Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diceraikan oleh Cerpen

1 Desember 2017   11:35 Diperbarui: 1 Desember 2017   13:12 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kupasrahkan sekujur raga pada tempat duduk yang empuk. Aku sedang menikmati perjalanan yang entah sudah sampai di mana. Tanpa suara musik, meski lirih sekalipun. Tidak ada suara kelakson. Tidak sedikit pun suara dari luar. Senyap.

Tapi aku bisa merasakan kendaraan yang kami tumpangi ini sedang bergerak. Jalan bergelombang atau rata-mulus. Kendaraan melambat atau melaju. Semua gerakan terasa halus. Aku belum pernah mengalami perjalanan semacam ini.

Keadaan berangsur berubah. Itu seperti biasa melandaku dala suatu perjalanan dengan suasana sangat kondusif. Mengantuk. Aku mulai menguap, dan berkali-kali dalam sekian detik saja.

Aku tidak mampu menolak kunjungan kantuk dalam situasi semacam ini. Justru aku sering menikmati lelap selama suatu perjalanan jauh. Tapi kali ini kunjungan kantuk jauh lebih cepat dari seluruh waktu yang pernah kualami selama perjalanan ke mana-mana.

"Bagaimana hubunganmu dengan Puisi, Esai, dan Pantun?"

***

Kesejukan mengusap kulitku. Tidak seperti sedang berada di dataran tinggi tapi seperti baru usai hujan. Usai hujan pun sejuk tidak begini karena tidak terasa ada uap sisa hujan. Tidak ada aroma benda basah. Tidak ada suara tetes sisa di benda-benda.

Suasana pun lengang. Tidak ada suara-suara di sekitar ataupun kejauhan. Suasana seperti dalam ruang kedap sempurna. Ruang kedap tanpa penyejuk buatan, ah, mustahil, pikirku.

"Kita sudah sampai."

Aku berdebar-debar sebab terpikirkan "sampai" di mana. Aku pun membantu ketika dia membuka penutup mataku. Seketika pula pendar putih menyambutku. Mataku tidak menangkap sesuatu apa pun. Jarak jangkau pandangku seperti terhalang pendar-pendar putih yang rapat. Tidak ada kabut sama sekali. Hanya pendar-pendar putih yang rapat.

Oh, di mana ini, gumamku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun