Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Trotoar untuk Siapa?

1 Juli 2017   15:35 Diperbarui: 2 Juli 2017   05:43 2613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas yang bukan pada tempatnya itu, tentu saja, berpotensi mengganggu bahkan menghambat lalu-lintas pejalan kaki. Belum lagi, tidak jarang terjadi, sebagian PKL seakan melakukan aktivitas secara permanen (berkelanjutan) dengan dasar berupa bukti retribusi sebagai "dasar hukum"-nya.

Dengan selembar bukti retribusi, tidak jarang, sebagian PKL "merasa" hak mereka dilindungi oleh hukum. Sebagian malah menjadikan secarik retribusi sebagai "surat sakti" (katebelece) untuk "menguasai" sebagian trotoar. Padahal, yang paling berhak atau berwenang menggunakan trotoar adalah pejalan kaki, dan jumlah pejalan kaki jauh lebih banyak daripada jumlah PKL pada sebidang trotoar.

Satu pemeo yang berlalu-lalang dalam pergaulan masyarakat, yaitu "hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas". Dalam kasus PKL, pemeo tersebut seakan dimentahkan sendiri oleh kalangan "ke bawah". Sebab, meskipun jelas secara konstitusional (de jure), pada kenyataannya (de facto) tidak sedikit PKL melanggar aturan, menjadikan trotoar sebagai tempat beraktivitas komersial secara berkelanjutan, dan sama sekali kurang menghargai pejalan kaki yang sebenarnya berhak mutlak atas esensi-fungsi trotoar.

Tidak jarang PKL yang semula membuka lapak seukuran kecil, semisal 1 x 1,5 meter persegi, lambat laun luasannya bisa berkembang, bahkan bisa menghabiskan badan trotoar. Sementara pemerintahan daerah setempat belum gencar mensosialisasikan aturan mengenai luas lapak PKL. Atau, mungkin, memang tidak pernah ada aturan mengenai luasan lapak PKL.

 Lantas, pejalan kaki "terpaksa" melintas di jalan kendaraan karena ketiadaan ruang gerak akibat lapak PKL yang "memakan" badan trotoar, bahkan kendaraan roda dua pun melintas di trotoar seperti kisah seorang anak 9 tahun yang menghadang lalu-lintas motor di sebuah trotoar Jalan Sudirman, Kalibanteng, Semarang, pada Jumat, 15 April 2016. Hal ini tentunya bisa berisiko buruk terhadap keselamatan jiwa pejalan kaki.

Dalam Otomania.Com, edisi Minggu, 29 Mei 2017, Training Director Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) Jusri Pulubuhu secara tegas berkata, "Dasar hukumnya, trotoar adalah hak pejalan kaki. Ada juga peraturan daerah tentang pengaturan transportasi yang juga mencakupi aturan-aturan yang sama. Mengingat trotoar adalah hak pejalan kaki maka aktivitas selain berjalan seharusnya tidak boleh dilakukan, misalnya jadi tempat parkir kendaraan atau lalu lintas darurat sepeda motor. Pengemudi kendaraan juga sepantasnya menyadari mengeksploitasi trotoar adalah perampasan hak pejalan kaki."

Solusi

Memberi solusi, ada kalanya, seolah membalikkan telapak tangan. "Teoretis," tuding sebagian orang. Apalagi, menimbang, bahwa keberadaan PKL pun turut membantu situasi perekonomian daerah bahkan negara, terlebih pada saat krisi moneter 1998 silam.

Tetapi, apakah dengan membiarkan situasi trotoar yang telah "mengorbankan", baik hukum-aturan-konstitusi maupun sekalangan manusia yang paling berhak (pejalan kaki), lantas wajar-wajar saja semua itu, apalagi jika dikaitkan dengan pemeo "hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas"? Tentu tidak boleh begitu, 'kan?

Yang paling wajar, pertama, adalah penyadaran kepada masing-masing kalangan, baik pejalan kaki, PKL, "pebisnis parkir", aparat terkait, dan masyarakat umum mengenai esensi dan fungsi trotoar. Sebab, tanpa adanya kesadaran itu, biasalah kalau terjadi pro-kontra, debat kusir, dan lain-lain, yang ujung-ujungnya tetap tidak mendasar (substansial) secara kemanusiaan dan aturan hukum formalnya.

Kedua, pejalan kaki paling berhak atas fungsi trotoar. Jumlah pejalan kaki pun jauh lebih banyak dibandingkan dengan PKL yang berada di trotoar. Artinya, pejalan kaki pun memahami dan menyadari mengenai haknya atas keberadaan trotoar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun