Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adakah Politik dalam Sastra?

25 Januari 2018   07:01 Diperbarui: 25 Januari 2018   09:55 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan selanjutnya bisa ditebak : saya mulai mengerti dunia kesenian Indonesia dengan adanya kelompok bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sampai saya menambah sedikit ilmu sastra hingga hari ini, perbincangan mengenai Lekra dan Manikebu masih terjadi dalam dunia kesenian Indonesia mutakhir.

Intinya, ada politik ideologis dalam kesenian, baik seni rupa maupun seni kata (sastra). Sepakat-tidak sepakat, politik selalu menyusup dalam dunia kesenian. Bukan hanya di tingkat nasional (Indonesia), tetapi sampai tingkat internasional (dunia).

Sayangnya, saya belum pernah melihat sebuah penelitian yang benar-benar valid mengenai jumlah pemerhati/peminat karya sastra yang melek politik sastra. Misalnya, saya asumsikan saja dengan angka fiktif, ada 5 juta orang Indonesia berminat pada karya sastra. 2 juta orang tidak tahu adanya politik sastra. Sementara 2 juta orang lainnya tidak peduli pada politik sastra, dan 1 juta orang melek (memahami) politik sastra, mulai dari sastra Indonesia sampai sastra dunia, khususnya dalam kaitan ideologi. Misalnya begitu.

Dan, selain politik ideologis, juga 'politik komunal' maupun 'politik personal' bisa menyusup dalam sastra. Politik komunal atau kelompok, semisal kelanjutan dari Manikebu. Sementara politik personal, semisal 4-6 tahun terakhir dilakukan oleh DJA dengan puisi esai. Kalau sudah 'politik', tentulah, kemungkinannya berupa 'rekayasa' demi 'kepentingan'.

Ah, kembali lagi, sebenarnya saya lebih bahkan sangat menyukai kesenian sejati (an sich) dengan istilah ideologis "seni untuk seni" (art for art). Berkarya, berkarya, dan berkarya. Terserah dunia kesenian secara lokal-interlokal sedang bergolak atau gempa, secara individual saya tetap eksis dengan karya saya sendiri sebagai arsitek bersertifikat. Toh saya suka membuat kartun hingga menjadi 2 buku kumpulan kartun, membuat karikatur pesanan, menulis puisi dengan 2 buku kumpulan puisi, cerpen dengan 4 buku kumpulan cerpen, esai dengan 2 kumpulan esai, gombal dengan 1 kumpulan gombal, dan lain-lain.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Di lain waktu saya bisa suntuk mengikuti kompetisi (lomba). Misalnya lomba menulis esai, termasuk di Kompasiana, supaya saya lebih fokus-serius dalam berpikir dan berpendapat. Toh pernah mencapai peringkat I, dan sudah berlalu (2016).

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Atau lomba menulis puisi supaya saya lebih fokus-serius berimajinasi, tidak melulu berpikir-berpendapat secara lugas-gamblang. Toh mencapai nominasi di Krakatau Award 2017 cukuplah membahagiakan bagi saya yang arsitek ini. Dan, tentu saja, saya tidak perlu menggabungkan keduanya untuk terlibat dalam proyek "puisi esai"-nya DJA, 'kan?

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Akan tetapi, kalau saya sama sekali tidak mengerti adanya "politisasi" dalam kesenian, niscaya saya akan menelan mentah-mentah sebuah ideologi personal yang menyusup dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Artinya, tanpa perlu repot berpikir mengenai suatu kebenaran apalagi sibuk berprasangka macam-macam, secara langsung-telak saya menerima-mandah pembodohan-rekayasa sastra, pemalsuan tokoh, atau tokoh hoaks dalam perkembangan sastra Indonesia.

Tetapi juga, dengan percaya saja terhadap rekayasa atau politisasi kesenian, termasuk apa pun perkembangan politik Indonesia mutakhir, sama saja percuma saya mengenyam bangku pendidikan dengan gelar sarjana setelah melakukan proses ini-itu dan skripsi-kajian ilmiah. Mendingan saya tidak pernah memahami apa itu ilmiah ditambah politisasi kesenian alias cukup tamat SD dengan bisa berhitung untung-rugi, membaca ramalan nasib, dan menulis nota pembelian barang-jasa seperti dulu--dalam  doktrin ideologi ORBA.

 

*******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun