Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Sempoyongan

4 Juli 2017   09:04 Diperbarui: 4 Juli 2017   09:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duduk di beranda Panggung Renung sembari minum kopi seusai merampungkan sebuah tahap pekerjaan perancangan bangunan memang menyenangkan dalam keseharian saya. Serumpun bambu dengan bebatang yang begoyang bersama angin sepoi-sepoi menjadi tarian serta senandung alam sore yang indah. Sementara matahari menyudut ke ujung Pura Giri Jaya Natha, sinar penatnya terhalau rimbunan bambu di sekliling tebing lahan kosong milik warga RT kami.

Cukuplah kemerdekaan kecil bersahaja ini saya nikmati tanpa perlu memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan keseharian saya. Kelelahan mata yang beradu langsung dengan layar komputer jinjing pun dapat tereduksi oleh panorama hijau di sekitar. Dan, celotehan radio diiringi lagu-lagu tempo doeleoe, saya rasa, pun sangat kondusif.

Di depan saya, berjarak 3 meter, pun terdapat sebatang pohon yang sengaja tidak saya tebang sewaktu, dua tahun lalu, membangun Panggung Renung alias tempat kerja saya. Jaraknya dengan pagar kayu ulin hanya 0,5 meter.

Beberapa minggu lalu Pak RT mendatangi saya, menyarankan saya menebang pohon itu daripada kelak malah bermasalah antartetangga. Saya selalu mencari alasan yang tepat untuk menggugurkan anjuran ketua RT.

Di lain kesempatan saya justru berpikir soal anjuran ketua RT sangat tidak relevan dengan keseharian saya. Ketua RT tidaklah pernah benar-benar memerhatikan betapa pentingnya pohon itu, apalagi pada siang hari yang tengah terik sinar matahari. Saya mendugai, ketua RT tidak pernah memelajari ilmu pepohonan. Menurut saya, pohon itu tidak akan menjadi besar seperti pohon ulin, bengkirai, beringin, dan lain-lain, misalnya.

Ya, hanya saya yang sangat mengerti sekaligus menghayati keberadaan pohon itu dalam kenyataan sehari-hari. Apalagi ketika rehat sejenak sambil menyeruput kopi pada saban tengah hari. Ya, seperti juga saat ini. Ketua RT tidak akan pernah bisa menghayatinya, kecuali mencurigai atau menduga-duga sembari terus menghidupi pikiran negatifnya..  

Saya masih ingat juga, waktu masa pembangunan Panggung Renung tinggi pohon itu baru sekitar 3 meter. Kini sudah 10 meter, dengan dahan, ranting, dan daun yang menaungi atap seng Panggung Renung pada siang hari. Saya sama sekali tidak mengetahui namanya, termasuk ketika masa kecil di Sungailiat, Bangka.

Pohon yang berbuah matang berupa lendir yang berisi biji-biji serta tanpa kulit itu, harapan saya, dapat menjadi penghalang pandangan dari arah belakang rumah para tetangga RT seberang. Selama dua tahun keberadaan pohon itu sesuai dengan harapan saya, selain meredam dera sinar matahari pada saat tengah hari.

Sesuainya begini. Panggung Renung berada di tebing tanah sebelah utara. Sementara bagian belakang rumah-rumah warga RT yang sebagian berbentuk panggung berada di tebing tanah sebelah selatan. Jarak antara Panggung Renung dan belakang rumah-rumah warga hanya sekitar 25 meter. Di tengah tebing tanah utara-selatan terdapat tanah datar milik RT kami, yang masih bersemak belukar dan bertanaman merambat. 

Di samping sebagai peredam dera sinar matahari langsung dan penghalang terhadap pandangan para tetangga seberang, pohon itu juga merupakan salah satu sumber pangan bagi burung-burung liar. Dengan adanya pohon itu, burung-burung hinggap, berkicau, dan bisa menikmati buah yang tidak mengenal musim.

Keberadaan burung-burung di pohon itu, sudah pasti, selalu menemani saya dalam bekerja sehari-hari. Suasana alamiah seperti inilah yang saya sukai sejak saya tidak pernah menikmatinya lagi ketika masih merantau di Ibukota.

