"Tamasya sampai di tempat tujuan, bukannya tamasya di perjalanan," kata Cerpen sebelum kami berangkat tadi, dan sambil membuka kain hitam selebar telapak tangan. "Dan pergunakan seluruh inderamu untuk merekam situasi."Â
"Bagaimana bisa merekam tanpa melihat?" Aku menatap Cerpen sambil berharap dia urung menutup mataku.Â
"Gelap pun bagian dari hasil penglihatan." Dia mendekati dengan membentangkan kain hitam yang sejajar dengan tinggi mataku.
"Ini seriuslah."
"Ya, serius. Apa kamu kira selama ini mata tidak pernah berdusta? Iklan saja sudah berkata, rasa memang tidak pernah bohong. Berarti mata bisa bohong."
Aku tidak perlu meneruskan pertanyaan atau perdebatan sepele sampai urusan iklan kecap itu. Cukup kuprioritaskan pada tamasya di suatu tempat yang akan kami tuju dengan sebuah kendaraan.
***
Aku tidak tahu kendaraan apa yang membawa kami karena, ternyata, kedua tanganku pun diikatnya. Aku tidak bisa menyentuh apa-apa. Mungkin mobil seperti kurasakan tempat duduk empuk, suhu dan aroma ruangannya yang khas. Nyaman. Tapi tidak ada suara seperti mobil pada saat mesinnya dihidupkan atau dalam posisi sedang dijalankan.
"Apakah kamu menikmati hari-harimu?" Dia mengusik rasa nyaman yang tengah merengkuh.
"Ya."
Cukup. Aku tidak mau jawaban ditambah supaya dia tidak mengembangkan pertanyaan.