SetNov bukanlah sebuah nama yang melayang-layang di langit Kota Kupang. Saya memahaminya karena pada 2013 dan 2014 saya pernah berada di sana. Alur perjalanan saya tidak jauh dari gedung Novanto Center yang berukuran sekitar 1.200 meter persegi, dan dibangun di lahan seluas 2.032 meter persegi dengan biaya Rp5 M pada 2008. Begitu 'membumi'-nya SetNov di ibukota NTT.
NTT memang daerah pemilih (dapil), tepatnya NTT II, yang memilih SetNov untuk menjadi anggota DPR. Daerah pemilihan (Dapil) NTT-II meliputi Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Rote, Sabu, Alor, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.
Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2004 Setnov terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dengan meraih 75.319 suara. Pada Pileg 2009 ia kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 dengan perolehan suara 70.882 suara. Pada Pileg 2014 ia berhasil meraup 69.586 suara, dan kemudian menjabat sebagai Ketua DPR RI.
Meski pada 2014 saya berada di Kota Kasih dalam masa Pileg dan Pilpres, saya sama sekali tidak mau andil menyetorkan hak pilih secara legal. Ya, bahkan sebelumnya, 2009, 2004, 1999, dst. atau entah kapan saya tetap tidak akan memilih siapa pun dari partai apa pun. Saudara dan kawan saya nyaleg pun, tetap saya tidak pernah mendukung, apalagi memilih. Saya seorang golput.
***
Saya coba merunut isi ingatan saya, sejak kapan nama SetNov mencuat dalam aneka berita dan obrolan orang-orang di sekitar saya. Biasanya nama seseorang mendadak heboh dengan segala kritik, sindiran, dan olok-olokan dalam pergaulan tingkat pelosok RT hingga nasional adalah karena terbelit dengan suatu kasus dan dampak seriusnya. Biasanya begitu.Â
Kalau tidak keliru ingatan, awalnya dari kasus "Papa Minta Saham". Kasus ini merupakan dampak dari laporan seorang menteri ke Majelis Kehormatan DPR (MKD) pada 16 November 2015 yang berisi pencatutan nama presiden dan wakil presiden terkait perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia, dan berujung dengan pengunduran SetNov dari Ketua DPR RI pada 16 Desember 2015.
Sekitar 1 bulan sebelumnya, tepatnya 13 September 2015, bertempat di Donald Trump Tower, New York, saya terkejut ketika Setnov dan Fadli Zon hadir bahkan berjabat erat dengan seorang kandidat presiden Amerika Serikat dengan kampanye yang cenderung berisiko negatif. Keterkejutan secara lengkap ketika dalam pidato kampanyenya kandidat itu menyebutkan sosok SetNov sedemikian luar biasa. Padahal, melalui beraneka berita sekaligus komentar sebagian orang (rakyat) Indonesia terkait nasionalisme dan hubungan internasional, saya menduga bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidaklah menyukai negara adidaya itu.
Tetapi sekitar 1 tahun setelah resmi mengundurkan diri, tepatnya 30 November 2016, bertempat di Gedung DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI, secara resmi Setnov kembali menjabat sebagai Ketua DPR RI setelah mengganti Ade Komarudin yang sesama dari Partai Golkar. Saya sempat terkejut. Hanya "sempat". Lantas saya segera memaklumi sebagai sesuatu yang lumrah.
Lho, kok lumrah? Ya, saya anggap lumrah. Bagi saya, politik itu dinamis. Tidak bisa saklek alias mutlak, semisal putih harus putih atau hitam harus hitam. Politik itu berada di ranah abu-abu. Dengan segala trik dan intrik, politik bisa memainkan warna, tergantung suatu kepentingan yang diatur dalam permufakatan dan kesepakatan masing-masing kelompok.
Contoh lain yang menarik, terkait dinamika politik, adalah Pilpres Amerika Serikat pada 8 November 2016. Hasil pilpres itu secara resmi keesokan harinya, 9/11, dimenangkan oleh Donald Trump dari Partai Republik setelah mengalahkan Hillary Clinton dari Partai Demokrat.