Terbayang pula kondisi yang kontras dari kabar kakak saya di Bangka. Kabarnya, kebun lada putih dan kelekak kami di kawasan dekat Bukit Betung, Sungailiat, ikut menjadi korban pembakaran hutan.  Padahal, kebun itu salah satu 'harta' keluarga kami di sana. Juga, kabar dari seorang kawan di Melak, Kaltim. Kabarnya, hutan karetnya menjadi korban pembakaran hutan, padahal karet merupakan ukuran kemakmuran di daerahnya.

Saya tidak mampu berkhayal lebih tentang pembakaran, seberapa besar si jago merah menghanguskan suatu kawasan hutan hingga melahap apa saja di sekitarnya. Semoga panorama hijau di sekitar Panggung Renung tetap terhidang, dan sebagai hutan mini yang mendapat semacam ketetapan legalistik melalui kebijakan dari Pimpinan Kelurahan Mekarsari.

Begitulah harapan sekaligus alasan saya untuk membiarkan pohon itu hidup apalagi dengan menikmati secangkir kopi pada hari-hari saya sendiri. Sementara angin belum reda mengipasi saya.

Tengah hari tadi mendung cukup pekat sangat menjanjikan turunnya hujan. Sayangnya, sebentar saja lantas mendung tidak berniat sungguh-sungguh untuk memenuhi harapan makhluk hidup. Mungkin gara-gara diusir angin.

Dari kursi rotan tua pandangan saya lurus ke serumpun bambu di sebelah Panggung Renung, atau tepatnya di belakang rumah tetangga sebelah rumah saya. Sinar matahari dari arah agak ke barat telah terhalau oleh tingginya bebatang bambu.

Angin terus berembus cukup kencang. Reranting dan dedaun bambu semakin bergemerisik, dan agak berisik. Beberapa kali terdengar pergesekan di antara bebatang bambu. Sementara serumpun bambu di seberang atau di tebing belakang sebuah rumah tetangga bagian selatan juga terlihat seperti sedang dipaksa menari-nari.

Sejuk pun menerpa kulit saya. Sembari menyeruput kopi, panorama hijau di belakang rumah-rumah sejenak melupakan saya dari suasana Kota Balikpapan yang bertabur kendaraan dan tembok, meskipun disemaraki pula oleh kain-kain jemuran para tetangga.

Kicau burung-burung liar terdengar di antara kehijauan. Tapi, entah mengapa, tidak ada yang singgah di sebatang pohon depan beranda Panggung Renung, yang selalu menyuguhkan makanan kesukaan burung-burung.

Barangkali keberadaan saya justru menakut-nakuti burung-burung, pikir saya tanpa melihat ke sebatang pohon itu.

Angin berembus berkali-kali. Gemerisik yang berisik dari bambu-bambu menggoda saya. Gesekan antarbatangnya terus bersuara merdu-alami. Kedua anjing saya mulai menggonggong tetapi saya bentak agar diam. Ya, gonggongan yang cukup berisik, dan berisiko diprotes para tetangga sehingga ada alasan nyata supaya saya menyingkirkan kedua penjaga bagian belakang rumah saya.

Dalam duduk menikmati kopi, saya mulai memerhatikan serumpun bambu di sebelah Panggung Renung. Saya semakin memerhatikannya ketika tampak beberapa batang bambu berposisi miring dengan sudut sekitar 30 dari tegaknya semula.

Kemarau panjang dan sebuah angin kencang telah memiringkan batang-batang itu, pikir saya.

Kemarau yang panjang juga selalu menyuguhkan kekhawatiran bagi warga Kota Minyak. Kondisi tanah yang labil sering menjadi musibah longsor di beberapa wilayahnya yang berbukit-bukit. Dua tahun silam tanah longsor di RT lainnya telah menelan beberapa korban jiwa. Satu tahun lalu juga terjadi longsor di kawasan pedagang kambing-sapi hidup dekat daerah Gunung Guntur. Dan lain-lain.

Saya menyeruput kopi lagi. Sedap sekali, apalagi pekerjaan sudah rampung dengan menyisakan perihal pelunasan pembayaran.

Beginilah nikmatnya bekerja sendiri, mengelola sendiri, dan bisa memanfaatkan waktu untuk bersantai di beranda.

Tidak jarang, dalam kesantaian beriring lagu tempo dulu dari radio semacam itu, saya mengenang kampung halaman saya. Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, saya tinggalkan sejak 6 tahun silam.

Di kampung saya dulu tidak ada tebing-tebih seperti di sekitar Panggung Renung. Tidak ada rumah tetangga yang berbentuk panggung. Juga tidak ada serumpun bambu di belakang rumah orangtua saya, kecuali berumpun-rumpun bambu di belakang rumah orangtua Ibu di Karanganyar, Solo.

Seingat saya, di kampung lain, kalau tidak keliru Kampung Cokro, di antara sekian rumah, termasuk beberapa rumah panggung berdinding papan, terdapat sebuah rumah panggung yang kemudian terpasang plakat "Cagar Budaya". Pernah pula, saya melihat beberapa rumah panggung di daerah sepanjang jalan menuju Mentok, Bangka Barat, ketika saya hendak melakukan penelitian sosial-politik warga sana.

Rumah panggung berdinding papan lapuk, dalam ingatan saya, merupakan sebuah rumah rakyat yang masih berupaya keras memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ingatan inilah yang menginspirasi saya untuk merancang Panggung Renung dengan dinding dan atapnya dari seng bekas yang saya poles kembali supaya bisa lebih awet.

Kebetulan sisa lahan di belakang rumah berkontur miring, dan terdapat undak-undagan batu gunung untuk menahan penggerusan tanah oleh guyuran hujan. Kemiringan merupakan potensi alam yang pas untuk sebuah bangunan panggung.

Saya pun tidak perlu mencemaskan situasi alam di sekitar Panggung Renung. Lahan belakang rumah tetangga kanan-kiri dijagai oleh beberapa pohon, termasuk serumpun bambu, semak belukar, dan tanaman merambat. Kestabilan tanah cukup menjamin.

Jarak antara bagian belakang rumah saya dan Panggung Renung hanya 4 meter. Cocoklah untuk bekerja sendiri, selain menjadi ruang baca dan perpustakaan pribadi saya. Gangguan rayap tidak terlalu berarti karena berstruktur kayu ulin, yang sangat susah digerogoti serangga perusak kayu itu.

Tidak jarang, ketika tengah malam hingga menjelang subuh, saya bekerja di Panggung Renung seolah sekaligus merangkap sebagai anggota keamanan RT karena posisi bangunan yang lebih tinggi, dengan olokan beberapa warga ketika sedang jeda rapat RT, "Situasi amankah?"

Tentu saja aman. Di bawah Panggung Renung pun sudah bersiaga dua ekor anjing saya. Ada apa-apa, baik manusia tidak jelas maupun hewan liar semisal ular, kedua anjing saya selalu menggonggong. Beberapa malam ini keduanya rajin menggonggong tetapi segera diam apabila saya membuka pintu masuk Panggung Renung.

Selain soal situasi, ada satu lagi pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh beberapa tetangga di RT kami. Tidak panaskah berada dalam Panggung Renung yang berbungkus seng itu? Saya pun berseloroh, kalau panas, tentu saja saya akan memasang AC. Tapi saya segera menunjuk pohon itu; pelindung dari panas yang mencoba mengusik saya. Saya tidak perlu mengerti, apakah mereka memahami alasan saya.

Sudah 2 tahun usia Panggung Renung berkawan sebatang pohon itu. Lagi-lagi pohon itu entah apa namanya. Saya selalu kecewa sendiri jika berusaha mencari tahu namanya. Saya tidak pernah menemukan pohon semacam itu sejak di kampung halaman saya, kampung halaman Ibu atau Ayah, atau malah ketika saya berada di Kupang, NTT selama sekian bulan. 

Sudahlah soal nama pohon itu. Di beranda ini, dengan secangkir kopi, angin semilir, gemerisik bambu, dan kicau burung pun membujuk saya untuk melupakan soal pohon itu lantas mengenang masa lalu di Bangka agar bisa menyemangati keseharian saya dalam memenuhi kebutuhan hidup di perantauan.

Angin membelai kulit telanjang saya. Biasanya, di beranda Panggung Renung saya bisa tertidur sejenak, dan terpenggallah segala lamunan-kenangan. Tidak ada seorang pun yang mau iseng mengganggu istirahat saya. Hanya saja, terkadang ramai kicau burung liar membangunkan saya.

Tapi di manakah burung-burung itu sekarang? Mengapa tidak singgah di pohon itu?

Hati saya tergerak untuk mencari, adakah seekor-dua ekor burung sedang menikmati makan sore di pohon itu. Saya menegakkan tubuh lalu memutar pandangan, dari serumpun bambu ke sebatang pohon di depan beranda.

 Astaga! Posisi batang pohon itu miring dari posisi tegaknya semula.

Seketika saya berdiri, mengamati kemiringannya. Pada bagian bawah batang miringnya seakan menyentuh pagar kayu ulin.

Seingat saya, kemarin-kemarin dahan dan ranting masih berada sekian centimeter dari beranda tapi kini menjauh sekitar 2 meter. Dan sebagian dahannya tampak berposisi di atas atap seng rumah tetangga, yang terletak di lahan rata tapi di bawah batas halaman belakang dan Panggung Renung.

Saya segera turun melalui pintu kecil di samping beranda untuk memastikan kondisinya. Saya perkirakan kemiringannya mencapai 20 dari tegak semula. Bagian bawah kemiringannya sudah bersinggungan dengan pagar bahkan kayu ulin pagar tampak menopang pohon itu.

Angin yang berembus membuat suara gesekannya terdengar sayup-sayup, yang semula saya kira adalah pergesekan antarbatang bambu. Dedahan-rerantingnya melambai-lambai seakan sangat sempoyongan, meski kayu ulin masih berusaha keras menopangnya. Kedua anjing saya sesekali menggonggong menghadap pergesekan antara batang pohon dan kayu ulin pagar.

Pandangan saya menurun ke pangkal pohon. Tidak ada akar yang mencuat. Tidak ada tanah yang terbongkar. Tapi, oh, pangkalnya sudah patah! Seketika saya panik.

Patahannya serius karena pohon itu mudah patah. Saya pernah mematahkan dahan-dahannya dengan tangan begitu saja. Embusan angin dan lambaian dedaunannya semakin memanikkan saya.

Mendung kian mengepung langit. Matahari tidak berdaya, sebentar lagi akan terkepung. Bayangan mendung dan hujan kian matang. Mungkin bisa medadak turun turut.

Kepanikan bertambah. Kalau pohon itu tumbang, hancurlah reputasi saya di kalangan warga. Seluruh warga di RT kami mengetahui keterlibatan saya sepenuhnya dalam setiap kegiatan RT, minimal dalam rangka Peringatan dan Perayaan 17 Agustusan yang selalu menyertakan saya untuk membuat proposal, anggaran, rancangan poster, pelaksanaan kegiatan, dan laporan pertanggungjawaban dengan semua nota yang lengkap sekaligus seberapa rupiah sisanya. 

Saya beranjak dari situ menuju Panggung Renung untuk memakai sepatu kerja lapangan dan mengambil parang merek Tramontina bikinan Brazil yang saya beli di Pasar Klandasan. Bayangan pohon tumbang, merusak pagar kayu ulin, menimpa atap rumah tetangga, sekumpulan tetangga mencibir saya, dan wajah kecewa ketua RT berbaur dalam benak saya.

Selesai mengenakan sepatu dan mengambil parang saya kembali turun ke arah pohon itu. Embusan angin semakin kencang tetapi terasa agak basah. Gemerisik bambu semakin berisik. Pergesekan antara batang pohon dan kayu ulin pagar semakin nyata. Kedua anjing saya bergerak ke sana-sini sambil terus menggonggong. Terbayang lagi wajah para tetangga dan ketua RT.

Kepanikan menguasai pikiran-perasaan saya ketika menuruni tangga di samping beranda. Sepertinya sinar matahari meredup cukup cepat. Mungkin mendung berhasil membendungnya. Mungkin akan segera turun hujan.

Ketergesa-gesaan saya akibat kepanikan sedemikian rupa justru membuat saya lengah pada saat menuruni anak tangga. Langkah saya tidak pada satu per satu anak tangga melainkan bisa dua-tiga. Akibatnya saya kehilangan keseimbangan. Terjatuh, jungkir-balik, dan parang pun terlepas entah ke mana.

Seketika hujan turun dengan derasnya berikut angin sangat kencang. Kedua anjing saya menggonggong nyaring, disusul suara sebuah pohon tumbang, dan kayu patah.    

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun