Sedangkan kesempatan saya berbahasa Bangka, khususnya dialek Sungailiat, adalah ketika mudik (4 kali, maksimal 3 minggu), berbicara melalui ponsel dengan keluarga di Sungailiat, dan di internet dengan teman-teman medsos asal Sungailiat. Beginilah nasib perantau sejati, barangkali.
Dari keempat kesempatan (ngobrol dengan Asen, mudik, ngobrol via ponsel, dan media sosial) itu, saya berpikir, masih banyak kosakata yang pernah mengendap dalam ingatan saya, dan masih jarang saya dengar kembali melalui obrolan-obrolan dengan mereka. Tentu saja kosakata itu saya kenal sebelum pertama meninggalkan kampung halaman (merantau), 9 Juni 1987.
Pada 23 Juli 2017, di media daring, saya membaca berita mengenai kepunahan beberapa bahasa daerah. Pertama, Bahasa Daerah Semakin Punah (Republika.Co.Id, 4 Maret 2014). Cuplikannya pada dua alinea berikut ini.
Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai BahasaKementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah.
Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, kebanyakan bahasa daerah yang punah berada di luar pulau Jawa. ''Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,'' kata Tirto.
Dan, kedua, Bahasa-bahasa Daerah yang Hampir Punah (Tirto.Id, 22 Juli 2016). Cuplikannya berikut ini.
Menurut data yang disajikan oleh badanbahasa.kemendikbud.go.id, faktor penyebab terjadinya kepunahan bahasa antara lain, faktor ekonomi, misalnya seperti kemiskinan yang terjadi di pedesaan yang memicu terjadinya urbanisasi. Ketika sampai kota, mereka akhirnya melupakan bahasa daerah dan lebih banyak menggunakan bahasa yang umum digunakan di kota tujuan.
Pada alinea lain tertulis, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Turmudi berpendapat, suatu saat bahasa daerah di Indonesia hanya akan tersisa sembilan saja.
Menurutnya, secara konseptual bahasa akan bertahan apabila memiliki sistem penulisan atau aksara yang mampu merekam bahasa.
"Bahasa-bahasa yang memiliki sistem aksara dan diperkirakan akan bertahan untuk ke depannya antara lain Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak," katanya kepada Antara pada Desember 2013.
Oh, bahasa Melayu Bangka tidak disebut! Saya tergidik karena, menurut saya, ada tiga hal yang menarik bagi saya, yaitu, 1) Ketika sampai kota, mereka akhirnya melupakan bahasa daerah dan lebih banyak menggunakan bahasa yang umum digunakan di kota tujuan; 2) Masih banyak pemakai bahasa Melayu Bangka di Bangka (tentu saja kampung halaman saya); dan 3) Tidak memiliki sistem aksara (huruf khusus).