : saya mulai mengerti dunia kesenian Indonesia dengan adanya kelompok bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sampai saya menambah sedikit ilmu sastra hingga hari ini, perbincangan mengenai Lekra dan Manikebu masih terjadi dalam dunia kesenian Indonesia mutakhir.
Intinya, ada politik ideologis dalam kesenian, baik seni rupa maupun seni kata (sastra). Sepakat-tidak sepakat, politik selalu menyusup dalam dunia kesenian. Bukan hanya di tingkat nasional (Indonesia), tetapi sampai tingkat internasional (dunia).
Sayangnya, saya belum pernah melihat sebuah penelitian yang benar-benar valid mengenai jumlah pemerhati/peminat karya sastra yang melek politik sastra. Misalnya, saya asumsikan saja dengan angka fiktif, ada 5 juta orang Indonesia berminat pada karya sastra. 2 juta orang tidak tahu adanya politik sastra. Sementara 2 juta orang lainnya tidak peduli pada politik sastra, dan 1 juta orang melek (memahami) politik sastra, mulai dari sastra Indonesia sampai sastra dunia, khususnya dalam kaitan ideologi. Misalnya begitu.
Dan, selain politik ideologis, juga 'politik komunal' maupun 'politik personal' bisa menyusup dalam sastra. Politik komunal atau kelompok, semisal kelanjutan dari Manikebu. Sementara politik personal, semisal 4-6 tahun terakhir dilakukan oleh DJA dengan puisi esai. Kalau sudah 'politik', tentulah, kemungkinannya berupa 'rekayasa' demi 'kepentingan'.
Ah, kembali lagi, sebenarnya saya lebih bahkan sangat menyukai kesenian sejati (an sich) dengan istilah ideologis "seni untuk seni" (art for art). Berkarya, berkarya, dan berkarya. Terserah dunia kesenian secara lokal-interlokal sedang bergolak atau gempa, secara individual saya tetap eksis dengan karya saya sendiri sebagai arsitek bersertifikat. Toh saya suka membuat kartun hingga menjadi 2 buku kumpulan kartun, membuat karikatur pesanan, menulis puisi dengan 2 buku kumpulan puisi, cerpen dengan 4 buku kumpulan cerpen, esai dengan 2 kumpulan esai, gombal dengan 1 kumpulan gombal, dan lain-lain.
Tetapi juga, dengan percaya saja terhadap rekayasa atau politisasi kesenian, termasuk apa pun perkembangan politik Indonesia mutakhir, sama saja percuma saya mengenyam bangku pendidikan dengan gelar sarjana setelah melakukan proses ini-itu dan skripsi-kajian ilmiah. Mendingan saya tidak pernah memahami apa itu ilmiah ditambah politisasi kesenian alias cukup tamat SD dengan bisa berhitung untung-rugi, membaca ramalan nasib, dan menulis nota pembelian barang-jasa seperti dulu--dalam  doktrin ideologi ORBA.
Â
*******
Panggung Renung Balikpapan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H