Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bocoran Rencana Membuat Kamus Bahasa Kampung Halaman

8 September 2017   05:32 Diperbarui: 8 September 2017   11:08 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 1997, tepatnya 4 Februari, tanpa sengaja saya menemukan buku Ragam dan Dialek Bahasa Melayu Bangka karya Sofyan Silaludin, Yuslizal Saleh, dan Ahyar Burhan (1991. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di rak perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Di buku itu jelas secara teoretis mengenai pembagian dialek Bahasa Melayu Bangka. Ada 5 besar dialek, yaitu 1. Pangkalpinang; 2. Sungailiat; 3. Belinyu; 4. Mentok; 5. Toboali.

Selain Pangkalpinang, saya pernah plesir ke Belinyu dan Mentok (Muntok, Bangka Barat). Kecenderungan dialek Belinyu seperti Palembang (vokal akhir "-a" menjadi "-o", semisal kita menjadi kito), dan Mentok seperti Melayu (vokal akhir "-a" menjadi "-e", semisal kita menjadi kite).

Ada lagi kisah lainnya. Pada 2002, tepatnya 17 Oktober, di Toko Buku "Social Agency" Jalan Adisucipto, Yogyakarta, (dekat jembatan Gajah Wong), saya membeli Kamus Gaul karya Debby Sahertian, B.Sc., yang sempat heboh. Kamus mungil Edisilitonga Baramuli cetakan XIII seharga Rp.15.500,00 itu saya beli untuk sekadar "ikut tren"--padahal saya tidak pernah menggunakannya dalam pergaulan saya.

Bagaimana saya bisa menggunakan bahasa gaul-nya Debby kalau sebenarnya bukan bagian dalam lingkup pergaulan saya?

Dalam Kata Pengantar kamus itu saya cuplik beberapa kalimatnya James Danandjaja. "Yang menarik adalah bahwa pada kalangan homoseksual (gay dan lebian) telah pula diciptakan cant tersendiri untuk kelompoknya," tulis James. Cant, kata James, yakni bahasa slang yang bersifat rahasia. Selanjutnya, kata James, "Dalam 'bahasa gaul' ini kini semakin ngepop atau ngetrend, sehingga diambil alih juga oleh para remaja dan orang muda dari kalangan pengusaha, artis film, sinetron, mahasiswa lain-lain."

Lebih jelas dalam contohnya, saya cuplikan sebagian kata pengantar dari penulisnya sendiri (Debby). "Akika sebetulnya maluku basa-basia, sebab takara basia beneran, bow. Tapi, berhubung prosedurnya harus begindang, ya bolelebo dong yee akika memberikan kata-kata pengantar untuk Kamasutra Gaul indang," tulis Debby. Di bagian lain, tulisnya, "Kamasutra kelinci Bahasa Gaul Eddy Silitonga Baramuli yang adinda ditangan anjani indang, sutra mengalami revisi disandro-sindang..."

Aduhai, saya melambai (menyerah)! Lebih baik saya keluar dari kamus gaul itu, dan melanjutkan kisah saya.

Pada 14 Mei 2005 sampai 20 April 2006 saya berada di Bangka lagi. Sebagian waktu saya berada di kampung halaman (Sungailiat), Pangkalpinang, dan Koba (Bangka Tengah). Lalu saya merantau ke Jakarta, dan sesekali pulang dengan durasi waktu maksimal 1 bulan. Selain di Jakarta, saya juga sempat pindah ke Bogor selama 6 bulan. Setelah itu barulah saya pindah ke Balikpapan.

Sejak 10 Maret 2009 saya memutuskan untuk menjadi warga Balikpapan, Kaltim. Dengan demikian resmilah saya menjadi seorang perantau sejati alias tidak akan kembali-menetap di kampung halaman, meski pernah selama 5 bulan saya berada di Kupang, NTT. Di Balikpapan pun saya jarang sekali berbicara atau ngobrol dengan sesama orang Bangka.

Di Kota Minyak keseharian saya berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kalau bertemu orang Jawa, dan itu sering terjadi, saya berbahasa Jawa. Masih sedikit "beruntung", saya berbahasa Melayu dan Tionghoa Bangka ketika bertemu Asen, yang berjualan martabak manis-terang bulan (hoklo pan) di Gunung Guntur, karena Asen orang Pangkalpinang.

Saya dan Asen tetap memanfaatkan kesempatan bertemu dengan berbahasa Bangka di perantauan. Sementara, dari cerita seorang kawan, beberapa orang Bangka (Sungailiat) yang kini menetap di Jakarta sudah terbiasa dengan "gue-lu" jika bertemu dengan sesama orang Bangka di Jakarta. Saya pun teringat pada kawan-kawan dusun di Karanganyar, Jawa Tengah, yang belum setahun di Jakarta tapi sudah ber-"gue-lu" di dusun, dan saya jadikan tulisan Gue ame Lu, Kenape Emangnye yang tergabung dalam buku saya, Belajar Peta Indonesia (2016. Balikpapan : Abadi Karya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun