Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Sempoyongan

4 Juli 2017   09:04 Diperbarui: 4 Juli 2017   09:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarau panjang dan sebuah angin kencang telah memiringkan batang-batang itu, pikir saya.

Kemarau yang panjang juga selalu menyuguhkan kekhawatiran bagi warga Kota Minyak. Kondisi tanah yang labil sering menjadi musibah longsor di beberapa wilayahnya yang berbukit-bukit. Dua tahun silam tanah longsor di RT lainnya telah menelan beberapa korban jiwa. Satu tahun lalu juga terjadi longsor di kawasan pedagang kambing-sapi hidup dekat daerah Gunung Guntur. Dan lain-lain.

Saya menyeruput kopi lagi. Sedap sekali, apalagi pekerjaan sudah rampung dengan menyisakan perihal pelunasan pembayaran.

Beginilah nikmatnya bekerja sendiri, mengelola sendiri, dan bisa memanfaatkan waktu untuk bersantai di beranda.

Tidak jarang, dalam kesantaian beriring lagu tempo dulu dari radio semacam itu, saya mengenang kampung halaman saya. Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, saya tinggalkan sejak 6 tahun silam.

Di kampung saya dulu tidak ada tebing-tebih seperti di sekitar Panggung Renung. Tidak ada rumah tetangga yang berbentuk panggung. Juga tidak ada serumpun bambu di belakang rumah orangtua saya, kecuali berumpun-rumpun bambu di belakang rumah orangtua Ibu di Karanganyar, Solo.

Seingat saya, di kampung lain, kalau tidak keliru Kampung Cokro, di antara sekian rumah, termasuk beberapa rumah panggung berdinding papan, terdapat sebuah rumah panggung yang kemudian terpasang plakat "Cagar Budaya". Pernah pula, saya melihat beberapa rumah panggung di daerah sepanjang jalan menuju Mentok, Bangka Barat, ketika saya hendak melakukan penelitian sosial-politik warga sana.

Rumah panggung berdinding papan lapuk, dalam ingatan saya, merupakan sebuah rumah rakyat yang masih berupaya keras memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ingatan inilah yang menginspirasi saya untuk merancang Panggung Renung dengan dinding dan atapnya dari seng bekas yang saya poles kembali supaya bisa lebih awet.

Kebetulan sisa lahan di belakang rumah berkontur miring, dan terdapat undak-undagan batu gunung untuk menahan penggerusan tanah oleh guyuran hujan. Kemiringan merupakan potensi alam yang pas untuk sebuah bangunan panggung.

Saya pun tidak perlu mencemaskan situasi alam di sekitar Panggung Renung. Lahan belakang rumah tetangga kanan-kiri dijagai oleh beberapa pohon, termasuk serumpun bambu, semak belukar, dan tanaman merambat. Kestabilan tanah cukup menjamin.

Jarak antara bagian belakang rumah saya dan Panggung Renung hanya 4 meter. Cocoklah untuk bekerja sendiri, selain menjadi ruang baca dan perpustakaan pribadi saya. Gangguan rayap tidak terlalu berarti karena berstruktur kayu ulin, yang sangat susah digerogoti serangga perusak kayu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun