Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mati

5 November 2017   16:22 Diperbarui: 5 November 2017   19:08 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air mati tidak hanya menjadi duka untuk mandi dan beribadah ke gereja. Tetapi juga duka bagi pakaian-pakaian kotor, perkakas makan-minum kotor, dapur yang mendadak kemomos, dan lain-lain yang mengganggu agenda kegiatan rutin saya sekeluarga untuk Sabtu-Minggu. Belum lagi tanaman hias kesayangan istri saya.

Yang tidak kalah dukanya adalah istri saya mulai lancar mengomel, menggerutu, cemberut, dan mudah misuh. Baru dua hari ini dia begitu. Sikapnya sungguh-sungguh berubah. 180 derajat!

Pasalnya, sewaktu masih di dusun sana, istri saya sangat mampu menjalani hidup dengan prinsip nrima ing pandum sebagaimana adat kami yang namung kawula alit punika. Orang-orang di dusun selalu memuji-muji istri saya. Koor mereka, walaupun berpendidikan tinggi, pegawai mapan, cantik-berkulit cerah, tutur katanya tetap santun, bahkan tidak menampakkan dia seorang sarjana.

Tapi Sabtu dan Minggu ini tidaklah begitu lagi, melainkan mulai begini. Entah apa sebabnya, kucing-kucing yang biasa petentengan keluar-masuk dapur, sudah tidak terlihat sejak tadi malam. Yang paling saya ingat, selain menggelegar seperti halilintar, kata-kata makian istri saya terhadap kucing-kucing liar itu sungguh sangat menyinggung perasaan kucing sedunia, dan menampakkan kebodohan yang luar biasa sebagai seorang berpendidikan tinggi. Satu kata kuncinya, yaitu anjing. Padahal itu kucing-kucing liar!

Di satu sisi saya bersyukur karena lauk-pauk kami aman dari tindak pencurian para kucing. Tapi di sisi satunya, saya was-was. Ya, saya mulai was-was, bagaimana nanti dampaknya jika didengar anak-anak kami, dan apa pula dampak panjangnya kemudian.

Dan, sebenarnya masih banyak kejadian mendadak lainnya pasca-air mati pada Sabtu-Minggu ini. Yang jelas, secara pribadi saya sangat berduka sedalam-dalamnya Teluk Kupang. Sebab, bagaimanapun, selama saya hidup, air sudah saya anggap sebagai anggota keluarga saya sendiri, bahkan melampaui seorang saudara. Tetapi, ah, sungguh duka tiada terduga-tertara.

*******

Kelapa  Lima, Kupang, 5 November 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun